Lima menit kurang pukul tujuh pagi, Supriyanto melangkah dengan hati waswas ke jongko Pak Jenggot di sudut terminal Rawamangun. Ternyata Handini sudah tiba lebih dulu.
Dari jauh tampak gadis itu berlari-lari menyongsong. Wajahnya pucat, matanya ketakutan, senyumnya menyedihkan. Dua langkah sebelum lengannya yang terkembang siap memeluk sang kekasih pujaan, Handini tertegun. Lengannya lunglai di sisi tubuhnya yang seronok bentuknya itu.
Kata-katanya bernada kuatir:
"Tak bawa tas?"
Supriyanto berusaha keras agar tetap dapat tenang.
"Cukuplah pakaian yang melekat di badan saja," jawabnya.
Air mata Handini melelehi pipi. Ia sangat kecewa.
Terbukti dari tuduhannya:
"Kau tak mau pergi denganku. Mana tasmu?"
Supriyanto memegang tangan gadis itu, ia sendiri mulai ketakutan. Takut gadis itu saking kecewa lantas menjerit-jerit, lari menghambur ke bis-bis besar yang memasuki terminal tanpa mengurangi kecepatan.
Tetapi gadis itu terlalu kecewa, terlalu lemah untuk memberontak. Ia hanya mampu menggerakkan dagu ke arah jongko. Tanpa melepaskan Handini dari cekalan tangannya, Supriyanto mengambil tas gadis itu. Tak ada tanda-tanda Handini baru makan atau minum, jadi tak ada yang perlu dibayar. Sambil manggut pada si empunya jongko, Supriyanto kemudian menyeret kekasihnya keluar dari terminal.
"Tak baik kita bicara di sini. Siapa tahu ada yang melihat..." ujarnya.
Ia merasakan ketegangan lengan Handini dalam pegangannya. Juga betapa tegangnya suara gadis itu.
"Kau tak cinta lagi padaku. Kau lebih cinta Fitri...!"
"Fitri masih anak-anak. Mata duitan lagi. Untuk kau, ia telah kulepaskan bukan?"
"Lalu, mengapa..."
Setelah mencari-cari, akhirnya Supriyanto melihat sebuah warung es tak jauh dari pintu masuk terminal. Tak ada yang minum es sepagi itu. Sepi di dalam, tertutup lagi.
Supriyanto menarik gadisnya masuk dan kepada pemilik warung yang baru saja siap-siap menyusun bakal dagangannya, Supriyanto minta dibuatkan segelas kopi untuknya dan coklat susu untuk Handini. Pemilik warung terheran-heran sebentar, lalu kemudian pergi ke warung kopi di sebelahnya untuk mengambil pesanan Supriyanto.
"Kau tak mau pergi!" sekujur tubuh Handini bergetar.
Wajahnya semakin pucat saja.
"Aku tak bilang aku tak mau pergi."
"Lantas, mengapa..."
"Kita harus berpikir tenang, Dini. Bukan dengan cara begini kita meruntuhkan benteng pertahanan keluargamu. Masih ada..."
"Dalih!" Handini mulai terisak.
"Janganlah menangis. Malu dilihat orang."
"Kau tak cinta lagi padaku, Yanto."
"Aku cinta."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Janganlah sikap ayahku kau buat alasan..."
"He, pernahkah aku cerita padamu, bahwa kelak aku ingin jadi polisi?" tanya Supriyanto sambal tersenyum.
Karena Handini tidak menyahut, malah isaknya makin jadi, Supriyanto meneruskan sendiri:
"Kalau aku ingin jadi polisi, Dini, catatan riwayat hidupku kelak harus bersih. Dan..."
Pemilik warung masuk membawa pesanan tamunya. Tetapi bukan itu yang menyebabkan Supriyanto menghentikan pembicaraannya. Lewat pintu masuk warung, ia melihat sebuah mobil yang akan memasuki terminal, berhenti sebentar karena terhalang oleh sebuah bis di depannya. Mobil itu disupiri oleh ayahnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONA - ABDULLAH HARAHAP
AdventureSebuah novel lama karya Abdullah Harahap yang terbit dalam bentuk stensilan di tahun 1980an, berkisah tentang petualangan seorang perwira polisi bernama Supriyanto.