AWAL PERANG BERKEPANJANGAN

245 13 0
                                    

Mereka bersaudara, ada enam orang. Yang sulung, namanya Tombuk. Di bawah Tombuk, adalah Delila, Lukman, Parlindungan, Syamsiah. Mereka berlima lahir di Padangsidempuan. Rosmalina adalah anak paling bungsu. Ia lahir di Sawit Seberang, ketika ayah mereka, Nurdin namanya, diterima bekerja sebagai mandor di perkebunan kelapa sawit itu.

Nurdin tekun bekerja, tahu menghargai bawahan dan ke atas, ia hormat. Dengan cepat ia meningkat jadi mandor kepala. Oleh direktur, ia dianjurkan sekolah sambal bekerja. Demikianlah, setelah menamatkan sekolah, Nurdin meningkat jabatannya.

Peristiwa bersejarah itu terjadi setelah Nurdin memperoleh kedudukan sebagai Asisten Teknik. Waktu itu Tombuk sudah kawin. Delila sudah meningkat remaja, begitu pula Lukman dan Parlindungan. Syamsiah dan Rosmalina baru remaja tanggung, tetapi sudah dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan kehidupan keras di sekeliling mereka.

Lalu terjadilah kehendak Tuhan. Delila jatuh cinta pada teman sekelasnya, Bambang Prakoso Joyodipuro. Pemuda itu adalah anak sulung dari Pak Prakoso Joyodipuro, Asisten Kepala di perkebunan kelapa sawit itu. Jadi jabatannya setingkat di atas jabatan Nurdin, ayah Delila.

Setelah lulus SMA, Bambang Prakoso bermaksud melanjutkan studi ke ITB di Bandung. Namun sebelumnya, ia ingin dipertunangkan dengan Delila, yang tentu saja disetujui Delila dengan sukacita tiada terhingga. Pemuda itu mengutarakan maksudnya pada orang tuanya, yang ternyata pula menyetujuinya.

Berkata Prakoso Joyodipuro pada putera kesayangannya itu: "Bapak kenal baik dengan Nurdin, ayah Delila. Ia temanku main catur. Kuharap ia tentunya tidak keberatan anaknya kita lamar."

Memang benar, Prakoso telah mengenal Nurdin dengan baik. Cuma sayang, apa yang dikenalnya cuma kulit luarnya saja. Nurdin yang tekun, berdisiplin, tegas terhadap bawahan yang melanggar peraturan, berani menegur atasan yang salah menerapkan peraturan. Prakoso tidak mengenal kulit dalam Nurdin: lemah, tak berdaya, rapuh. Di kantor, Nurdin boleh nomor satu. Tetapi di rumah, Nurdin adalah nomor dua.

Memang benar pula, menurut adat Batak, Nurdin telah membeli Masdalena, isterinya. Tetapi Nurdin telah membeli barang yang harganya teramat mahal, yang tidak sesuai untuk dirinya. Seperti seorang petani di desa, yang jauh-jauh pergi ke kota untuk membeli sepasang sepatu model terbaru. Saking terpesona melihat sepatu itu, ia langsung menyuruh pelayan membungkusnya. Dan setiba di kampung, baru ia sadari kalau sepatu itu kelewat besar untuk jadi alas kakinya.

Cobalah kita telusuri asal usul leluhur mereka berdua, di jaman masih berlangsungnya perang antar suku marga. Maka akan terlihat, leluhur Masdalena dahulu adalah suku marga yang melahirkan raja-raja. Nurdin, sebaliknya. Leluhur Nurdin dahulunya adalah tawanan perang, yang oleh raja yang menawannya dijadikan hamba sahaya.

Kalau masalahnya hanya sampai di situ, tak apalah. Toh jaman telah berubah. Namun justru jaman pulalah yang kemudian membuat situasinya tetap seperti semula. Nurdin diterima jadi mandor di perkebunan, adalah berkat pengaruh paman sepupu Masdalena, seorang pensiunan Kepala PNP. Dalam permainan catur, Nurdin sudah kena skak.

Kemudian, sambil bekerja ia sekolah. Keluarganya terpaksa harus hidup dari gaji tok, tanpa bonus, tanpa pemasukan sampingan. Karena itu diperlukan uluran tangan orang lain. Kali ini, ayah Masdalena yang turun tangan. Berkat dukungan moril dan tunjangan materiil mertuanya, Nurdin berhasil menyelesaikan sekolah tanpa harus mengganggu kehidupan ekonomi keluarganya. Dalam permainan catur, Nurdin kini terkena skak mat, ia mati langkah!

Sehingga disadari atau tidak darah keturunan Masdalena pun bangkit ke permukaan; darah penguasa. Putih katanya, putihlah kata Nurdin. Hitam kata Masdalena, hitamlah kata Nurdin, meski yang dilihat Nurdin kuning, sekuning matahari. Sebagai keturunan hamba sahaya, hendaklah ia tutup matanya apabila sang penguasa mengharuskannya.

PRIMADONA  - ABDULLAH HARAHAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang