KETEGANGAN

240 15 0
                                    

Syukurlah, bencana yang ditakutkan itu tidak sampai terjadi. Setelah ibunya siuman dan mengatakan ia baik-baik saja, Supriyanto menyambar Vespa Suprihatin lantas terbang ke rumah Parlaungan. Tak ada mobil ayahnya di pekarangan rumah itu. Syukur lagi. Jadi papa belum kemari, pikirnya.

Herannya, di dalam rumah terang benderang. Dan belum juga Supriyanto memijit bel, pintu sudah terbuka sendiri. Sosok tubuh tinggi besar tahu-tahu sudah tegak di depannya.

"Ah, kau Yanto. Masuklah. Dan jangan bilang kakakmu cidera!" ia setengah berseru, kuatir.

Supriyanto tidak masuk. Ia langsung menceracau, lebih kuatir lagi:

"Kakak sih tak apa-apa. Yang kutakutkan papa. Menyingkirlah jauh-jauh, bang Laung. Papa akan membunuhmu!"

"Terima kasih, dik. Tetapi aku tak akan lari. Apa yang terjadi?"

"Gempar, bang, aduh! Mereka berkelahi. Kakak dicekik... ah, ah, maksudku hampir dicekik. Kemudian papa minggat dari rumah. Katanya ia akan membunuhmu, dan... ah, jangan-jangan ia sedang dalam perjalanan kemari, bang Laung. Ayolah, jangan berdiri bengong begitu. Larilah, lekas...!"

"Sudah kubilang, dik. Aku tak akan kemana-mana..." Wajah Parlaungan tampak keruh. "Hem, sudah kuduga, ayah kalian pasti ngamuk. Dan... eh, nanti dulu. Jadi dia minggat ya? Siapa yang duluan meninggalkan rumah. Kau, atau ayahmu?"

"Papa."

"Kalau begitu, ia belum kesini, dan kalau memang ia bermaksud membunuhku, maka ia akan mendahului kau. Jangan-jangan... he, Yanto. Kau masukkan Vespamu ke dalam. Kau ikut dengan mobilku saja,"

Parlaungan menghambur masuk.

"Kita ke mana?" tanya Supriyanto bingung seraya memasukkan Vespa ke dalam.

Dari kamarnya, terdengar jawaban Parlaungan yang panik:

"Ayahmu. Justru beliau yang harus kita kuatirkan!"

Parlaungan selesai bersalin pakaian, mengeluarkan mobilnya dari garasi, lantas ngebut membelah kegelapan malam. Wajahnya makin keruh saja, dan beberapa kali ia memukul-mukul setir sambil mengumpat-ngumpat tak karuan, jelas sangat menyesali dirinya sendiri. Supriyanto yang diam saja karena masih bingung, batuk-batuk kecil. Barulah Parlaungan sadar ia tidak seorang diri, katanya:

"Coba kau ceritakan aku, Yanto. Bagaimana terjadinya..."

Supriyanto menceritakannya. Dan mengakhirinya dengan perasaan kuatir yang belum juga hilang:

"Mestinya abang lari saja. Abang malah cari penyakit!"

Parlaungan mencoba tersenyum. Bergumam:

"Kau ini perempuan atau laki-laki, dik?"

"Laki-laki dong, bang Laung."

"Nah. Kalau yang seperti ini terjadi pada dirimu sendiri, apa yang akan kau perbuat?"

Supriyanto tersedak. Seketika ia sadar arah pertanyaan Parlaungan. Ia menyesal.

"Maaf, bang. Tadi aku..." ia batuk-batuk kecil lagi. "Soalnya kalau sampai terjadi apa-apa... Ya, ya. Kalau aku sih, tak akan lari, bang!"

"Bagus! Itu namanya laki-laki. Tak percuma aku punya adik ipar macam kau, dik..."

Parlaungan menepuk-nepuk pundak Supriyanto, membuat yang ditepuk-tepuk bangga bukan main. Kemudian,

"Sekarang, Yanto. Sebagai seorang calon polisi, coba tebak. Kemana kita harus pergi mencari ayahmu? Seorang ayah yang sedang marah, putus asa, kehilangan akal sehat..."

Semakin lama semakin rendah suara Parlaungan. Ia menggumamkan kata-kata tak karuan lagi. Lupa Supriyanto belum menjawab pertanyaannya, ia mendengus:

PRIMADONA  - ABDULLAH HARAHAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang