SJ 8 - Anya

1.3K 144 69
                                    

Anya masih diam di tempatnya. Dia tak menyangka, Jingga sudah tidak mau membantunya.

"Nya, menurut gue, persahabatan kita udah masuk ke tahap saling memanfaatkan." Jingga membuat tanda kutip dengan dua jarinya.

Anya berkerut. "Maksudnya gue manfaatin lo demi deket sama Yusra?" 

"Nggak gitu," Iya, gitu.

"Terus?" Nada Anya mulai tak terdengar nyaman.

"Gini lho, maksud gue, kalo lo mikir gue udah nggak mau bantu lo, lo salah. Cuma, gue—"

"Ngga," Anya menyela. "Bisa to the point, nggak? Bukannya mudeng malah mubeng, nih."

"Intinya, lo bisa deket sama Yusra tanpa harus melibatkan gue dan Galang."

"Caranya?" Anya menaikkan sebelah alisnya.

"Gue juga nggak tau, Nya. Sorry kalo gue ngomong gini. Tapi gue beneran nggak nyaman sama galang."

"Tapi gue janji! Bakal cari cara." lanjut Jingga.

Anya menatap Jingga lalu menghembuskan napaa. Anya kecewa?

Tapi tidak. Bayangan Anya akan pergi lalu Jingga akan mencekal tangannya dan berakhir drama sekolah ala-ala tidak terjadi.

Anya malah memeluknya, menepuk punggung Jingga. "Harusnya gue yang minra maaf, Ngga. Udah nggak tau diri. Egois. Harusnya gue nggak cuma mentingin diri sendiri."

Jingga masih diam sampai Anya melepas pelukannya.

" Ngga, lo nggak mau maafin gue? Gue bener-bener sadar, Ngga. Gue belum mabuk rumus matematika,"

"Lo.... nggak marah?" Perlahan senyum Jingga terbit.

Anya mengangguk, "Ngapain juga gue perlu marah? Harusnya gue berterima kasih sama lo. Kalo aja lo nggak bilang yang kaya tadi, mungkin aja gue masi bimbang mau memanfaatkan lo atau nggak,"

"Halah, bahasa lo ketinggian. Anya yang gue kenal nggak bijak. Kesurupan ya, lo?"

"Apaan si, gelo sia mah!"

Akhirnya Jingga dan Anya memilih ke kantin untuk menghabiskan sisa jam istirahat mereka.

Dengan pesanan masing-masing, Jingga dan Anya duduk berhadapan di dekat tembok.

"Njir, enak banget makan sambil sender, gini," kata Anya sambil menyenderkan bahu kanannya ke tembok.

"Apalagi kalo nyender ke Yusra," balas Jingga dengan nada mengejek. Hapal betul dengan kalimat Anya yang selalu membandingkan segala bentuk kenikmatan Tuhan dengan Yusra—si malaikat Tuhan, kalau kata Anya.

"Tau aja," Anya terkekeh. "Eh, Ngga, itu kak Seva, ya?"

Jingga mengikuti arah pandang Anya. Seva dan teman-temannya sedang duduk di meja pojok belakang. Wajar sih, toh mereka juga sering makan di sana. Tapi yang nggak wajar, kenapa ada Zenith di depan Seva?!

"Hear-hear, Kan Seva ada something sama Kak Zenith,"

GIMANA?

"Lo pasti tau kalau Kak Zenith udah lama suka sama Kak Seva. Nggak deng. Bukan suka. Ngincer lebih tepatnya."

Entah kenapa hati Jingga terasa panas dan hareudang. Ini kenapa Seva seperti berbohonh padanya? Katanya tidak suka Zenith, tapi ini....

"Kata siapa emang?"

"Ya Kata anak-anak. Orang kemarin Kak Zenith sendiri yang koar-koar kalau dia pulang bareng Kak Seva. Pas lo dianter pulang sama, ehm, Kak Galang,"

Dih, tukang ngaku-ngaku! Jelas-jelas Seva kemarin ke rumahnya. Menolongnya.

"Iya?" Jingga pura-pura percaya. Anya mengangguk.

