SJ 9 - Tetangga Baru

948 113 0
                                    

CMIIW. HAPPY READING!

***

"Apa nggak capek, Dek?" Jingga mengapit telponnya pada telinga kiri dan pundaknya.

"Nggak, Kak. Aku nggak papa. Udah izin Ayah Bunda juga," balas Biru di seberang telpon.

"Yaudah. Kamu jaga diri baik-baik," pesan Jingga. Ya, Biru barusan izin pada Jingga untuk menginap di rumah temannya.

"Udah ya, Kak, assalamualaikum," salam Biru.

"Wa'alaikumalam," balas Jingga lalu memutus sambungan telepon.

Pukul 4 sore. Jingga sudah ibadah ashar di awal waktu. Jingga memilih bersantai di teras depan rumah. Pagar sebatas dada yang memisahkan pekarangan rumah dengan jalan dibukanya pada bagian yang kecil.

Jingga memainkan ponselnya sambil sesekali mencomot cookies buatan Jia tadi malam.

"Napa isinya menantu idaman semua, deh?" heran Jingga saat melihat aplikasi tiktoknya.

Tak lama, mobil Jia sampai di depan gerbang. Dengan sedikit berlari, Jingga membukakan pagar supaya mobil Jia bisa masuk. Jingga menutup pagar lalu menghampiri Jia

Setelah memarkirkan mobil di carport, Jia keluar sambil menenteng tas dan beberapa plastik kresek berisi makanan.

"Nih, odading," Jia memberikan satu kresek hitam pada Jingga. Jingga menerimanya lalu salim tangan pada Jia.

"Rasanya seperti anda menjadi ironman," sambung Jia. Jingga tertawa.

"Apasih, Bun? Kaya anak muda aja." Jingga mengikuti Jia masuk ke dalam rumah.

"Tadi ada mahasiswanya Bunda kasih bunda odading. Walaupun bukan punya Mang Oleh, tapi katanya teh, tetap seperti menjadi ironman," balas Jia seraya duduk di sofa ruang tamu.

"Korban viral, mahasiswanya Bunda. Jia ambil piring sama minum dulu." Jingga pergi ke dapur dan kembali dengan teh hangat untuk Jia serta odading yang sudah ditaruh di piring.

"Kamu udah tahu tetangga baru kita? Yang nempatin rumahnya Pak Zaenal," tanya Jia. Satu bulan lalu, pak Zaenal sekeluarga pindah ke Salatiga dan memutuskan menjual rumah mereka. Dan kemarin sore, Jia dapat kabar kalau rumah pak Zaenal sudah ada yang menempati.

"Belum. Males ah, ke sana sendiri," jawab Jingga.

"Bunda juga belum. Nanti ke sana sama-sama, ya?" tawar Jia. Jingga mengangguk.

"Oh ya, tadi Biru udah ada bilang kalau nginep di rumah temennya?" Jingga bertanya sambil memakan odading. Ia sampai melupakan cookiesnya yang masih ada di luar.

"Sudah,"

"Lah? Terus besok sekolahnya gimana?" bingung Jia.

"Biru libur. Gurunya ada studi banding ke Semarang,"

"Dih, bilang aja mau piknik. Kan Semarang deket sama Saloka. Terus nanti juga lewat tol Salatiga,"

"Julid aja. Iri bilang, bos!" ujar Jia.

"Ih, Bunda alay. Jauh-jauh sama orang alay," balas Jingga sembari menggeser duduknya menjauh dari Jia.

"Malin Kundang." Jia menyamakan Jingga dengan pria durhaka yang kena azab menjadi batu.

"Malin Kundang? Kalau saya bilang muter, muter, ya," gurau Jingga yang langsung diberi keplakan di lengannya.

"Kalo itu mah, akang kendang,"

Tiin tiin...

Obrolan ibu anak itu harus terhenti saat terdengar bunyi klakson mobil milik Elvano. Elvano memang selalu membunyikan klakson ketika sampai rumah. Alasan pertama adalah untuk mengabari kalau ia sudah sampai di rumah. Alasan kedua untuk mengode orang rumah supaya membukakan pagar untuknya masuk.

Tanpa perlu menunggu perintah, Jingga keluar dan membukakan pagar.

Setelah mobil Elvano masuk, Jingga menutuo pagar. Keluarga kecil Elvano memang bisa dibilang adalah orang berada. Mobil mereka 2, motor mereka 2, dan sepeda mereka ada 4. Jia dan Elvano sama-sama menggunakan mobil. Itulah alasan kenapa Indonesia tidak bisa menjadi negara bebas macet.

Tak seperti Jia, Elvano langsung masuk ke rumahnya tanpa menunggu Jingga. Mumpung ada di luar, Jingga sekalian membawa masuk toples cookiesnya.

Jingga menyalimi tangan Elvano dan pergi ke dapur untuk kembali mwmbawakan teh hangat. Kali ini untuk ayahnya.

"Terima kasih, Kak," ujar Elvano. Jingga mengangguk dan ikut mendudukkan diri. Kadang Jingga masih suka dipanggil kakak oleh Elvano dan Jia.

"Jadi ke rumah tetangga baru?" tanya Elvano.

"Jadi. Habis isya' aja," jawab Jia. Elvano mengangguk.

***

Celana aladin berbahan katun warna putih dipadukan dengan kaos panjang oversize warna milo menjadi setelan Jingga malam ini. Rambutnya ia kepang longgar ala-ala Elsa Frozen. Tidak formal tapi tetap sopan.

Jingga memakai sepatu sandal putihnya dan keluar menyusul orang tuanya yang sudah ada di luar. Rumah yang akan mereka kunjungi berada di samping depan rumah mereka. Sangat dekat.

Tok tok tok...

Seseorang membuka pintu yang telah Elvano ketuk.

"Permisi, kami tetangga dari rumah depan. Ingin berkunjung sekalian berkenalan." Jia menyampaikan maksud kedatangannya dengan senyum lebar.

Pria 25 tahun alias sang empu rumah menyambut dengan hangat. Jingga sekeluarga dipersilahkan duduk di ruang tamu yang cukup besar ini. Ia memanggil istrinya untuk bergabung, "Ma... Ada tetangga ini,"

Tak lama, seorang wanita dengan batita di gendongannya datang. Ia masih muda. Lebih seperti mahasiswi.

"Loh, Bu Jia?" kagetnya.

"Airin, kan?" Jia juga sama-sama kaget. Airin duduk di samping suaminya.

"Bu Jia ini dosen pembimbing skripsi aku, Mas," ujarnya girang pada suaminya.

"Saya nggak nyangka, mahasiswi yang jadi inceran mahasiswa kampus ternyata sudah berkeluarga. Pantes aja kamu nggak ada gosip deket sama siapa, gitu," kata Jia khas mak-mak gosip. Airin tertawa.

"Kenalin Bu, ini suami saya, Mas Danuar. Kalau ini anak saya, Relia. Baru dua tahun." Airin memperkenalkan.

"Wah, lucunya..." puji Jia. "Ini suami saya, Elvano, dan ini putri pertama saya, Jingga. Adeknya nggak bisa ikut, lagi nginep di rumah temennya,"

"Enggak papa, Bu... Saya ambilin minum dulu sebentar," kata Airin ramah.

"Sini, biar Dedek Ia Mas yang gendong." Danuar menahan istrinya yang beranjak sambil membawa Relia. Takutnya Airin akan kerepotan. Dan sungguh, psmandangan ini sangat UWU di mata Jingga.

"Adik saya juga ikut tinggal di sini. Maklum, ibu saya ikut ayah saya kembali ke negaranya," cerita Danuar tanpa berniat pamer. Pantas saja muka Danuar bukan Indonesia tulen.

"Tapi dia lagi beli nasi goreng di depan. Dia juga seumuran lho, sama Dek Jingga,"

Jingga jadi malu sendiri karena dipanggil dek oleh Danuar.

Heh! Sadar, Ngga. Ini suami orang.

***

Senja Jingga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang