Raraningrum berkirim surat dari Semarang:
"Kau tidak mengundangku waktu diwisuda. Tidak pula pamit sewaktu akan meninggalkan Semarang. Namun begitu, Mas Yanto. Aku tak pernah lupa berdoa, semoga engkau tetap sukses..."
Supriyanto menyingkirkan berkas-berkas laporan di mejanya. Ia menulis surat balasan:
"Mungkin aku tegang, tetapi maafkanlah kealpaanku Ningrum. Terus terang harus kuakui bahwa kau punya andil besar dalam menggolkan cita-citaku. Budi baikmu akan senantiasa kukenang, dan entah bagaimana aku harus membalasnya. Aku pun berdoa semoga ada seorang pria yang lebih baik dari aku, muncul dalam kehidupanmu..."
Surat balasan itu kejam, memang. Tetapi memberi Raraningrum harapan kosong, jauh lebih kejam lagi. Doanya yang tulus ikhlas, ternyata pula dikabulkan Tuhan. Masih dalam tahun pertama ia menjalani tugas sebagai penyidik di resort kepolisian Ciamis, Supriyanto menerima sepucuk kartu undangan. Raraningrung akhirnya menemukan jodohnya: seorang pria yang masih ada pertalian keluarga, dan berpangkat Mayor tiga tingkat lebih tinggi dari pangkat yang saat itu tercantum dalam daftar gaji Supriyanto.
Sayang sekali, Supriyanto terpaksa harus mengecewakan Raraningrum sekali lagi. Disertai permintaan maaf, ia menitipkan bingkisan kado lewat seorang kerabat di Semarang. Karena pada hari pernikahan gadis itu, Supriyanto ditugaskan pergi membantu komandan sektor kepolisian Pangandaran untuk menyelidiki sebuah kasus pembunuhan.
Supriyanto berhasil melacak pelakunya, dan kemudian meringkus si pembunuh di salah satu penginapan pinggir pantai. Setelah orang itu diborgol dan dinaikkan ke mobil tertutup oleh rekan-rekannya, Supriyanto mengawasi perempuan tua yang memiliki penginapan dimaksud, dan juga dua penginapan lainnya di sepanjang pantai Pangandaran.
Dipandangi berlama-lama, dengan sorot mata tajam pula oleh seorang polisi bertampang keren, perempuan tua itu gemetar pucat.
"Apakah aku ikut ditangkap?" ia bertanya ketakutan.
"Ibu bersih," jawab Supriyanto, tidak melepaskan matanya dari perempuan itu. "Apakah kita pernah bertemu?"
"Maksud pak Letnan?" perempuan itu makin cemas.
"Suatu ketika. Di suatu tempat, rasanya saya pernah melihat ibu... entah kapan, entah di mana?"
"Tetapi, pak Letnan. Saya belum pernah terlibat kejahatan. Penginapan ini saya beli beberapa tahun yang lalu dengan uang halal. Saya pun menjalankannya tanpa pernah melanggar peraturan. Saya..."
"Boleh saya tahu nama ibu?"
"Marni."
"Marni?"
"Ya. Marni. Lengkapnya, Marni binti Haji Asyikin. Saya lahir di daerah ini. Begitu pula anak-anak saya, cucu-cucu saya. Saya memang pernah meninggalkan daerah ini selama beberapa tahun, untuk melupakan kesedihan setelah saya ditinggal mati suami dan dua orang anak-anak saya..."
Pulang ke Ciamis, Supriyanto tak dapat membuang perempuan tua itu dari pikirannya. Ini adalah tugas pertamanya di Pangandaran. Perempuan itu bilang, ia lahir di daerah itu, melahirkan anak-anaknya di situ, menguburkan suaminya dan dua di antara sekian orang anaknya di daerah itu pula. Jadi mereka, kalau pernah bertemu, bukan di Pangandaran.
Perempuan itu pernah beberapa tahun pergi merantau. Mungkinkah dalam perantauannya itu, mereka pernah bertemu? Tetapi di mana? Dalam kaitan apa? Lalu, namanya. Marni. Ia yakin benar, pernah mendengar nama itu. Marni! Siapa itu Marni?"
Keajaiban terjadi. Besok harinya, di atas mejanya terletak sepucuk surat. Pengirimnya adalah Suprihatin, mengabarkan bahwa ayah mereka jatuh sakit lagi. Antara lain, Suprihatin menulis:
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONA - ABDULLAH HARAHAP
AdventureSebuah novel lama karya Abdullah Harahap yang terbit dalam bentuk stensilan di tahun 1980an, berkisah tentang petualangan seorang perwira polisi bernama Supriyanto.