DENDAM MASA LAMPAU

272 14 0
                                    

Lama juga waktu berlalu sebelum akhirnya Supriyanto menyadari kekeliruannya. Ia sudah duduk di bangku kelas tiga SMA, ketika Suprihatin menyelesaikan studinya di Akademi Bahasa Asing. Tawaran pekerjaan sudah datang untuknya dari sebuah perusahaan swasta yang bonafiditasnya tidak pernah diragukan umum.

Sambil menimbang-nimbang apakah tawaran itu ia terima saja atau lebih baik melamar jadi pegawai negeri, Suprihatin lebih dulu ingin memperoleh keputusan dari ayah mereka. Keputusan yang jauh lebih penting daripada ijazah ABA-nya, keputusan yang jauh lebih berharga daripada tawaran pekerjaan perusahaan manapun juga. Keputusan itu, mengenai pernikahannya.

Setelah dipilih waktu yang tepat, ayah pun sedang rilek pula, maka berlangsunglah peperangan itu! Bermula dengan obrolan santai kian kemari. Ujung-ujungnya, Suprihatin berdehem-dehem. Ibu menangkap makna deheman itu, lantas berpaling pada suaminya.

Dengan ketetapan hati, beliau berkata seolah sambil lalu:

"Pak. Anak kita, Alhamdulillah, telah berhasil menyelesaikan kuliahnya. Jadi, masa depannya tidak lagi begitu kita kuatirkan. Yang kini harus kita pikirkan, adalah usianya. Suprihatin sudah waktunya memulai hidup baru,"

Dia berhenti sebentar mencari kata-kata terbaik untuk diucapkan. Lalu, "Bagaimana menurut pandanganmu, pak? Apakah Suprihatin kerja dulu baru menikah, atau menikah dulu baru bekerja?"

Sepi sejenak. Suprihatin bergidik. Supriyanto dapat merasakannya. Sang kepala keluarga, menyedot pipa cangklongnya kuat-kuat.

Akhirnya:

"Bagaimana baiknya sajalah," jawab ayah mereka datar.

Itu bukan jawaban yang dikehendaki. Namun sang isteri dapat menahan sabar. Gumamnya:

"Maksudmu, pak?"

"Lho. Maksudku jelas. Aku tak berhak menjawab pertanyaan itu. Yang lebih berhak orangnya."

Sang penengah, berpaling memandangi anak perempuannya. Meski sudah tahu apa jawabannya, toh ia bertanya pula:

"Bagaimana, nak? Ayahmu memberimu kebebasan memilih."

Suprihatin merundukkan kepala, menekuri kakinya. Ia tersipu malu. Tetapi jauh dalam hati sanubarinya, ia ketakutan setengah mati. Lama, baru ia menyahuti:

"Aku sih... maunya berumah tangga dulu..." ia memperdengarkantawa orang sakit gigi.

Meneruskan:

"Lagi pula soal bekerja, ada baiknya dimintakan pendapat calon suamiku."

"Pikiran bagus," sela ayah. "Pikiran bagus. Kudengar-dengar, Praktikto mendambakan seorang isteri tipe ibu rumah tangga tulen. Ia agak kuno, memang. Tidak mau punya isteri seorang wanita karier. Alasannya kumengerti. Karena ia sendiri mempunyai penghasilan lebih dari cukup, dan dia..."

Di kamarnya, bolpen di tangan Supriyanto lepas, menggelinding ke lantai. Di ruang tengah, Suprihatin bertanya setengah menjerit:

"Si... siapa pa?"

"Praktikto. Putera bungsu Hasbullah, Uwamu. Mereka sudah lama menanti. Tetapi memahami keinginanmu menyelesaikan kuliah lebih dulu, mereka mau mengerti. Sekarang... hei, kau sakit, Suprihatin?"

Ibu tidak bertanya apa-apa. Rupanya ibu mendadak hilang gairah.

Suprihatin akhirnya bersuara juga:

"Aku tak apa-apa, papa. Aku hanya..." lalu tiba-tiba saja ia menangis tersedu-sedu.

Sambil menangis, ia mengeluarkan jeritan hatinya:

"Mas Praktikto tidak pantas memperisteri aku, papa...

"Apa pula maksudmu?" ayah membentak. "Apakah kau tetap ingin mempersuamikan orang Batak sialan itu?"

PRIMADONA  - ABDULLAH HARAHAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang