SJ 2 - Uler Bulu Gatel

4.9K 358 39
                                    

"Jangan deket-deket sama Galang, Ngga. Dia nggak cukup baik buat lo." ujar Seva penuh serat tak suka.

"Iya,"

Jingga juga nggak mau dekat dengan Galang. Pemaksa. Otoriter. Hanya biar Anya bisa deket dengan pujaan hatinya.

"Awas lo, kalo deket dia. Kena azab pedih dari gue, lo." Seva memicingkan mata.

"Ih, berisik banget, sih?" kesal Jingga.

Kini mereka sedang berada di ruang keluarga Jingga. Nonton spongebob di TV 64 inch itu. Seva masih dengan seragamnya, lain dengan Jingga yang sudah berganti pakaian.

Drrtt... Drrtt...

Ponsel Seva di meja berbunyi. Karena Jingga lebih dekat, ia yang mengambil ponsel itu. Nama Zenith tertera di layar.

"Dari Zenith, nih," Jingga memberi tahu.

"Angkat aja. Biasanya juga langsung angkat,"

Iya! Tapi ini dari Zenith! Nggak ada otak!

"Dia kan suka sama, lo!" gemas Jingga.

"Ya bodoamat. Orang gue nggak suka."

Tarik napas, buang...

"Seva ganteng, kalo gue yang angkat, besok gue habis. Bego!" umpat Jingga sambil menoyor Seva di sampingnya. Seva mengernyit. Omongan Jingga nggak ada yang masuk ke otaknya. Sungguh!

"Angkat-angkat!" Jingga mendorong ponsel ke arah Seva. Seva berdecak. Dengan sangat-sangat terpaksa, ia mengangkat telpon yang tak kunjung mati itu.

"Halo?" sapa Seva malas.

"Seva? Kok kamu lama sih angkatnya? Emang aku nggak penting ya, sampe dicuekin gitu?"

HA?!

"Sev? Kamu masih di sana, kan?" Zenith bertanya dengan lembut. Seva dari tadi hanya diam mendengarkan penuturan Zenith yang cukup membuatnya... Kaget?

Emang aku nggak penting ya, sampe dicuekin gitu? APAAN SIH?!

"Iya, iya. Gue masih di sini, kok!" jawab Seva.

"Aku mau ajak kamu besok ke toko buku. Kamu mau?"

"Gue kan bukan satu jurusan sama, lo." ujar Seva. Seva itu anak IPS, beda sama Zenith yang anak IPA.

Kali aja Zenith pake ilmunya di ekskul yang diangkat-angkat lalu jatuh dan ditangkap. Untuk mengukur jarak, kecepatan, dan kelembaman yang akan timbul.

"Cuma nemenin, kok!"

"Gu—e... tetep nggak bisa!" tolak Seva.

"Kenapa? Aku bayar sendiri, kok." Ini kenapa Zenith sangat memaksanya, sih? 

"Gue... gue harus anter Jingga pulang."  Jingga menoleh dan menatap Seva tajam. Enak aja namanya dibawa-bawa. Dia belum mau punya masalah sama preman sekolah yang menyamar jadi sekumpulan cewek cantik.

Nggak akan pernah mau, malah. Jangan sampai.

"Jingga? Adek kelas yang kamu anter-jemput itu?" tanya Zenith heran.

"Nah, itu lo tau."

"Dia siapa kamu, sih? Pacar? Adek? Atau gebetan? Dia sering nempel kamu mulu. Kamu nggak risih apa, diikutin uler bulu gatel kaya dia?!" bentak Zenith. Seva melotot, berani-beraninya dia menjelek-jelekkan Jingga. Di hadapannya pula!

"Emang lo siapa berani ngatur-ngatur gue?" Seva langsung mematikan telpon dan melempar ponselnya setelah ganti membentak Zenith.

Jingga berjengit kaget saat Seva melempar kasar ponselnya ke meja. "Kenapa sih? Ini meja kalo lecet gimana?"

"Tante sama Om pulang jam berapa, sih?" tanya Seva. Jangan sampai Jingga keduluan tanya tentang Zenith. Bikin emosi aja.

"Bentar lagi, paling. Lo mau pulang?" Udah hal lumrah buat Seva untuk main ke rumah Jingga sehabis sekolah. Menemani Jingga sampai ibu atau ayah atau adiknya pulang.

"Hm. Biru juga bentar lagi pulang, kan?" tanya Seva. Jingga mengangguk. Biru itu adik perempuannya. Dia lebih sering pulang sore untuk les karena sudah kelas 9.

Seva berjalan ke pintu diikuti Jingga. Saat sampai di pintu, mereka malah berpapasan dengan Jia, ibu Jingga. Jia sudah nggak kaget mendapati Seva di rumahnya walau cuma dua-duaan dengan Jingga. Ia percaya Seva.

Apalagi ayah Seva rekan kerjanya. Jadi kalau Jingga kenapa-napa, tinggal bakar saja ayahnya.

"Udah mau pulang, Sev?" tanya Jia.

"Iya Tan," jawab Seva ramah sambil menyalimi tangan Jia.

Pencitraan!

"Udah makan?" tanya Jia lagi. Seva menggeleng.

"Nih, Tante sengaja beli mie ayam bakso buat kamu sama Jingga. Ini, bawa pulang." Jia menyerahkan satu bungkus mie ayam bakso yang masih panas. Seva terima-terima saja. Kata orang, nggak baik nolak rezeki yang dateng.

"Makasih, Tan. Seva pulang ya," Seva melangkahkan kakinya ke motornya dan melambaikan tangan sambil menjalankan motornya. Jingga dan Jia tersenyum, balas melambaikan tangan.

"Sini, tasnya Jingga bawain," Tanpa aba-aba, Jingga mengambil tas jinjing Jia.

"Dengan senang hati,"

OoO

Jam 7 malam, keempat anggota keluarga harmonis itu berkumpul di ruang makan. Meja persegi dengan kursi di setiap sisinya itu penuh dengan masakan lezat buatan Attha dan Biru.

Jingga nggak bisa masak, jangan ajak dia memasak kalau belum mau dapurmu hancur. Jingga lebih suka main di studio musik ayahnya yang udah kaya tempat konser.

Alat musiknya lengkap, bor!

"Segini?" Jia memperlihatkan porsi yang diambilnya untuk Elvano.

"Lagi itu. Mana kenyang segitu. Hehe," Elvano terkekeh. Porsi makan pria emang nggak pernah bisa bohong.

Setelah selesai dengan Elvano, Jia mengambil makan untuk dirinya. Setelah itu ganti Jingga lalu Biru.

"Oh iya! Bunda lupa bilang sama Seva." Jia menepuk jidatnya. Semua orang serempak menoleh.

"Kenapa?" tanya Biru bingung.

"Om Aldi ada seminar di Malang. Nggak tau pulangnya kapan. Bunda disuruh nyampein ke Seva, tapi lupa,"

"Kenapa Om Aldi nggak bilang langsung?" tanya Biru bingung. Jia mengendikkan bahu, tak punya jawaban.

"Yaudah, habis makan kamu kasih tahu Seva ya, Ngga?" ujar Elvano sambil nepuk pundak Jingga.

"Nggak usah! Biar biru aja yang bilang ke Kak Seva."

OoO

Bingung, mau dibawa kemana...

Senja Jingga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang