SJ 12 - Ribut

752 93 0
                                    

CMIIW. Happy reading!

***

Dua hari sudah Jingga lalui dengan tenang. Maksudnya, Galang sudah jarang mengganggunya. Hanya mengirim chat sapaan singkat di pagi hari. Selebihnya, Galang seakan menghilang.

Hari ini ada jadwal pelajaran olahraga. Dari jam pertama hingga ketiga—tepat sebelum istirahat pertama.

Para siswi mengganti pakaiannya di kamar mandi dekat kelas. Di sana ada lima kamar mandi putri yang berjejer sehingga tidak berdesakan. Sedangkan kelas dipakai para siswa untuk berganti seragam. Mereka tidak peduli dan tidak malu dengan adanya CCTV.

Setelah semua berganti baju, para siswi kembali ke kelas mereka. Seperti biasa, pak Farid, guru olahraga kelas 11 akan memberikan materi dan latihan soal di jam pertama pelajaran olahraga. Kali ini materinya adalah basket.

"Jadi untuk passing bawah, bolanya dipantulkan. Paham?" Pak Farid menerangkan sambil tangannya bergerak memeragakan.

"Paham, Pak!" seru satu kelas kompak. Lalu pembelajaran dilanjutkan mengerjakan soal-soal yang berhubungan dengan basket hingga jam perlajaran kedua berbunyi.

"Oke, sekarang bukunya dikumpulkan di meja. Saya tunggu di lapangan," kata pak Farid.

Semua siwa berebut mengumpulkan agar cepat naik ke lapangan.

Sesampainya di lapangan, pak Farid sudah menunggu. Ternyata, pak Nur, guru olahraga kelas 12 berhalangan hadir. Jadilah kelas 12 bergabung dengan kelas Jingga. Dan ya, kelas 12 yang dimaksud adalah kelas Galang.

"Lari, semua!" seru pak Farid saat melihat siswi-siswi yang takut panas.

"Lari, dek! Ini lho, Pak Farid udah nungguin!" kini Zennith ikutan berteriak.

"Dih, caper," bisik Anya di sebelah Jingga. Jingga tersenyum simpul. Pemikirannya sama dengan Anya.

"Pemanasan dulu semua," ujar pak Farid. "Siapa yang mau memimpin?"

"Saya, Pak!" Lagi-lagi Zennith bersuara.

Penghuni kelas Jingga yang tadi bersemangat mendadak lesu. Namun berbeda dengan yang cowok. Kapan lagi lihat Zennith, sang ketua cheerleader, melakukan pemanasan dengan seragam olagraga ketatnya.

"Wuuuu...." sebagian bersorak ketika Zennith merengganggan punggung ke kanan karena bagian bajunya sedikit terangkat.

"Nith, baju lo," kata Yusra yang kebetulan ada di barisan depan, dekat dengan Zennith.

"Thanks, Yus," ucap Zennith sambil tersenyum manis. Yusra tak menjawab, kembali fokus pada pemanasannya.

"Kelas 12, basket nggak papa?" tanya pak Farid agar kelas 12 tidak keberatan menyesuaikan pelajaran kelas 11.

"Siap, Pak!"

"Lima orang cowok ikut saya ambil bola," Lalu lima orang kelas 11 ikut pak Farid ke gudang olahraga yang lumayan jauh dari lapangan.

"Hai, Jingga," Jingga yang sedang duduk di pinggir lapangan bersama Anya menengadah, mendapati Zennith dan temannya.

"Iya," jawab Jingga dengan senyum. Raut Zennith berubah, tampak tak senang karena Jingga hanya membalasnya singkat.

"Dih, sombong banget. Masih jadi adek kelas aja belagu. Gimana nanti kalau udah jadi kelas 12??" sinis Zennith.

"Apa-apaan sih lo, Kak?" Bukan Jingga yang melawan. Anya berdiri sebagai tameng. Anya hanya bingung, Zennith itu kenapa? Datang-datang langsung menyerang sahabatnya.

"Kenapa? Nggak terima? Lo nggak malu apa, temenan sama lalat? Nempel sana nempel sini. Kemarin ke Seva, paling sekarang ke Galang."

Jingga tersentak. Padahal Jingga tidak melakukan apapun. Beranjak dari duduknya pun tidak.  Ini Zennith benar-benar mengajaknya ribut?

"Kak, gue ada salah sama lo?" tanya Jingga sembari berdiri.

"Kenapa lo nyolot?" Zennith mendorong Jingga hingga Jingga mundur beberapa langkah. Beberapa teman langsung menghampiri.

"Gue tanya baik-baik, Kak. Lo yang mulai duluan!" Jingga tak terima. Ia mengabaikan dirinya sudah jadi pusat perhatian.

"Ngga, ada apa?" tanya Galang yang baru saja bergabung. Di sebelahnya, Yusra juga tampak kebingungan.

"Sadar, lo. Lo itu nggak cakep! Nggak pantes sama Seva!" bentak Zennith, mengabaikan Galang dan lainnya.

Oh, Jingga jadi tahu. Masalah Zennith pasti tidak jauh-jauh dari Seva.

"Emang lo pantes?" Jingga tersenyum miring. Zennith jual Jingga akan senang hati membeli.

"Grrmmm...." Zennith menggeram. Ia meninggalkan Jingga menghampiri Raka yang baru saja kembali dari mengambil bola basket.

Tanpa disangka, Zennith merebut paksa bola dari Raka. Zennith kembali dan melempar bola dengan keras tepat mengenai kepala Jingga.

Semua berlalu begitu cepat, hingga tak satu pun yang sempat mencegah. Mereka juga sama syoknya atas kelakuan Zennith yang tak terduga.

"AAA!!" Semua murid yang menyaksikan berteriak kaget.

"AAWW!" Jingga berteriak. Kepalanya seketika pening. Tak terasa, darah mengucur dari hidungnya. Zennith benar-benar tak punya otak. Baru kali ini orang melempar kepala orang lain dengan sangat bergairah dalam jarak hanya satu meter.

"Heh, anjing!" Galang langsung mendorong Zennith keras sampai tersungkur.

"Apa-apaan sih lo, Lang?" Zennith tak terima.

Demi apapun, Jingga benar-benar benci pada Zennith. Kalau Zennith hanya mau Seva, jangan harap ia bisa mendapatkannya.

"Apa-apaan kalian??" Pak Farid yang baru datang—yang sayangnya tidak melihat adegan sadis barusan—menghampiri kerumunan muridnya.

"Pak, Zennith pukul Jingga pake bola basket," adu Anya sambil merangkul Jingga yang sudah lemas.

"Yang sopan, lo!" Zennith protes. Keinginan Anya untuk merobek mulut Zennith sangat-sangat besar.

"Jingga nggak papa?" Pak Farid menghampiri Jingga. Jingga mendongak menghadap pak Farid.

"Kamu mimisan, nak! Cepat bawa ke UKS!"

Dengan dipapah Anya dan satu temannya lagi, Jingga segera dilarikan dike UKS.

"Benar kamu pukul Jingga pakai bola basket??" tanya pak Farid tidak menyangka.

"Jingga dulu yang mulai, Pak. Dia ngejek saya,"

"Tapi kan nggak seharusnya kamu berbuat kasar seperti ini. Berbahaya tau, nggak?! Kamu bisa dituntut, Zennith... Dimana letak otak kamu?! Kamu itu sudah kelas 12! Harusnya memberi contoh yang baik! Bukannya seperti ini!"

Senja Jingga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang