Jam sebelas malam, Supriyanto terbangun. Diam mendengarkan. Rupanya televisi telah dimatikan. Dari arlojinya Supriyanto menyadari malam telah larut.
"Mama tak pernah menaruh curiga ya?"
Ia dengar suara Suprihatin, kakaknya.
Lalu suara ibunya lagi menjawab:
"Mengapa pula aku harus mencurigai ayah kalian, nak?"
"Coba pikir mama. Dulu, semenjak mama keluar dari rumah sakit. Paling cuma lima bulan papa betah bersama kita. Sekali sebulan, mengajak kita sekeluarga piknik. Tiap akhir pekan, membawa mama jalan-jalan atau mengunjungi sanak famili. Selalu pulang kantor pada waktunya untuk makan siang di rumah..."
Suprihatin menjelaskan Panjang lebar. Lanjutnya:
"Lima bulan cuma. Yah, taruhlah tujuh bulan karena dua bulan berikutnya kelakuan papa belum kita perhatikan benar. Dan setelah itu Papa kembali dengan kebiasaannya yang lama."
"Ayahmu seorang kepala bagian di kantornya, nak. Ia orang sibuk."
"Bagaimana yang lima bulan itu? Kok papa tidak sibuk?"
"Karena aku belum sembuh benar, nak. Ayahmu ingin agar aku betul-betul sudah cukup sehat, sehingga ia..."
"Mama membuat kesalahan besar!" potong Suprihatin pedas.
"Lho. Kok lantas aku yang disalahkan, Suprihatin?"
"Mama sih. Kurang taktik!"
"Kurang taktik bagaimana?"
"Mestinya mama dapat mempertahankan keadaan yang menyenangkan itu. Mempertahankan, agar papa betah di rumah."
"Caranya?"
"Mama pura-pura masih sakit."
Ibu tertawa berderai. Katanya:
"Kau ini macam-macam saja, nak. Aku kan bukan anak kecil. Lagipula ayahmu tak pantas dibohongi. Dan..."
Supriyanto tercenung, di tempat tidurnya. Percakapan kakak dan ibunya di ruang tengah, tidak lagi menarik perhatiannya. Terngiang ucapan Suprihatin barusan: pura-pura sakit.
Terngiang pula ucapan Handini, pacarnya yang kedua sejak duduk di bangku kelas satu SMA:
"Bawa aku lari. Sehari dua hari, seminggu, kalau perlu sebulan. Kemudian kita pulang. Dan berpura-pura, bahwa aku telah hamil!"
Pura-pura hamil!
Alangkah nekadnya Handini. Rupanya gadis itu tidak tahan, terus dimarahi ayahnya semenjak menjalin hubungan cinta dengan Supriyanto. Alasan orang tua itu, karena puterinya dan Supriyanto masih kelas satu SMA. Belum waktunya menikah. Belum pantas memikirkan cinta!
Tetapi menurut apa yang sempat didengar Handini dari ibunya, gadis itu sudah dijodohkan dengan Sofyan, putera kesayangan Uwa perempuan Handini.
Softyan masih melanjutkan studi di Jerman. Tiga tahun mendatang, studi Sofyan diharapkan sudah selesai. Ia akan pulang ke Indonesia. Pekerjaan menarik sudah menantinya di perusahaan milik keluarga. Handini pun diharapkan sudah tamat SMA, dan sudah pantas untuk dikawinkan. Handini belum pernah bertemu muka dengan Sofyan. Tetapi pemuda itu sering berkirim fotonya, juga bingkisan hadiah-hadiah menarik dari Jerman.
"Aku sedikitpun tidak tertarik pada Sofyan," kata Handini. "Aku hanya mencintai kau seorang, Yanto... Apa pun akan kukorbankan, demi cintaku padamu."
Handini tidak begitu cantik. Tetapi ia punya dada besar, punya pinggul besar. Tipe kegemaran Supriyanto.
Ia juga bukan sekedar omong di mulut. Pernah mereka berdua piknik ke Pelabuhan Ratu. Ketika hari sudah sore, Handini enggan pulang ke Jakarta. Gadis itu mengajak Supriyanto nginap satu malam di hotel.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONA - ABDULLAH HARAHAP
AventuraSebuah novel lama karya Abdullah Harahap yang terbit dalam bentuk stensilan di tahun 1980an, berkisah tentang petualangan seorang perwira polisi bernama Supriyanto.