SJ 3 - Sarapan

4.3K 300 15
                                    

Pukul setengah 7 pagi Seva sudah nangkring di teras rumah Jingga dengan motornya. Tak butuh waktu lama untuk Jingga keluar menemuinya.

"Pagi banget?" selidik Jingga. Seva mengernyit bingung melihat Jingga yang keluar dengan sendal jepit hitamnya.

Seva tahu peraturan sekolah yang mewajibkan pakai alas kaki hitam. Tapi Seva tak tahu kalau sendal hitam juga termasuk di dalamnya.

"Lo kok belum siap, sih?"

"Orang lagi sarapan. Lo udah sarapan belom?" Seva menatap Jingga ngeri. Jingga ini bertanya sekaligus menawarkan atau ngajak tawuran?

"Mana sempat, keburu telat." jawab Seva menirukan iklan lawas yang akhir-akhir ini merebak.

"Telat apaan? Orang kita masuk jam setengah 8! Ayo sarapan dulu!" Jingga menarik tangan Seva sampai Seva hampir jatuh dari motornya.

"Telat jemput tuan putri,"

Jingga di depan Seva tiba-tiba berbalik, membuat Seva bingung.

"Apa lo bilang? Jem?" Alis Jingga terangkat sambil menatap Seva tajam. Seva yang keburu ngeh langsung mendelik.

"Jemput! Pake P - PUT! Telinga lo kotor!" Seva menoyor kepala Jingga.

"Iya jemput, kan? Gue ngiranya juga jemput. Apaan, sih?"

"Gue bilangin Om El nih, otak anaknya nggak bersih. Kebanyakan asupan biologi." ujar Seva sambil merangkul Jingga. Tidak, lebih tepatnya menelusupkan kepala Jingga ke ketiaknya.

Masih dengan posisi seperri itu, mereka menuju ke ruang makan. Dimana ada Jia, Elvano, dan Biru.

"Ehhmm," Elvano berdehem, berniat menggoda. Seva buru-buru melepas Jingga.

Dilepas, Jingga langsung ngacir, mengambilkan satu kursi lipat untuk Seva ikut duduk-karena memang meja makan itu hanya dilengkapi empat kursi. Kursi Seva bersebelahan dengan Jingga.

"Kak Seva mau sarapan?" tanya Biru senang. Seva tersemnyum dan mengangguk sembari duduk di samping Jingga.

"Mau sarapan apa? Nasi goreng apa roti selai? Aku ambilin, ya?" tanya biru lagi. Keluarga ini memang terlihat mapan sekali. Sarapan saja ada dua menu.

"Roti selai mau? Biar sekalian buat untuk aku juga," kata Biru seakan tahu isi pikiran Seva.

"Jingga, liat Biru. Dia udah belajar melayani suami sejak dini. Kamu nggak mau ikut belajar?" gurau Elvano yang sama sekali tak digubris Biru.

"Nggak, calon suami Jingga lagi konser di luar negeri." balas Jingga.

"No halu no lifeuu," sindir Jia sambil memakan nasi gorengnya.

"Biru lagi diet, Va. Nggak mau makan nasgor yang kalorinya tinggi," ejek Jingga, membuat Biru menghentikan kegiatan mengoles selai ke rotinya dan ganti melayangkan pandangan tajam ke Jingga.

Pipinya sudah cukup merah mendengar ejekan ayak dan kakaknya. Jingga dan Seva sama-sama terkikik.

"Ini kak," Biru meletakkan roti selai racikannya ke piring Seva.

"Thanks, Ru. Kamu emang baik, nggak kaya Jingga. Eh?" Seva melirik Jingga sambil pura-pura terkejut atas ucapannya. Jingga mendengus kesal. Biar apa sih, Seva bicara seperti itu? Kasih kode?

"Oh iya, Papa kamu ke Malang berapa hari?" tanya Jia pada Seva.

"Nggak tau, Tan. Seva aja tau Papa pergi dari Jingga." jawab Seva. Jingga menghentikan makannya.

"Bukannya Biru, yang kasih tau kak Seva?" Biru tak terima. Jingga meringis mendengar kalimat adiknya.

Kemarin Jingga sudah buat perjanjian dengan Seva: yang kasih tahu tentang kepergian Aldi adalah Biru. Jingga mencium gelagat aneh pada Biru ketika ada Seva.

Seva yang sebelumnya menyenggol-nyenggol kaki Jingga dengan kakinya, langsung menepuk jidat saat Jingga tak mau merespon.

Temen bangke nih, nggak mau nolongin temen!

"Maksudnya, sama Biru. Kemaren malem banget, Jingga minta diajarin Seva. Nah, pas itu Jingga kasih tau Seva lagi. Padahal Biru udah kasih tau. Hehe, ya nggak?" Seva tertawa garing.

"Oh, oke." sahut Biru pelan. Seperti.... tidak nyaman?

"Biru berangkat dulu, deh. Ayo, Yah!" tak lama berselang, Biru tiba-tiba berdiri dan menarik Elvano.

"Ini bekal kamu," ujar Jia sambil menyerahkan sekotak tepak warna biru.

"Makasih, Bun. Biru berangkat . Assalamualaikum!" Biru melambaikan tangan dan keluar dari rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Jia, Jingga, dan Seva.

Lima menit kemudian, Jingga dan Seva berangkat ke sekolah bersama. Mereka sampai di sekolah pukul 7 lebih 5 menit.

Seperti biasa, Jingga akan menunggu Seva memarkirkan motornya sembari menguncir rambutnya sebelum bertemu guru piket. Oh ya, Jingga juga sudah berganti sepatu.

Seva kembali menghampiri Jingga tapi dengan terpogoh.

"Ngga, bawa pulpen berapa? Gue pinjem satu, dong!" kata Seva.

"Ambil aja di tas gue," Jingga membalikkan badannya, menghadapkan tas punggungnya ke Seva. Acara kuncir menguncir rambutnya belum juga selesai.

"Sip, makasih!" ujar Seva sebelum membuka tas Jingga.

"Oh iya Va, katanya minggu depan lo udah ada tambahan pelajaran?" tanya Jingga yang sudah selesai dengan kuncirnya. Seva tak menjawab. Jingga tak tahu yang dilakukan Seva dengan tasnya. Apa belum ketemu, pulpen satu biji?

"Seva!" panggil Jia keras.

"Ha?" Seva membeo.

"Ish! Gue cariin aja pulpennya. Masa gara-gara pulpen gue dicuekkin?"

"Nggak usah! Udah ketemu, kok!" jawab Seva cepat. Ia buru-buru menutup tas Jingga dan menunjukkan pulpennya. "Tadaa! Gue dah dapet."

"Ck! Ayo!" ucap Jingga kesal. Seva tertawa dalam hati.

"Cih, ngambekan!" ledek Seva saat langkahnya sudah bisa menyamai Jingga.

"Apa lo?"

"Nanti gue traktir deh, biar nggak marah."

"Harga diri gue lebih dari cilok dua ribu."

"Yaudah," Seva bodo amat. Jingga yang marah, kenapa dia yang ribet?

"Seva!" panggil seseorang. Seva dan Jingga menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.

Zenith!

"Ke kelas bareng, yuk!" tanpa aba-aba Zenith menarik tangan Seva. Seva sampai kebingungan dan malah mengikuti langkah Zenith.

"Bangke! Gue lagi marah malah ditinggal sama cewe lain,"

OoO

Pinjing bingit
Besok lagi, gan...

Senja Jingga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang