"Sudah kau catat semua, Yanto?"
"Sudah, mama."
"Berapa jumlah yang diundang?"
"Hampir dua ratus orang, mama. Tetangga-tetangga sekitar, teman-teman arisan mama, teman-teman sekantor papa, famili..."
"Tak ada yang terlewat?"
"Rasanya sih tidak, mama..."
"Coba sini, aku lihat."
Supriyanto menyodorkan berlembar-lembar kertas berisi catatan nama-nama dan alamat-alamat. Ibunya menyimak sebentar, kemudian dahinya berkerut. Suaranya terdengar murung ketika ia berkata:
"Kau melupakan mereka, nak."
"Mereka siapa, mama?"
"Familimu."
"Tetapi, mama..."
"Yang kau catat di sini, baru famili dari pihak ayahmu saja..."
Supriyanto tersentak.
"Oh, iya ya..." gumamnya terbata-bata, dan sangat menyesali kealpaannya manakala ia lihat wajah ibunya yang sendu.
"Kalau diundang, apakah mereka akan datang mama? Mereka jauh-jauh tinggalnya, dan selama ini..."
"Kewajiban tetaplah kewajiban, anakku. Soal datang atau tidaknya, bukan hak kita lagi. Nah. Catatlah..."
Surat undangan untuk famili dari pihak ibunya itu, dilampiri pula masing-masing sepucuk surat yang ditulis tangan oleh ibunya pula. Supriyanto tergerak untuk membaca isinya, tetapi hati nuraninya menolak. Itu adalah rahasia orang tua, pikirnya.
Adapun ayahnya, bagaimanapun didesak tetap tidak mau menulis surat. Ketika akhirnya ia menyerah juga, ayah Supriyanto cuma berkata:
"Bilang saja, bu. Aku kirim salam, begitu."
Surat-surat itu dikirim jauh sebelum waktunya mengirim surat undangan yang lain.
Satu minggu kemudian, datanglah balasannya. Tidak serempak. Mula-mula yang dari Banjarmasin, lalu yang dari Medan, terakhir yang dari Irian Jaya. Setiap menerima surat dari saudaranya itu, ibu Supriyanto tidak langsung membukanya. Ia menyimpannya dengan hati-hati, dan berpesan keras agar tidak seorangpun yang boleh membukanya sebelum diijinkan.
Suprihatin bertanya penasaran:
"Yang dari Banjarmasin serta dari Medan sudah datang. Mengapa mama harus tunggu yang dari Irian?"
Ibu mereka jelas tegang ketika menjawabnya. Katanya, ia ingin mebuka setiap surat yang datang seketika itu juga. Tetapi ia ingin tahu, apakah ketiga orang saudaranya akan membalasnya semua. Dan kalau sudah, baru ia buka. Dengan begitu, ia berharap: apabila yang satu mengatakan tak mau datang, semoga yang lain mengatakan mau datang. Jadi luka hatinya tidak seberapa.
"Bagaimana kalau ketiganya tidak datang?" celetuk Supriyanto.
Sebelum ibunya menjawab, sang ayah sudah mendahului. Kalimatnya pedas bukan main:
"Sudah pasti mereka tak datang. Sudah pasti, mereka hanya ingin memperhinakan kita lagi!"
"Jangan memastikan sesuatu yang belum terjadi, papa. Itu namanya mendahului Tuhan!" Suprihatin mencerca.
Ketika akhirnya ketiga pucuk surat yang ditunggu sudah terkumpul, ibu masuk ke kamarnya. Ia tidak ingin diganggu selama membukai surat-surat itu. Supriyanto dan Suprihatin saling bertukar pandang. Jelas, keduanya sama cemas. Sedang ayah mereka, acuh tak acuh saja. Pura-pura asyik dengan surat kabar di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONA - ABDULLAH HARAHAP
AdventureSebuah novel lama karya Abdullah Harahap yang terbit dalam bentuk stensilan di tahun 1980an, berkisah tentang petualangan seorang perwira polisi bernama Supriyanto.