Jingga memandang meja Seva lagi. Seva tak biasanya mau sedekat itu dengan Zenith. Seva memang humble, tapi untuk duduk sambil tatap-tatapan, berbagi es teh di gelas yang sama—walau beda sedotan, membiarkan Zenith dengan senyum menggodanya.

Ah, Seva kesurupan! Habis ini pasti makan beling!

OoO

"Cewek, wit wit,"

Jingga yang sedang berjalan menuju gerbang menghentikan langkahnya. Dilannya sekolah sudah datang.

Dilanda bencana.

"Wek, cuek amat."

"Apa sih, Sev?"

Seva langsung mengernyit bingung. Heh! Jingga sedang PMS atau bagaimana? Jingga nggak pernah seketus ini padanya.

"Galak banget kaya anjing depan rumah," ucapan Seva langsung dibalas tatapan tajam dari Jingga.

Anjing, katanya.

"Ini ndoro, safety helmet nya. Warna ungu warna kesukaannya Jingga. Juga warna janda." Seva mengulurkan helm ungu bergambar spongebob pada Jingga.

Jingga menerima dengan kasar. "Lo pulang dulu aja deh, Sev."

Seva kembali mengernyit tak suka. Sesuatu terlintas di otaknya. Sesuatu yang terjadi beberapa hari lalu. "Lo mau pulang sama Galang? Setelah kejadian kemarin lo masih mau sama Galang?"

"Apaan sih, Sev? Kok jadi bawa-bawa Galang?" Jingga cuma sedikit sakit hati pada Seva. Makin gondok saat Seva malah membawa-bawa Galang.

"Oh, jadi bener lo ada hubungan sama Galang?"

"Sev, apaan, sih?!" bentak Jingga. Beberapa pasang mata jadi melihat ke arahnya.

"Ternyata bener, lo ada hubungan sama Galang. Lo suka sama Galang tapi nggak mau bilang ke gue. Takut gue bakal sakit hati,"

"Nggak, Sev. Apaan, sih?" Jingga tak mengerti apa yang Seva bicarakan. Harusnya dia yang marah karena Seva menutupi sesuatu. Begitu, kan? Jingga saja tak pernah seperti itu.

Hening. Seva masih diam. Tapi wajahnya melunak.

"Yaudah kalau lo emang mau pulang bareng Galang. Hati-hati. Nanti kalau udah sampe rumah kabarin gue," katanya sambil senyum

Apa-apaan coba?!

"Sev, siapa sih yang mau pulang bareng Galang?"

Kalimat Jingga tak dihiraukan. Seva langsung melajukan motornya meninggalkan Jingga yang masih diam di tempatnya sambil memeluk helm ungunya.

"Kenapa, sih?" Jingga geleng-geleng kepala. Heran pada Seva.

Tak berselang lama, Jingga mendapat tawaran tumpangan gratis dari Galang. Jelas, ia tolak sebelum Galang menyelesaikan kalimat ajakannya.

Boleh Jingga egois?

"Aku bareng..." Mata Jingga jelalatan mencari mangsa. Mangsa yang mau menebenginya. Sampai Fitri lewat. Anak kelas bahasa yang kebetulan kenal dekat dengan Jingga.

"Aku bareng Fitri, kak!"

Tanpa menghiraukan Galang—seperti yang Seva lakukan tadi, Jingga naik ke boncengan Fitri tanpa izin.

"Fit, jalan, Fit." Jingga menepuk pundak Fitri. Fitri melajukan motornya walaupun dengan keheranan.

"Gue turun di pertigaan depan, aja. Nyegat angkot."

"Nggak usah. Gue anter sampe rumah," tawar Fitri.

"Makasih, Fit! Lop lop, dah."

OoO

Cie, akhirnya...
Setelah hiatus dua bulan.
Setelah aku menghabiskan banyak judul anime.
Aku UP. Wkwk. /kaya ada yg nunggu aja/

Selamat Hari Raya Idul Adha, semua... 🙏🙏

Udah siap belom, tusuk sate ama arang-nya?

Senja Jingga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang