"Lo harusnya tahu gimana paniknya Seva pas lo pingsan tadi, Ngga. Gue yang lagi jalan sama gebetan gue disuruh cepet-cepet ke sini. Sampe gue turunin si Abel di lampu merah. Bayangin, Ngga. Lampu merah."
Rekal tadi langsung masuk ke rumah Jingga tanpa salam—dengan raut khawatir. Dan, betapa kagetnya Rekal mendapati Seva yang sedang dianiaya Jingga.
Tidak tau bagaimana ceritanya, yang jelas tadi Jingga menendang-nendang Seva yang sudah tertidur sambil menangkupkan tangannya seperti meminta ampun.
Katanya Jingga sakit, sakit darimana? Sakit jiwa? Heran Rekal.
"Ya gue belum siap aja kalau hari ini jadi hari terakhir gue ketemu sama Jingga." bela Seva.
Rekal memutar bola matanya malas. Alasan aja terus. Sok nggak khawatir. Masalah hati sendiri masa nggak sadar?
"Lo doain gue mati?" bentak Jingga tak terima. Seakan lupa kalau tadi sudah pingsan dua kali.
"Gue nggak bilang. Lo yang bilang." tunjuk Seva.
"Rese banget, sih?"
"Eh, kalian kenapa nggak pacaran aja sih? Nikah sekalian kalau perlu. Cara kalian berantem tuh udah kaya suami istri tau, nggak? Kurang banting piring aja." Rekal menyela dengan bijak.
"Dih, stroberi, mangga, jambu, pisang, semangka, melon, apel. Sorry, nggak level." ujar Jingga jijik.
"Awas aja sampe lo suka sama gue."
"Gue? Suka sama lo? Nunggu gue buta aja lo, Sev."
"Udah-udah. Berantem mulu hidup kalian. Udah kaya Nobita sama Sizuka." kata Rekal. Tolong, ya, ia juga bisa capek lihat orang adu mulut terus.
"Tapi Nobita nggak berantem sama Sizuka, Kal. Lo pernah nonton Doraemon nggak sih?" sanggah Jingga kelewat absurd. Hal kaya gini aja sangat perlu dibahas.
"Iya, Nobita sama Sakura. Udah ah, gue mau pulang aja." Rekal mengalah.
"Jingga ikut." ujar Seva tiba-tiba. Rekal dan Jingga mengerutkan dahi bingung. "Lo mau pulang ke rumah oma, kan? Jingga sama gue ikut. Kasian Jingga nggak ada temennya di sini. Mau nggak, Ngga? Sekali-kali main ke rumah Oma, napa?" lanjut Seva.
Sudah jadi kebiasaan—entah dari kapan—mereka—Seva dan Rekal—akan menginap di rumah Attha kalau malam minggu.
"Gue masih lemes gini. Nanti ngerepotin, lagi." tolak Jingga halus.
"Makanya, biar lo ada yang jagain. Kalo lo pingsan lagi, nggak ada orang di sini. Siapa yang mau nolongin lo?" alasan Seva.
"Tapi nanti gue ngerepotin. Lo kan tau gue orangnya nggak enakan,"
Nggak enakan? Iya, maaf?
"Tapi lo bayangin nih ya Ngga, lo pingsan nih, padahal di rumah nggak ada orang. Siapa yang mau bantu lo? Beda kalo lo di rumah oma. Kalo lo pingsan, oma tinggal teriak 'Aa, Jingga pingsan', terus gue langsung nolongin." kata Seva hiperbola, sambil melambaikan tangannya—sok panik.
"Astagfirullah, ya Allah ya Rabb. Ni anak dua emang minta gampar. Gue pulang, nih," Rekal kesal. Sudah tadi diminta menunggu, masa sekarang harus menunggu lagi dua orang 'sahabat' di depannya selesai beradu argumen.
"Iya iya, ini mau minta izin dulu." jawab Jingga cepat. Bahaya kalau Rekal sudah ngamuk-ngamuk nggak jelas.
Jingga mengambil ponsel di atas meja. Ia sudah merasa enakan, sudah bisa jalan kesana-kemari. Bahkan kalau disuruh nendang Seva lebih frontal daritadi, Jingga sudah merasa sanggup.
Memberi kabar pada ibunya melalui pesan singkat.
"Gue ganti baju dulu, bentar," lanjutnya sebelum masuk ke kamar. Keluar dengan pakaian yang lebih santai. Kemeja biru kotak-kotak kebesaran yang lengannya digulung sampai siku.
"Nanti motor lo gimana?" tanya Rekal saat Seva duduk di samping kursi kemudi.
"Gampang." jawabnya. Rencananya, nanti ia akan ikut mengantar Jingga pulang dengan Rekal. Pas itu, Seva akan mengambil motornya yang sekarang sudah masuk ke garasi.
Ngerepotin Rekal sekali-kali nggak papa, kan?
Sampai di rumah Attha, mereka disambut dengan kelewat baik. Jingga ibarat emas di tumpukan jerami. Sudah bukan jarum lagi. Kalau dipikir, bosan juga Attha menghadapi empat cucu yang sama sekali nggak ada kalem-kalemnya.
Nggak tau aja kalau Jingga sudah buka topeng.
"Ini ada ca kangkung, sayur sop, sate lilit, ayam bakar madu, sambel goreng kentang. Makan yang banyak kamu, Ngga. Badan kerempeng, tulang doang. Biar kalo ketemu anjing di jalan nggak dikira tulang jalan." Attha banyak-banyak menyendok nasi selauk-pauknya ke piring Jingga. Jingga mengangguk pasrah melihat porsi di piringnya.
Jadi tadi setelah datang, Jingga, Seva, Rekal langsung digiring ke meja makan. Tanpa basa-basi dan cipika-cipiki.
Sepeninggal Attha, Rekal mengeluarkan sebual pulpen—nggak tau dapat darimana. "Kita makan sambil main. Biar nggak bosen."
"Main apa?" tanya Seva.
"Truth Or Dare. Bedanya, yang ketunjuk pulpen Ini, dia yang bebas kasih pertanyaan atau tantangan ke dua lawan mainnya. Deal?"
Seva dan Jingga berpandangan. Permainan apa ini?
"Kalian takut? Cupu!" Rekal menginterpsi.
Pandangan Seva ke Jingga seperti berubah menjadi 'Oke, ayo. Siapa yang cupu?'
Sambil menyuapkan nasi, Rekal memutar pulpennya dengan santai. Hap! Ujung pulpen mengarah ke Rekal. Jingga nggak tau, kalau kepemilikan pulpen bisa memengaruhi jalannya permainan.
"Yes!" Rekal mengepalkan tangannya.
"Jadi gue mau kasih kalian tantangan. Oke?" Seva dan Jingga mengangguk.
Rekal memiringkan senyumnya. "Karena gue muak liat lo jomblo, gue pengen satu minggu ini lo PDKT sama cewe. Sukur-sukur bisa sreg dan lanjut terus. Kalo engga, ya terserah." Rekal menunjuk Seva.
"Dan buat Jingga, tantangannya gampang kok. Nggak menyangkut hati. Apalagi perasaan. Cuma ngawasin Seva selama masa penjajakan. Selama itu lo harus laporan ke gue. Inget peraturannya, gue yang menang. Gue yang bebas ngasih tantangan."
OoO
Apa sih? Garing banget.
Kalo dilihat cucu-cucu oma Attha nggak ada yang pendiem, ya? Wkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Jingga
Teen FictionSenja Jingga >>[Spin off Mados] << "Sev, gue ditembak Ridho." "Tolak. Dia playboy yang suka morotin cewe." "Oke," "Sev, Jaka minta nomor gue," "Jangan kasih. Dia cuman modus sama lo," "Oke," "Sev, Alif ngajak gue dinner." "Jangan mau. Siapa tahu nan...