SJ 13 - Konsekuensi

724 84 1
                                    

CMIIW. Happy reading!

***

Ibu yang jahat sekali pun, bahkan tak rela kalau anaknya disakiti oleh orang lain. Seorang ibu pasti tak rela kalau anak yang ia rawat dengan kasih sayang yang besar disakiti begitu saja.

Hari ini Jia dan Elvano datang ke sekolah Jingga, khusus untuk menuntut kasus anaknya. Jia masih tidak terima, Jingga dibully hingga mendapat kekerasan fisik atas alasan yang konyol dan tidak masuk akal.

Ia harus mengusut tuntas kasus ini sebelum ada kasus Jingga Jingga yang lain.

Jia dan Elvano duduk di sofa ruang kepala sekolah. Kursi single diduduki oleh bu Ana sebagai kepala sekolah. Di hadapan Jia, duduk orang tua dari Zennith. Pak Farid juga hadir sebagai saksi. Sedang Jia dibiarkan belajar di kelas mereka. Dan Zennith mendapat skors.

"Saya nggak terima, ya, anak saya diperlakukan seperti itu atas alasan yang konyol!" Jingga berseru. Aura tegang menguar.

"Sabar, Bu." Bu Ana menenangkan.

"Sekali lagi saya sebagai orang tua meminta maaf atas kelakuan anak saya. Saya juga tidak menyangka, Zennith akan berbuat seperti itu," lirih ibu Zennith.

"Tapi ini sudah melewati batas. Saya bisa menuntut anak Ibu."

"Saya paham, Bu," ujar ibu Zennith. Jingga mengalihkan pandangannya. Ibu Zennith itu sok tahu. Seolah-olah tahu apa yang dirasakannya.

Kemarin setelah Jingga bercerita, ia langsung membopong Jingga ke rumah sakit. Untungnya tidak ada luka serius.

Malam tadi Jingga mimisan. Jia kembali membawanya ke rumah sakit. Katanya itu efek dari benturan yang cukup keras dan perasaan syok yang masih Jingga rasakan.

"Anda nggak akan pernah merasakan yang saya rasakan. Karena anak saya korban dan anak anda adalah pelaku. Kami yang dirugikan di sini. Kalau anda? Dirugikan di sebelah mana?" Jia berang.

"Sudah, Bun," Elvano menenangkan istrinya. Ia sama marahnya dengan Jia. Tapi sebagai kepala rumah tangga, Elvano harus bisa lebih bijaksana dengan tidak hanya mengandalkan mulut untuk melawan.

Ibu Zennith adalah janda. Ia duduk sendirian tanpa suami yang menguatkan. Tidak seperti Jingga yang punya Elvano. Itu salah satu alasan kenapa Elvano sedikit memberikan empatinya pada keluarga Zennith. Mungkin Zennith kurang kasih sayang dari sosok ayah, dan mencarinya dari orang lain. Seva misalnya.

"Saya minta maaf, Bu. Sekali lagi saya minta maaf," rintih ibu Zennith.

"Saya ingin menuntut Zennith atas kasus ini," putus Jia final. Semuanya terkejut—termasuk Elvano. Jia belum membahas masalah tuntut-menuntut ini padanya.

"Zennith sudah cukup umur untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ini juga untuk pelajaran supaya Zennith bisa jadi manusia yang lebih bermoral," lanjut Jia masih dengan kalimat miringnya.

"Bu, kita bisa menyelesaikannya secara kekeluargaan." Kali ini bu Ana berbicara. Bagaimana pun, Zennith masih menjadi bagian dari sekolah.

"Saya mau balasan yang setimpal," keukeuh Jia. Air mata yang sedari tadi ibu Zennith tahan akhirnya tumpah. Anak yang ia besarkan seorang diri tidak boleh berakhir kesahnya di balik jeruji.

"Jangan, Bu. Lebih baik keluarkan Zennith saja dari sekolah. Kami akan pergi ke luar kota. Jauh dari lingkungan ini. Tapi tolong, jangan tuntut anak saya," pinta ibu Zennith.

"Saya tidak peduli," Jia tersenyum miris.

"Iya, Bu Jia, tolong pertimbangkan ini. Kita bisa saling memaafkan dan tidak saling menyimpan dendam supaya tidak menyusahkan kita di kemudian hari," bela bu Ana. Ia masih terus mengupayakan penyelesaian masalah tanpa adanya jalur hukum.

"Bun, tolong pikirkan baik-baik. Jingga juga sudah nggak kenapa-kenapa. Lebih baik kita berdamai dari pada harus balas dendam seperti ini. Ini merusak hati kamu, Bun." Elvano menasehati.

Embusan napas lelah Jia embuskan. Ia sebenarnya juga tidak tega. Yang ia akan tuntut hanya tinggal bersama ibunya. Anaknya tentu jauh lebih beruntung.

Tapi kesalahan Zennith juga belum bisa ia tolerir.

"Kalau begitu, saya minta Zennith minta maaf dengan Jingga dan di drop out dari sekolah ini. Kalau nggak, saya akan tetap menuntut Zennith," Jia memberikan pendapat terakhirnya. Permintaannya sepele.

"Bagaimana, Bu?" Bu Ana meminta pendapat ibu Zennith.

Ibu Zennith langsung mengangguk mantap. Dari pada harus mengantar anaknya ke penjara, lebih baik memang seperti ini. "Iya. Itu lebih baik."

Bu Ana mengangguk. Karena kelakuan Zennith sudah menyebar hingga ke luar sekolah—bahkan dalam waktu yang singkat—nama baik sekolah menjadi tercemar. Jika kasus Zennith benar-benar dibawa ke jalur hukum, nama baik sekolah bukan hanya tercoreng. Nama sekolah juga akan jatuh dan selalu dicap buruk oleh masyarakat.

OoO

"Lu nggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Anya. Entah, ini sudah keberapa Anya menanyakan itu. Wajahnya memang sedikit pucat. Jingga juga masih merasa pusing. Tapi selebihnya, Jingga sudah tidak apa-apa.

"Sekali lagi tanya kaya gitu, gue gorok, lu," ancam Jingga. Jiwa bar-barnya sudah tertanam subur hingga cacing-cacing di perutnya.

"Oke, lu nggak papa." Anya menjawab pertanyaannya sendiri.

Kemudia Anya dan Jingga melanjutkan makannya. Sekarang sudah jamnya istirahat.

Jingga risih pada setiap orang  hari ini karena selalu menanyai kabarnya.

Slrruupp...

Seva datang tiba-tiba, langsung menyedot teh hangat Jingga.

"Capek banget nyapu lapangan atas. Daunnya banyak banget kaya dosa Pak Obe," keluh Seva sambil membawa-bawa guru BK, pak Obe.

Oh ya, ada kejadian lucu tadi pagi.

Seva mengira Jingga tidak masuk sekolah. Hal itu Seva manfaatkan untuk tidak masuk sekolah juga. Ia beralasan ingin merawat Jingga—padahal Jingga tidak kenapa-kenapa.

Lalu tadi pagi, Seva yang biasanya menjadi ojek sekolah Jingga, menjemputnya dengan pakaian santainya. Seva terkejut saat Jingga sudah siap dengan seragam sekolahnya.

Jadilah Seva pulang untuk berganti pakaian, dan Jingga diantar sekolah oleh Elvano. Rencana Seva untuk membolos gagal total. Malahan ia jadi telat dan dihukum membersihkan lapangan atas yang tak kalah luas dengan stadion GBK.

"Besok-besok, kalo mau bolos mah ya bolos aja. Nggak usah diniatin telat gitu," kata Anya.

"Kalo gue nggak masuk, yang jaga Jingga siapa? Ya nggak?" tanya Seva sambil memainkan alisnya, membuat Jingga dan Anya mau muntah.

"Oiya, Zennith belum minta maaf sama lu, ya?" tanya Seva. Tangannya usil, mengambil bakso Jingga dengan garpu.

"Belum," jawab Jingga malas. Kesal sekali kalau mengingat kejadian itu.

"Awas aja kalo masih berani nemuin lu," Seva berseru, seakan Zennith ada di hadapannya.

"Eh, eh, itu Kak Yusra..." Anya tiba-tiba heboh menunjuk Yusra dan Galang. Otomatis, Jingga dan Seva ikut menoleh.

"KAK YUSRA, GABUNG KITA AJA."

Jingga dan Seva hampir tersedak dengan teriakan Anya.

Senja Jingga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang