MATAHARI TERBIT, BULAN TERBENAM

220 14 0
                                    

Marni, Delila atau siapa pun namanya, lambat laun mulai terlupakan oleh Supriyanto. Ia harus memusatkan perhatian pada ujian akhir SMA-nya, lalu disibukkan oleh persiapan-persiapan untuk memasuki AKABRI kepolisian. Kebulatan tekad serta perjuangannya yang keras tidak sia-sia. Berat hatinya berpisah dengan keluarga. Tetapi sebagai seorang taruna, ia harus mematuhi perintah dan kemudian tinggal di asrama AKABRI kepolisian di Semarang.

Syukur ia tidaklah terlalu kesepian, karena keluarga dari pihak ayahnya bertaburan di seputar Jawa Tengah, bahkan salah seorang di antaranya bertugas sebagai instruktur yang sangat disegani para kadet.

Suprihatin rajin pula berkirim surat. Mengabari perkembangan keluarga mereka di Jakarta. Misalnya, bahwa ia telah melahirkan seorang anak laki-laki, yang oleh Suprihatin disebut-sebut:

"Sangat dimanjakan neneknya, sementara kakeknya dibuat murung karena harus mengakui kenyataan, bahwa cucunya orang Batak!"

Suprihatin juga mengabarkan, papa dan mama tak perlu dikuatirkan. Suprihatin yang harus ikut suami, dan Supriyanto yang harus tinggal di asrama. Uwa Syamsiah merelakan salah seorang anak perempuannya yang masih duduk di SMP untuk sekolah di Jakarta dan tinggal Bersama orang tua Supriyanto. Menyusul kemudian putera bungsu Uwa Lukman yang telah lulus testing masuk UI.

Suprihatin mengistilahkan keadaan itu sebagai:

"Agaknya, dendam turun temurun hapus sudah!"

Ossy jarang berkirim surat. Mendadak, gadis itu jadi pemalu tepatnya, berubah rendah diri.

"Kau kini bakal jadi orang," katanya dalam salah satu suratnya. "Sedang aku, justru siap-siap untuk jadi gelandangan!"

Surat lain, menjelaskan apa sebab Ossy berkata demikian. Ia menulis:

"Banyak biaya yang dikeluarkan untuk membayar pengacara yang membela papa di pengadilan. Toh papa masuk penjara juga. Diperlukan pula biaya tak sedikit, agar sekeluar dari penjara, papa pulang sehat dan utuh. Ijin usaha papa telah dicabut. Rumah kami disita, begitu pula mobil dan sejumlah barang berharga lainnya. Alangkah kontrasnya hidup yang kita hadapi, bang Yanto. Kau dan keluargamu sedang melangkah ke arah matahari terbit. Sebaliknya aku dan keluargaku: justru sedang menuju terbenamnya bulan..."

Supriyanto selalu menekankan dalam surat-surat balasannya:

"Tabahlah, sayangku. Doakan pulalah aku. Dan camkan dalam hatimu, bahwa kelak suatu ketika kita akan berbimbingan tangan menuju terbitnya matahari itu..."

Sayang, takdir menghendaki lain. Surat Ossy yang memang sudah jarang datang itu, mendadak putus begitu saja. Itu terjadi ketika Supriyanto sibuk mengikuti ujian kenaikan tingkat. Lulus ujian ia memanfaatkan waktu libur untuk pulang ke Jakarta. Rosmalina melarang anaknya pergi menemui Ossy.

"Lupakan dia, anakku," sang ibu memohon dengan suara penuh duka.

Ternyata ayah Ossy tidak tahan menanggung kehancuran keluarganya. Ia gantung diri dalam sel setelah mendengar kabar bahwa isterinya yang tak kuat menahan cemoohan orang, suatu malam menelan pil tidur melebihi dosis. Perempuan itu segera diangkut ke rumah sakit. Dokter berhasil menyelamatkan nyawanya. Seminggu kemudian, perempuan itu diperkenankan pulang. Dan tiba di rumah, ia disambut berita bahwa dua hari sebelumnya, suaminya mati gantung diri.

"Ibu Ossy kini dirawat di rumah sakit jiwa,"

Rosmalina mengakhiri ceritanya. Supriyanto terhenyak. Lemas.

"Dan... Ossy?" tanyanya, gemetar.

"Sudahlah, Yanto..."

"Ossy! Apa yang terjadi dengannya?!"

PRIMADONA  - ABDULLAH HARAHAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang