Di Semarang, Bambang Prakoso menamatkan studinya. Ia kemudian diterima sebagai pegawai negeri di sebuah instansi pemerintah. Ia kini sudah bisa berdiri sendiri. Prakoso Joyodipuro berulang kali mendesak agar anaknya segera memilih jodoh dan memulai lembaran hidup yang baru. Sanak keluarga yang lain tak kurang pula membujuk. Semuanya sia-sia.
Dalam jiwa Prakoso, hanya ada satu perempuan untuk dicintai. Dan perempuan itu, adalah Delila. Ayahnya yang sudah berangkat tua, tak bisa berbuat apa-apa.
"Penghinaan Nurdin sukar kulupakan, anakku. Tetapi kalau kehendakmu sudah begitu keras, apa boleh buat. Kupikir-pikir, salah seorang ayah memang bukanlah tanggung jawab anaknya."
Cuti pertamanya, ia putuskan untuk pergi ke Medan. Tombuk sudah meninggal. Usahanya diteruskan oleh Lukman, yang kemudian memperisteri bekas isteri abangnya.
"Jadi begitulah. Saat aku naik pelaminan, aku sudah punya anak tiga," kata Lukman ketika mereka bertemu.
Sambutannya atas kedatangan Bambang, tidak bersahabat. Lukman rupanya mempunyai pendirian, kesengsaraan yang dialami keluarganya bermula dari perbuatan Bambang yang telah meracuni jiwa adiknya, Delila.
"Ia sudah pindah ke Jakarta. Tak tahu alamatnya dimana," kata Lukman menjawab pertanyaan Bambang mengenai Delila. "Ia sudah kawin dua kali. Tandanya, ia sudah tidak mencintai kau lagi."
Bambang tidak bertemu dengan saudara-saudara Delila yang lain, karena Lukman tak memberikan alamat mereka. Ia hanya memberitahu Syamsiah sudah kawin, Parlindungan masih kuliah di IPB Bogor.
Ketika Bambang yang putus harapan meninggalkan rumah itu, di suatu persimpangan jalan ia dicegat seorang gadis yang meningkat remaja. Gadis itu tersenyum padanya. Manis sekali.
"Hai, bang," sapa si gadis manis.
"Hai. Siapa... eh, kau tentunya Rosmalina!" Bambang Prakoso terkejut.
"Hem. Kukira abang sudah lupa," jawab gadis itu dengan wajah bersemu merah. "Abang makin tampan saja kulihat."
"Kau pun makin cantik, Rosma."
Makin merah wajah itu. "Aku sengaja menyusul abang," katanya. "Tanpa setahu bang Lukman. Jadi, ayolah kita pergi dari sini, sebelum ia memergoki kita."
Mereka berbicara di sebuah warung pinggir selokan, sambil menyantap hidangan kolak es. Rosmalina menceritakan semuanya yang terjadi. Tentang kesengsaraan yang terus menimpa keluarga mereka. Tentang ayahnya yang sudah meninggal. Tentang ibunya yang harus menjalani cuci darah sepanjang sisa hidupnya. Tentang Delila yang terpaksa kawin dua kali, jadi janda dua kali.
"Kak Del kini jadi peragawati terkemuka di Jakarta. Bayarannya mahal," kata Delila.
"Dari siapa kau tahu?"
"Kak Del sendiri. Lewat surat-suratnya. Katanya, sesekali juga ia jadi bintang film, jadi gadis model, dan punya kerja tetap sebagai sekretaris di sebuah perusahaan..."
"Banyak benar. Sanggup dia?"
"Yah, demi kami. Demi ibu kami yang sakit," Rosmalina mengeluh, getir. "Aku kini sudah kelas dua SMA. Nanti kalau sudah lulus, aku akan cari kerja saja. Kasihan kak Del, mati-matian memeras keringat untuk kami semua. Maksudku, kecuali bang Lukman yang sudah punya usaha sendiri."
"Tak ingin meneruskan ke perguruan tinggi?"
"Ingin sih ingin. Tetapi yah... kasihan kak Del," matanya berlinangkan butir-butir air bening. "Aku sering didatangi mimpi buruk. Tiap kali aku bermimpi, tiap kali kulihat tangan kak Del menggapai-gapai, seolah minta tolong. Kalau kudekati, kak Del menghilang. Yang kudengar, tinggal isak tangisnya, yang kian lama kian menghilang pula."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONA - ABDULLAH HARAHAP
AdventureSebuah novel lama karya Abdullah Harahap yang terbit dalam bentuk stensilan di tahun 1980an, berkisah tentang petualangan seorang perwira polisi bernama Supriyanto.