SJ 4 - Bullying

3.5K 238 6
                                    

"Jinggaaaaaaa...." Anya masuk kelas sambil merentangkan tangannya, hendak memeluk Jingga. Jingga langsung menghindar.

"Oh ya, gimana balasan surat cinta buat Kak Galang yang gue buat kemarin?"

"Maksudnya?"

"Iya, surat balasan buat Kak Galang yang kemarin gue buat. Langsung gue slundupin di tas lo." jelas Anya. Jingga buru-buru membuka tasnya, mencari surat itu.

Apa-apaan sih, Anya?!

Semua isi tas Jingga sampai dikeluarkan semua. Tapi nihil. Surat itu nggak Jingga temukan.

"Lo tinggal di rumah kali?" Anya ikut bingung.

"Gue aja nggak tau kalo ada surat kaya gitu di tas gue."

"Bisa aja nyelip di buku pelajaran kemarin. Iya, kan?" kata Anya.

Jingga diam, menimang kaliamt Anya. Bisa jadi dia kurang teliti saat mengganti jadwal tadi malam sampai nggak sadar ada surat yang menyalip.

"Yaudah, ah! Bodo amat, juga!" Toh, Jingga juga nggak peduli surat itu mau ketinggalan, mau ilang, mau jatoh. Surat itu belum cukup penting hingga harus dicari sampai dapat.

OoO

Pelajaran bahasa inggris buat Jingga bagai berada di padang gersang tanpa air. Merusak hari-hari indahnya. Penjelasan Pak Yanto di depan nggak ada yang masuk ke otaknya.

Jingga mengamati seisi kelas. Beberapa sudah menjatuhkan kepalanya ke meja. Sudah dipastikan kalau mereka tidur.

"Pak, izin ke toilet," seru Jingga. Rasa ngantuk dan malas yang sudah sampai di puncak ubun-ubun mendorongnya untuk menyegarkan mata.

Di jam-jam pagi seperti ini, pasti ada kelas yang sedang olahraga di lapangan. FYI, 75% penghuni sekolah Jingga adalah orang dengan kadar cakep di atas standar Indonesia.

"Jangan lama-lama," balas pak Yanto. Jingga mengangguk dan berjlan ke luar kelas.

Dia tak sepenuhnya bohong soal ke kamar mandi. Jingga memang benar-benar ke kamar mandi untuk mencuci muka—sebelum mencuci mata.

Brak!

Tiba-tiba pintu kamar mandi ditutup dengan keras. Jingga takut bukan main. Dia sendirian di dalam bilik kamar mandi. Apalagi lampu di dalam bilik mati-nyala-mati-nyala. Suara saklar dari luar terdengar dimainkan dengan cepat oleh seseorang—yang tidak Jingga ketahui siapa.

Sumpah! Ini nggak lucu.

"Bukaa!!" teriak Jingga sambil menggedor pintu. "Siapa lo?! Buka!!"

Suara tawa bersahutan membuat Jingga makin panik. Dari suaranya, Jingga yakin kalau tak hanya satu orang yang dengan sengaja menguncinya di sini.

"Bukaa!!" Jingga mencoba mendobrak pintu. Tapi percuma, pintu itu tidak terbuka.

"Diem, Jingga!" Seseorang menggertak namanya—artinya Jingga bukan korban salah sasaran. "Cewek kaya lo, harus dikasih pelajaran biar nggak ngelunjak!"

"Jangan jadi pengecut lo. Tunjukin diri lo kalo lo emang bener-bener berani sama gue. Nggak kaya gini!" Jingga balas teriak.

Brak!

"Gue bilang diem! Lo tuh cuma cewek kegatelan, nggak tau diuntung, yang beraninya cuma sembunyi di belakang Seva!" ujarnya lagi.

Jingga mengeryit. Seva?

"Setelah kejadian ini, gue minta lo jauhi Seva. Atau... kejadian kaya gini akan keulang lagi."

Jingga masih diam.

"Gue ingetin sekali lagi, jangan.deketin.Seva." orang itu berkata dengan penuh penekanan. "Cabut, guys,"

Jingga bukan cewek cengeng yang hanya digertak seperti ini langsung menangis. Benar kalau ia takut. Tapi tak selamanya takut menjadikan kita lemah.

Sialnya, ponsel Jingga tertinggal di kelas. Ia tidak bisa meminta bantuan siapabpun. Hanya bisa menunggu orang yang datang.

Dua jam lagi bel istirahat berbunyi. Biasanya, banyak yang pergi ke toilet pas jam istirahat. Jingga yakin kalau ia masih bisa bertahan menunggu waktu itu.

Tapi nahas tubuhnya sudah nggak kuat lagi. Tadi pagi hanya sarapan sehelai roti dan belum menambahnya sampai sekarang. Kemarin juga terakhir makan pas siang. Minum saja hanya setengah gelas dari tadi pagi.

Matanya berkabut dan berputar. Jingga memejamkan matanya kuat, mengusir pusing di kepalanya.

Tidak. Ia harus kuat. Setidaknya sampai dua jam lagi.

Jingga duduk di toilet. Rasanya berat untyj membuka mata. Napasnya kian menderu. Ia benar-benar terpejam dan tak bisa lagi merasakan sekitar.

Jingga pingsan.

OoO

Jingga merasakan kalau tangannya digenggam erat oleh seseorang. Tapi bukan Seva—Seva selalu begitu saat Jingga sakit. Cengkramannya jelas bukan punya Seva.

Perlahan Jingga membuka mata. Jingga mengerjap beberapa kali. Tak perlu waktu lama untuk sadar kalau sedang di uks.

"Jingga!" teriak seseorang. Jingga menoleh.

Anya!

"Ngga, lo ngga papa? Ada yang sakit? Lo pingsan tadi di kamar mandi. Gue disuruh Pak Yanto nyusul elo karena nggak balik-balik. Lo kenapa bisa pingsan?" cecar Anya. Jingga menggeleng lemah.

"Kamu kecapekan, Ngga. Dehidrasi juga. Kamu pulang aja, ya?" saran Bu Linda—dokter UKS.

"Iya, Ngga. Aku anter kamu,"

Jingga menoleh pelan ke kanannya. Sejak kapan Galang berdiri di situ?

Jingga menggeleng. Kalaupun ia pulang, jangan sama Galang. Pokoknya harus sama Seva.

Eh, kemana Seva? Biasanya dia yang ada di barisan depan kalau Jingga sakit.

"Nya, panggilin Seva. Suruh anter gue," ujar Jingga pada Anya.

"Kak Seva sibuk, Ngga. Tadi udah gue kasih tau kalo lo sakit. Katanya harus belajar, udah kelas 12." jawab Anya.

Aneh!

"Gue tunggu Seva di sini aja,"

"Nggak bisa. Tadi Seva udah ada janji sama Zenith buat pulang bareng. Kamu sama aku aja,"

Sumpah! Ini beneran aneh!

OoO

Jingga yang dibully, ak yg emosi, hylyh.
Maap y gan, ceritanya aneh. Hhh

Senja Jingga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang