CMIIW. Happy reading!
***
"Assalamualaikum, hyung," Suara Seva diiringi suara ketukan pintu. Dengan malas, Jingga terpaksa beranjak dari duduknya dan membukakan pintu.
Mau sedang marahan, sedang musuhan, sedang perang, Seva tetaplah Seva yang menjemput Jingga untuk berangkat sekolah bersama.
"Wa'alaikumsalam," balas Jingga sembari membuka pintu. Ia mendapati Seva dengan tas hitam yang hanya digendong di pundak kirinya. "Masuk dulu, Sev. Gue belum selesai siap-siap," lanjut Jingga.
Kemusuhan dengan Seva tidak bisa lama-lama. Jingga dan Seva sudah kembali seperti biasa. Seakan hawa tak mengenakkan kemarin memang tidak pernah diciptakan.
Seva mengangguk lalu mengikuti Jingga masuk ke dalam rumahnya. Masih ada dua puluh menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Dan kalau pun ditutup, masih ada pagar belakang sekolah yang menunggu untuk dipanjat.
"Seva," panggil Elvano yang keluar dari ruang tengah bersamaan dengan Jingga yang kini sudah rampung bersiap.
"Kamu kenal Yusra, nggak?" tanya Elvano tiba-tiba, membuat Seva bingung. Jingga sedikit panik. Ia tahu kalau Seva dan Elvano bagai anjing dan kucing.
"Tau, Om," jawab Seva sopan.
"Dia ternyata tetangga baru depan rumah. Baru pindah kemarin lusa. Iya kan, Bun?" Elvano memastikan, bertanya kepada Jia.
Jia mengangguk. "Katanya kakak kelasnya Jingga. Berarti satu angkatan sama kamu ya, Sev?"
"Iya, Tan. Tapi kita beda jurusan," jawab Seva. Lidahnya jadi gatal setelah menyebut dirinya dan Yusra menggunakan kata kita. Terlalu romantis.
"Oalah, gitu," Jia menganggukkan kepalanya. Puas dengan jawaban Seva. Calon mantunya anak IPA. Aamiin.
"Kalau gitu Jingga sama Seva berangkat dulu. Assalamualaikum," ujar Jingga. Mereka sudah diburu waktu.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati," Jia dan Elvano membalas salam Jingga dan Seva serempak.
Di jalan menuju sekolah, Seva bertanya lagi soal Yusra yang menjadi tetangga baru Jingga.
"Kok lu nggak bilang kalo Yusra pindah deket rumah lu?"
"Lu nggak tanya," balas Jingga.
Seva mengerucutkan bibirnya. "Lu nggak kreatif, Ngga. Setiap ditanya apa-apa pasti jawabnya 'Lu nggak tanya,'"
"Ya suka-suka gue, lah. Ribet banget jadi makhluk." Jingga membela dirinya.
"Oh ya, sama Zenith kemarin, gue belum sempet cerita," ujar Seva menyudahi obrolan tentang Yusra.
"Ya sok cerita. Kumaha?"
"Lu inget tantangan dari Rekal, nggak?" tanya Seva. Jingga mengangguk, Seva masih bisa melihatnya dari pantulan spion.
Iyalah Jingga ingat, orang dia juga terlibat dalam misi Rekal. "Sukur-sukur bisa sreg dan lanjut terus. Kalo engga, ya terserah," kata Rekal kala itu.
"Ceweknya itu Zenith," lanjut Seva. Jingga tak kaget. Hanya saja, ia sedikit kecewa, Seva tidak menceritakannya dari awal. Tapi toh, marah hanya akan menambah masalah.
***
Jam pelajaran pertama adalah matematika. Kebetulan, hari ini yang mengajar adalah guru PPL yang magang. Namanya bu Juwita.
"Pagi anak-anak. Sebelum kita mulai pelajaran kita hari ini, kita berdoa dulu, ya. Ketua kelas silahkan memimpin." Bu Juwita mengawali pembelajaran. Disusul Farhan sebagai ketua kelas memimpin doa.
"Berdoa, selesai." Serentaj, semua anak mengaminkan doa masing-masing. Entah doa apa yang dibaca, yang penting cari muka di depan guru.
"Semoga pada pagi ini kita diberi kesehatan dan kebahagiaan, sehingga pelajaran matematika pagi ini bisa berjalan dengan menyenangkan," ujar bu Juwita.
"Senyum Ibu salah satu alasan saya bahagia, Bu," Dadit, siswa yang duduk di belakang Jingga bersuara. Seketika kelas gaduh menyoraki.
"Sudah-sudah. Kok pada ribut? Ayo lanjut belajar. Dadit yang serius, ya?" Bu Juwita masih lembut walau hatinya sudah dongkol. Semoga ia tidak dimarahi guru karena membuat kelas gaduh.
"Kita ulang dulu pelajaran kelas 7, tentang pengolahan data. Siapa masih ingat?"
Beberapa anak tunjuk tangan. Termasuk murid yang dicap bandel. Tumben.
"Raka," tunjuk bu Juwita.
"Mean adalah rata-rata dari semua nilai. Modus adalah nilai yang sering muncul. Dan median adalah lbu,"
"Lho? Kok saya?" bingung bu Juwita mewakili satu kelas.
"Karena median adalah nilai tengah atau pusat dari semua data. Seperti Ibu yang sudah menjadi pusat dunia saya,"
"Wuuuuu......" Satu kelas menyoraki lagi.
"Sekali lagi nggak serius Ibu keluar, nih," ancam bu Juwita.
"Ibu mintanya diseriusin padahal kita belum ada apa-apa," kata Farhan. Cari mati. Bu Juwita membereskan barang-barangnya di meja guru, bersiap keluar.
"Jangan, Bu..." sorai semua siswa.
"Kalian itu mainin hati Ibu terus," ujar bu Juwita. "Makanya, yang serius belajarnya. Kalau kalian serius, Ibu kan seneng," lanjut bu Juwita.
"Iya, Bu. Kesenangan Ibu yang utama," timpal Dadit.
Akhirnya, pelajaran matematika pagi itu diisi dijalani dengan serius. Matematika berjalan tiga jam pelajaran. Bel istirahat yang berbunyi menandakan berakhirnya pelajaran berhitung itu.
Seperti biasa, Anya mengajak Jingga ke kantin. Memilih duduk pojok yang dekat dengan tembok supaya bisa senderan.
"Makan apa, Ngga?" tanya Anya.
"Masih kenyang, nih. Beli jus jambu aja,"
"Diet, lu?" tuduh Anya.
Aku nggak suka ya, kalau pas nggak mau makan, selalu dituduh diet.
"Dih, orang masih kenyang." Jia menegaskan.
"Santai. Mukanya biasa aja." Anya menepuk pundak Jingga. "Gue pesenin bentar,"
"Thanks, Nya," kata Jingga. Sambil menunggu Anya memesan, Jingga iseng membuka WhatsAppnya. Dan, kosong. Tidak ada yang mengechatnya. Dasar, jomblo.
Tak lama, Anya datang. Tapi belum juga sampai di kursinya, Jingga menghentikan langkah Anya.
"Anya!" panggil Jingga keras, padahal Anya sudah di dekatnya.
"Brisik, lu. Malu dilihat orang," kesal Anya.
"Ikat pinggang diperlihatkan!" ujar Jingga sambil menunjuk pinggang Anya yang tertutup baju identitas—yang memang modelnya dikeluarkan.
"Dih, gila lu, ya?" Anya terheran-heran. Jingga tidak mutu. Lama-lama berteman dengan Jingga menjadikannya tidak punya pikiran berbobot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Jingga
Teen FictionSenja Jingga >>[Spin off Mados] << "Sev, gue ditembak Ridho." "Tolak. Dia playboy yang suka morotin cewe." "Oke," "Sev, Jaka minta nomor gue," "Jangan kasih. Dia cuman modus sama lo," "Oke," "Sev, Alif ngajak gue dinner." "Jangan mau. Siapa tahu nan...