Mundur ke masa lalu: pertama kali melihat orang pingsan, Supriyanto panik setengah mati. Konon pula yang pingsan itu ibunya sendiri. Hari itu, dua jam pelajaran terakhir di sekolah dibatalkan karena guru matematika sedang mengikuti penataran P4. Teman-teman Supriyanto pada ribut pergi ke Parung diajak salah seorang murid yang berulang tahun. Orang tua yang merayakan ulang tahun itu punya kebun durian di Parung yang kebetulan sedang panen. Titik air liur Supriyanto membayangkan betapa asyiknya ramai-ramai makan durian, jatuhan pula lagi. Tetapi ia tak mungkin ikut mereka.
"Mamaku sakit," katanya.
Ia agak terhibur setelah kawan-kawannya berjanji.
"Jangan kuatir. Akan kami sisakan untuk kau dan ibumu."
Lezatnya durian itu segera dilupakan Supriyanto setiba di rumah. Ibunya ia temukan merayap di lantai kamar, mencoba naik ke tempat tidur. Wajah ibunya memuith seperti kapas. Suaranya hampir-hampir tak terdengar:
"Perutku, nak. Ampun, sakitnya...!" Biji mata ibunya kemudian terbalik-balik, sebelum mengatup ratap. Tubuhnya mengejang sesaat, kemudian diam tak bergerak-gerak.
"Mama mati. Mama mati. Mama..."
Supriyanto melemparkan tas sekolahnya, mengguncang-guncang tubuh ibunya sambil meratap berkepanjangan. Lolongannya menggemparkan para tetangga. Mereka datang berlari-lari. Berusaha menarik-narik Supriyanto yang terus saja memeluki ibunya seraya menangis histeris. Ia meronta ingin melepaskan diri. Tetapi mereka terus memeganginya, membujuknya dengan kata-kata manis menghibur, sementara yang lain berusaha menyadarkan ibunya.
"Ia cuma pingsan, nak," kata mereka.
Salah seorang tetangga pergi mengambil mobil dari rumahnya. Ibu Supriyanto seketika itu juga diangkut ke rumah sakit.
Dalam perjalanan, ibunya sempat menggeliat, membuka mata dengan susah payah, lalu mengeluh:
"Anakku, mana dia?"
Mengetahui ibunya sadar, Supriyanto tidak lagi menangis. Ia tertawa tanpa malu-malu. Di rumah sakit, dokter yang memeriksa ibunya memanggil Supriyanto.
"Nak. Ibumu terpaksa diopname. Mungkin harus dibedah," dokter itu memberitahu. "Tetapi sebelumnya, kami harus memperoleh persetujuan keluarga. Dapat kau hubungi ayahmu sekarang juga, nak?"
Hubungan telepon ke kantor ayahnya sedang sibuk. Lalu ia putuskan pergi naik taksi saja. Ternyata ayahnya tidak ada di kantor.
Sekretarisnya bilang: "Tadi pergi entah kemana. Tapi katanya akan kembali."
Pegawai yang lain juga tidak tahu kemana perginya ayah Supriyanto. Ketika turun lagi ke bawah, kebetulan ia lihat mobil ayahnya memasuki halaman parkir. Sialnya, yang dicari tak ada di dalam mobil.
Supir bilang satu jam sebelumnya pergi mengantar majikannya ke Ciputat.
"Bapak menyuruhku mengantar beberapa pucuk surat. Selesai itu, aku diperintahkan kembali ke sini..."
"Ia akan lama di sana?"
"Katanya, mungkin sore baru pulang," jawab supir.
Supriyanto tak sabar menunggu selama itu. Supir itu tampak enggan ketika diharuskan kembali ke Ciputat.
"Macet sekali di jalan," katanya berdalih.
Namun setelah ia dengar penjelasan bahwa isteri majikannya diangkut ke rumah sakit, supir itu lantas tancap gas.
Untuk menghindari kemacetan, supir itu menjauhi jalan-jalan protokol dan memilih jalan-jalan samping yang lebih sepi. Memang makan waktu, tetapi lebih cepat tiba di tujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONA - ABDULLAH HARAHAP
AdventureSebuah novel lama karya Abdullah Harahap yang terbit dalam bentuk stensilan di tahun 1980an, berkisah tentang petualangan seorang perwira polisi bernama Supriyanto.