SEGALANYA MENJADI TERANG

335 25 3
                                    

Meski masih lemah, Delila benar-benar sudah sadar kalau ia kini ada di rumah Rosmalina, si bungsu. Sebaliknya, diperlukan waktu tidak sedikit untuk menyadarkan Rosmalina, bahwa perempuan kurus kering berwajah tak sedap dipandang itu, sebenarnyalah kakak kandungnya sendiri. Si bungsu mekar indah di perkebunan Sawit Seberang, si Primadona mempesona yang meratui hotel-hotel terkemuka di Jakarta.

Ketika menangisi kakaknya tercinta yang kini rusak poranda itu, Rosmalina sempat pingsan. Syamsiah tak henti-hentinya meratap menyesali diri. Sedang Parlindungan, setelah tiga jam lebih duduk seperti orang hilang ingatan, segera berangkat ke kantor pos untuk mengetok telegram ke Medan:

"Delila sudah ditemukan!"

Suasana berkabung setelah ditinggal mati Bambang Prakoso, justru terasa semakin panjang dengan kehadiran Delila yang sedemikian rupa menyedihkan. Ia menolak dibawa ke rumah sakit.

"Dalam tidurku, kulihat Bambang melambai dari balik kabut. Ia menungguku!" katanya.

Ada baiknya Syamsiah dan Parlindungan tidak segera pulang setelah Bambang Prakoso dimakamkan. Tahu bahwa mereka sengaja tinggal lebih lama karena penasaran ingin bertemu muka dengan si anak hilang yang dulu terkutuk, ternyata banyak membantu. Delila terdorong untuk jangan terlalu pasrah menghadapi kematian.

"Ajal memang tak dapat ditolak," Parlindungan bernasihat. "Tetapi kalaupun ajal itu akhirnya datang, sambutlah dengan jiwa yang tenteram, dengan hati yang damai..."

Ketika diberitahu bahwa Lukman sudah memaafkannya, Delila tertawa getir.

"Aku atau dia yang harus dimaafkan?"

Kegetirannya baru lenyap setelah ia lihat perut Suprihatin yang membesar.

"Jadi kau akan memberikan seorang cucu untuk aku ya?" desahnya.

Suprihatin tertawa gembira. Ia lalu memberikan surprisenya.

"Ini bakal cucumu yang ketiga, Uwa Del. Dua yang lain, nantilah kuperkenalkan..."

"Yang ketiga? Astaga! Rasanya baru kemarin siang kau kudengar kawin! Kok menggebu-gebu begitu? Apa tidak ikut KB?"

"Dua yang terdahulu semua perempuan, Uwa Del. Jadi bapaknya anak-anak, membuntingi aku lagi. Ia ingin punya anak laki-laki. Dia bilang, bukan seorang ayah namanya kalau tidak punya anak laki-laki. Tak mau dia marganya tak bisa diturunkan!"

"Begitu ya? Ayo. Panggil dia kemari. Biar kujewer teliganya! Apa anak perempuan tak berhak diakui, he?!"

Tentu saja Parlaungan buru-buru datang, buru-buru pula meminta maaf. Ia berusaha membela diri. Katanya:

"Kita kan orang Batak. Jadi tanpa anak perempuan..."

"Lalu, siapa yang melahirkan kau Laung?"

"Yaa... ibuku, dong."

"Apakah ibumu itu laki-laki?"

"Yaa... perempuan dong."

"Dan meski ia perempuan, ia tetap saja orang Batak bukan? Tetap saja ia anak nenekmu, bukan anak nenekku!"

"Aduh!" Parlaungan jadi salah tingkah.

Setelah dokter menjamin bahwa Delila lumayan sehat, Parlindungan pamit untuk pulang ke Banjarmasin. Begitu pula Syamsiah.

Seolah punya naluri, dari Medan datang telegram balasan. Lukman mengatakan dalam telegramnya:

"Maafkan adikmu yang bodoh ini. Kudoakan segera sembuh."

"Nah, itu baru saudara namanya," ujar Delila senang.

Kesehatannya pun dari hari ke hari semakin pulih. Ia sangat senang ketika bu Marni datang tergopoh-gopoh dari Pangandaran, menangis tersedu-sedu sambil menciumi tangan majikannya, dan berkata memohon:

PRIMADONA  - ABDULLAH HARAHAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang