Sebelum usai masa berkabung, Supriyanto sudah terbang dari Jakarta. Lebih dulu ia sempatkan ke Ciamis. Melapor ke komandan bahwa ia telah pulang dari Jakarta dan terpaksa harus pamit beberapa hari lagi. Setelah itu, barulah ia putar balik lagi ke Bandung.
Setelah mendaftarkan diri di sebuah hotel, ia memulai tugasnya. Tugas yang membuat jantungnya berdebar: Primadona, ini aku datang!
Di kantor Sat Serse Unit Susila ia serahkan Surat Perintah Jalan yang dibuatkan oleh Komandan-nya sebelum meninggalkan Ciamis. "Supaya kau lebih leluasa bergerak," demikian Komandan memaksa.
Tetapi setiba di Bandung, Supriyanto melaporkan apa yang sebelumnya ia juga laporkan pada Komandan-nya:
"Terima kasih untuk bantuan yang diberikan pada saya. Dan maaf. Selanjutnya, saya ingin bergerak sendirian..." dan ia memberikan alasan yang tepat:
"Saya tak mau sasaran kita terkejut."
Rasa malu itu lagi: ia tak mau orang lain tahu siapa itu Delila.
Ia mengantongi catatan mengenai nama dan alamat si penjamin, sewaktu Delila dengan nama Marni pernah dijaring oleh polisi. Peristiwa memalukan itu terjadi dua tahun sebelumnya. Tetapi rekan-rekan sejawat menegaskan bahwa penjamin sudah dilacak dan bisa dimintai petunjuk.
Supriyanto juga diberitahukan bahwa si penjamin itu pernah jadi tentara dengan pangkat terakhir Sersan Mayor, sebelum dipecat tidak hormat karena ketahuan membackingi sindikat perjudian. Meski sudah dipecat, ia masih punya gigi yakni pejabat berpengaruh di salah satu instansi.
Gigi itu ternyata ada gunanya. Misalnya membuat para petugas yang mengurus kasus Marni tak berdaya. Si penjamin mengaku sebagai saudara sepupu Marni, dan para petugas tahu betul berapa puluh orang pelacur yang diakuinya sebagai saudara sepupu.
Pemberi informasi pada Supriyanto sampai menggerutu:
"Orang ini benar-benar saudara sepupu yang bertanggung jawab, tetapi juga benar-benar tak tahu malu!
Sorenya, Supriyanto berhadapan dengan orang yang punya puluhan saudara sepupu itu. Umurnya sekitar 40-an, bertubuh tinggi besar dengan lengan bertattoo. Ia juga punya sebuah rumah gedung yang besar dan indah. Punya dua mobil mewah, tiga orang isteri yang dua di antaranya konon bekas pelacur, dan lebih dari selusin anak. Semua isteri dan anak-anaknya diharuskan tinggal satu rumah kecuali anak-anak yang sudah menikah.
"Dengan cara ini, aku dapat mengontrol mereka tanpa aku kuatir kecolongan," katanya dalam pembicaraan singkat dengan Supriyanto.
"Jadi kau ingin mencari seseorang, ya. Boleh aku tahu siapa namanya?" pokok persoalan ia kemukakan sendiri.
"Delila..."
"Laila, maksudmu?"
"Delila!"
"Sebentar ya, kuingat-ingat dulu. Delila hem, rasa-rasanya aku tidak pernah kenal. Maklum, aku harus mengingat sekian ratus nama. Banyak dari mereka kemudian ganti-ganti nama pula, sehingga..."
Supriyanto terjengah. Ia segera menyela: "Delila itu nama keluarga. Di luar, ia pakai nama Marni."
"Marni? Oh ya. Ya, Marni. Marni..." lalu si penjamin yang bertampang keren itu menyebut sejumlah gadis yang katanya anak asuhan dan tinggal di beberapa tempat.
"Marni yang mana yang kau ingin? Yang pantatnya besar? Yang dadanya bagaikan dua bukit kembar yang baru jadi? Atau? Ah, Marni mana pun yang kau pilih, aku dapat menjamin. Begitu ia buka pakaian, kau akan gemetar seketika..."
Untung mereka itu berbicara di sebuah warung, tak jauh dari rumahnya. Coba, kalau isteri dan anak-anaknya dengar... atau yah, isteri serta anak-anaknya sudah tahu, dan menganggapnya lumrah barangkali. Bukankah dua dari isterinya itu juga bekas pelacur? Supriyanto sampai geleng-kepala memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONA - ABDULLAH HARAHAP
AdventureSebuah novel lama karya Abdullah Harahap yang terbit dalam bentuk stensilan di tahun 1980an, berkisah tentang petualangan seorang perwira polisi bernama Supriyanto.