Pulang sekolah rencananya Seva mau menghampiri Jingga di UKS, sekalian menanyakan tentang statusnya dengan Galang.
"Permisi," salam Seva sambil melangkah masuk. Seva sudah terkenal di kalangan UKS. Dia sering numpang tidur di sini.
"Seva? Kenapa?" Bu Linda keluar dengan tas jinjingnya. Seva mengerutkan dahi. Apa sudah mau pulang? Tapi kalau bu Linda pulang siapa yang jaga Jingga?
"Mau jemput Jingga, bu,"
"Lho? Jingganya udah pulang daritadi. Izin karena sakit." jawab bu Linda-sukses membuat Seva jadi bingung sendiri.
"Sendiri?" tanya Seva. Bu Linda menggeleng. Seva tambah bingung. Nggak mungkin orang tua Jingga yang menjemput. Mereka ada pekerjaan yang sulit ditinggalkan.
"Tadi dianter sama cowok. Temennya Yusra. Ibu lupa namanya,"
"Galang?" ukar Seva cepat.
Bu Linda menjentikkan jari. "Iya! Galang!"
Jawaban Bu Linda seperti menguatkan pernyataan Galang tadi. Seva nggak tahu berhak marah atau tidak pada Jingga. Seperti kata Yusra tadi, ia tak punya hak.
"Ibu pulang dulu ya, Sev. Buru-buru nih," pamit Bu Linda-membuyarkan lamunan Seva.
Apa Jingga emang setakut itu buat bilang pada Seva kalau ia suka pada Galang-si bahan hujatan Seva akhir-akhir ini. Karena Jingga nggak mau Seva sakit hati? Cih, memangnya dia siapa berhak sakit hati.
Seva buru-buru keluar dari sekolah. Memacu motornya dengan pikiran kosong, sampai tak sadar kalau ini bukan jalan ke rumahnya. Ini jalan ke rumah Jingga. Seva bodoh!
Rumah Jingga tinggal belok ke kanan, masuk ke blok B. Kebiasaan ternyata memang susah buat dihilangkan.
Kali ini secara sadar, Seva menuju ke rumah Jingga. Jam jam segini nggak ada orang di rumahnya. Seva cuma mau memastikan kalau Galang menemani dan menjaga Jingga yang sedang sakit dengan baik.
Sepi. Gerbang rumah ditutup, tapi pintu rumah terbuka. Motor hijau Galang tak terlihat di halaman rumah. Kemungkinan besar-dan Seva sangat memgjarapkan itu- Galang tidak ada di rumah Jingga.
Seva memasukkan motornya ke halaman rumah Jingga. Cuma ingin lihat Jingga sudah sampai rumah atau belum.
"Assalamualaikum," salamnya. Tak ada balasan. Seva langsung masuk saja ke dalam. Bodoamat kalau Jingga teriak marah-marah nanti.
"Assalamualaikum," ulang Seva. Seva lebih masuk lagi ke dalam rumah menuju dapur di belakang. Separah-parahnya Jingga saat sakit, setau Seva nggak pernah mengabaikan tamu yang datang.
Seva mempercepat langkahnya. Ia kaget saat melihat Jingga yang sudah pingsan lagi di balik meja makan. Seva mengangkat tubuh Jingga dan menidurkannya di sofa ruang tengah.
"Jingga..." Seva menepuk-nepuk pipi Jingga. Ia panik.
"Kok bisa gini sih, Ngga?" Seva bermonolog. Kemana sih si Galang? Katanya pacar. Tapi Jingga sakit malah dibiarkan sendiri sampe pingsan. Galang itu manusia apa setan?
Seva juga nggak mungkin bawa Jingga ke puskesmas atau rumah sakit. Dia cuma bawa motor. Nggak bisa membawa Jingga yang sedang nggak sadarkan diri.
"Ini telpon rekal aja, kali?" tanya Seva pada dirinya. Siapa tahu sepupunya itu bisa bantu.
"Halo? Kal? Ke rumah Jingga sekarang. Jingga pingsan, nih. Gue nggak tau harus ngapain." Seva merenteti Rekal dengan kalimatnya setelah panggilannya tersambung.
"Ya bawa ke rumah sakit lah, dongo."
"Nggak bisa. Gue bawa motor."
"Lo hidup zaman kapan sih, Sev? Sekarang kan udah ada taxi online." kesal Rekal.
"Tapi gue nggak bawa uang. Go pay gue habis. Lo buruan ke sini."
"Astaga, Seva. Gue lagi jalan sama Abel. Lo ganggu aja, deh." umpat Rekal. Tapi tsrdengar kalau ia pamit pada Abel untuk ke rumah Jingga.
Lima menit berlalu. Jingga belum sadar juga. Rekal? Orang itu tidk bisa diharapkan. Ngakunya sudah OTW ke rumah Jingga, tapi sampai sekarang belum juga sampai.
Baru lima menit.
Dengan telaten, Seva mengaromai Jingga dengan minyak kayu putih yang ia beli barusan. Sambil sesekali memijit kepala Jingga. Entah karena hasil dari kesabaran Seva, atau Jingga yabg sudah bosan pingsan, akhirnya Jingga membuka mata.
"Seva?" lirih Jingga.
"Lo udah sadar, Ngga? Masih inget caranya sadar lo, Ngga? Gue panik tau lo pingsan lama banget. Gila. Mati jantungan gue tadi."
"Udah? Gue haus." ujar Jingga tak mengindahkan omelan Seva.
"Gue lagi panik lho, Ngga. Lo nggak ada adab-adabnya sama gue. Orang lagi khawatir, lo malah bikin emosi." Seva mengomel lagi. Tapi tetap mengambilkan Jingga air.
"Nih, diminum yang banyak. Lo tih kok bisa sampe gini sih, Ngga? Emang pacar lo nggak ada perhatian gitu sama lo?"
Sindir terus, Sev.
"Uhuk, uhuk," Jingga langsung tersedak. Pacar apa maksud Seva. Pacarnya masih konser di amerika sana.
"Aduh, Ngga, pelan-pelan napa?" Seva langsung panik.
"Lagian lo bawa-bawa pacar. Pacar apa sih?" tanya Jingga masih lemas.
"Galang lah! Udah gue bilangin padahal kemarin. Jangan deket-deket sama Galang. Eh, taunya malah pacaran. Hebat banget ya lo, Ngga."
"Astaga, Seva. Mana ada kaya gitu. Najis amit-amit deh jadian sama Galang." kilah Jingga.
"Jadi lo nggak pacaran sama Galang?" tanya Seva riang. Jingga menggeleng.
"Apa gue bilang, Galang tuh cuma ngaku-ngaku. Gue juga nggak percaya sama dia."
"Tapi lo tadi nuduh gue pacaran sama Galang,"
"Cuma memastikan, Ngga. Lo kaya mall amat. Sency." kata Seva sambil menarik pipi Jingga. Ia senang. Dasar Galang si pembohong! Jingganya nggak mungkin mau pacaran sama mahkluk halus yang sombongnya selangit. Untung tadi ia tidak percaya. Cuma menuduh Jingga sedikit. Kan itu juga untuk memastikan.
OoO
Kasian si Rekal. Udh mau nongol kgk jd.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Jingga
Teen FictionSenja Jingga >>[Spin off Mados] << "Sev, gue ditembak Ridho." "Tolak. Dia playboy yang suka morotin cewe." "Oke," "Sev, Jaka minta nomor gue," "Jangan kasih. Dia cuman modus sama lo," "Oke," "Sev, Alif ngajak gue dinner." "Jangan mau. Siapa tahu nan...