TERJEREMBAB KE LOBANG COMBERAN

235 15 0
                                    

Karena putus cinta, Bambang gagal memasuki ITB di Bandung, gagal pula dalam testing di perguruan tinggi lainnya. Satu tahun lamanya ia menganggur, saking hilang semangat. Baru setelah suatu hari ia menerima surat dari Delila, ia menemukan semangatnya kembali. Surat itu dikirimkan Delila beberapa bulan setelah gadis itu dipaksa menikah dengan Darwis, laki-laki yang seujung rambut pun tidak disukai Delila, apalagi dicintainya.

Isi surat Delila itu mengatakan, semula ia bermaksud bunuh diri. Akan tetapi niat itu dibatalkannya. Ia ingin tahu lebih dulu, apakah Bambang sudah melupakannya, atau mencintainya. Kalau sudah dilupakan, barulah ia rela bunuh diri.

"Kuperoleh alamatmu dari sahabatmu, yang katanya telah menasihatimu untuk jangan membunuh diri pula. Terima kasihku untuknya, Bambang-ku."

Bambang tidak membalas surat itu. Ia sangat terpukul mendengar Delila akhirnya jadi menikah. Tetapi kemudian, datang lagi surat Delila yang kedua. Isi suratnya pun tidak panjang lebar.

"Aku diperkosa Darwis, kau dengar? Aku diperkosanya setelah aku menolak ditiduri pada malam pengantin kami," begitu tulis Delila dalam suratnya, "Aku ternoda sudah, Bambang. Aku sudah tak pantas lagi untuk kau cintai. Tetapi aku akan tetap mencintaimu. Mengerikan, Bambang. Tiap kali ia meniduriku, aku membayangkan kaulah yang datang merangkulku, menjamah tubuhku, membisikkan kata-kata mesra di telingaku. Lalu ketika aku bangun, aku terkejut. Kusadari, orang yang terkulai lelap di sebelahku bukan kau. Tetapi Darwis. Aku menangis. Dan terus menangis. Entah sampai kapan, aku akan bisa menghentikan tangis ini."

Bambang Prakoso membalas surat itu:

"Berhentilah menangis, sayangku. Dan tanamkanlah dalam hatimu, suatu saat kita akan bertemu. Suatu ketika, entah kapan, kita akan bercinta lagi. Lebih mesra, lebih syahdu dari yang dulu kita alami..."

Dan sesungguhnyalah, akhirnya mereka dipertemukan Tuhan juga. Tetapi, alangkah tajam kerikil-kerikil yang harus mereka langkahi. Alangkah tajam. Menusuk. Mengiris...

***

Peranan seorang Gubernur tidak saja menentukan maju mundurnya daerah yang dia pimpin. Ia juga sangat berperan kuat dalam pasang surutnya kehidupan keluarga, terutama marga. Marganya sendiri, lalu marga-marga lain yang saling kait mengkait dengan dia punya marga. Ini juga berlaku di kota Medan.

Entah kapan mulai, entah siapa pula yang memulainya, sudah menjadi rahasia umum di kota ini. Bahwa apabila seorang Gubernur berasal dari marga anu, maka marga anu dan anu akan memegang jabatan Bupati, terus ke bawah sampai ke lurah: atau marga anu akan menjadi Kepala Kantor Agraria, terus sampai Kepala Koperasi Unit Desa, dan lain-lain. Benar tidaknya asumsi masyarakat ini, sampai sekarang masih terus diperdebatkan orang. Yang jelas, Marasad sudah terkena getahnya.

Marasad seorang Sarjana Hukum, lulusan UI Jakarta. Pernah beberapa kali jadi Camat, naik jadi Walikota Kota Administratif, kemudian diangkat jadi Sekda di kantor Propinsi. Ia tinggal melangkah ke kursi Bupati. Sayang, masa jabatan Gubernur lama sudah habis. Gubernur yang baru dilantik ternyata berasal dari suku lain, tak pula ada kaitan marga dengan marganya Marasad.

Mula-mula tidak terjadi sesuatu. Gubernur baru rupanya masih perlu mengenal lapangan, masih harus menyesuaikan diri. Lalu pelan-pelan, dimulailah perombakan demi perombakan. Memang tidak kentara. Akan tetapi hidung Marasad yang tajam sudah dapat mencium bau tak sedap. Bau yang menyengat itu, melayang-layang ke arahnya. Benar saja. Jabatan Sekda suatu ketika diganti.

Hanya, Marasad tidak lantas melenggang ke kantor Bupati. Ia justru dihempaskan ke kantor statistik. Marasad tentu saja kecewa, namun tidak putus harapan. Ia berpikir, kalaulah pak Gubernur menilai ia tidak berbakat jadi Bupati, mbok ya janganlah dikurung di tempat yang kering itu. Kepala kantor agraria, atau dinas tata kota, bolehlah. Yah, paling miris jadi pimpinan proyek-lah. Maka Marasad pun rajin kasak-kusuk. Mulai dari orang-orang berpengaruh di daerah, sampai ke orang-orang yang konon punya gigi di Pemerintah Pusat. Untuk mensukseskan ambisinya yang besar itu, semua keluarga tentu saja ikut membantu. Termasuk Darwis, anak sulungnya.

PRIMADONA  - ABDULLAH HARAHAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang