LELAKI YANG TERPOJOK

343 16 0
                                    

Hari berikutnya Supriyanto muncul di rumah sakit sekitar pukul sepuluh pagi. Seketika itu juga ia kalang kabut. Ibunya tidak ada di kamar yang kemarin. Suprihatin tak tampak batang hidungnya. Begitu pula ayah mereka. Gugup, ia mendatangi suster jaga yang kemudian memberitahu bahwa ibu Supriyanto sudah masuk kamar operasi setengah jam sebelumnya.

"Tahu tempatnya, dik?" suster itu bertanya.

Supriyanto menggeleng.

"Mari saya antarkan," ajak suster.

Di depan kamar operasi, Supriyanto tidak saja melihat kakak serta ayahnya. Ia juga melihat kehadiran tiga orang lain yang segera ia kenali sebagai paman serta Oom-nya dari pihak ayah. Mereka lantas bergegas menyongsong Supriyanto, menyalaminya, memeluknya, bahkan menangisinya sehingga Supriyanto semakin kalang kabut.

"Mama," ia mengerang ketakutan.

"Ibumu akan segera baik kembali, nak. Sabar dan tenangkan hatimu," bujuk pamannya. "Kau baru dari sekolah ya? Kok cepat pulangnya...?"

"Tak ada pelajaran, paman. Dan besok kami libur. Mana mama? Aku ingin bertemu dengannya."

"Nantilah. Kau sudah makan? Ayo, kutemani ke kantin. Kau boleh pilih, mau makan apa..."

"Aku tak lapar. Aku mau mama," air mata Supriyanto berlinang.

Pamannya menyerah. Ia sendiri sudah tidak dapat menahan air mata. Akhirnya ia biarkan anak itu berlari mendapatkan kakaknya, dengan siapa Supriyanto saling rangkulan, sesenggukan. Suprihatin menarik adiknya duduk di sebuah bangku panjang.

Tak jauh dari situ duduk ayah mereka dengan bahu turun dan kepala menekur sampai dagunya mencapai dada. Ayahnya bagaikan patung, diam tak bergerak-gerak, matanya pun hampir tak berkedip.

"Papa mengapa?" bisik Supriyanto, terbata-bata.

Suprihatin menyeka air matanya. Menjawab terputus-putus:

"Rupanya papa mengalami pukulan batin sangat berat. Sepanjang malam ia tak tidur barang sekejap. Tak mau diajak ngobrol. Aku kuatir... papa jatuh sakit pula, Yanto."

Supriyanto terkejut mendengarnya. Pasti ada apa-apa.

"Mama?" ia mengisak.

Suprihatin gemetar. Katanya, serak:

"Sebelah ginjal mama terpaksa diangkat..."

"Diangkat?"

Sadar adiknya belum cukup dewasa untuk mengerti, Suprihatin menjelaskan:

"Diangkat oleh dokter. Lalu dibuang!"

"Segawat itu?"

Supriyanto bergidik. Seram.

"Yanto. Rupanya selama ini kau kurang memperhatikan. Mama suka mengeluh bahwa ia sakit

pinggang."

"Tetapi kemarin, ia bilang... ia sakit perut."

"Untunglah mama mengalami sakit perut. Rupanya ia menderita radang ulu hati. Masih bisa disembuhkan. Waktu dironsen, baru ketahuan kalau ginjal mama sudah busuk sebelah. Andai tak cepat diketahui, ginjal lainnya pasti terkena pula..."

"Mama tak apa-apa kan?"

"Mudah-mudahan."

"Ia akan tetap hidup ya? Ia akan segera pulang ke rumah? Berkumpul dengan kita lagi?"

"Mari kita doakan, Yanto."

Dan Supriyanto berdoa tak putus-putusnya, dengan perasaan takut yang aneh menghantui pikirannya. Entah mengapa ia dapat merasakan bahwa ia bukan takut mengenai ibunya. Ia percaya Ibunya tetap hidup, ibunya akan sehat kembali. Apa yang ia takutkan, adalah sesuatu yang lain. Sesuatu, yang dapat ia rasakan, namun tak dapat ia ketahui maknanya.

PRIMADONA  - ABDULLAH HARAHAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang