Part 25 : Pedofil

314 32 4
                                    

Upacara kini tengah berlangsung, pembawa acara adalah kelas sebelas. Tari menatap takjub Tovan yang menjadi pemimpin pasukan, ternyata selain berwajah datar cowok itu berbakat juga batinya berbicara.

Tari menundukan kepala saat merasa di perhatikan oleh Tovan, bukan geer ya. Tapi cewek itu merasa sedari tadi Tovan menatap nya, apalagi upacara baru di mulai. Yang dimana posisi Tovan masih menghadap barisan siswa, dan sialnya Tari barisan paling depan.

Upacara itu berjalan dengan lancar, suara mengelegar Tovan membuat nilai plus untuk para petugas nya.

Saat pasukan di bubarkan, Tari dan Feby sontak ikut meninggalkan lapangan. Namun baru berniat melangkah seseorang sudah menariknya berlawan arah.

Orang itu membawa Tari ke belakang sekolah, orang itu menatap datar Tari yang terlihat tekejut.

"Ngapa lo ngundurin diri jadi seketaris, lo bahkan belum seminggu jadi sekertaris" tanya Tovan.

Tari menyengir tanpa merasa bersalah. "Kan Tari udah bilang kak, Tari gak berbakat kayak gituan. Gak minat sama sekali" bela nya.

"Alasan, pokok-"

"Tovan" potong sesorang yang baru tiba.

Kedua nya sontak menatap sang empunya suara, Tari menatap menyelidik kearah orang itu. Naura, Tari masih mengingat wajah cewek itu.

"Gue bisa bicara sama Tari gak?" ucap Naura dengan manis.

Tari mengerutkan keningnya, sejak kapan ia akrab dengan kakak kelas bernama Naura ini. Kenapa pula cewek ini ingin berbicara padanya.

"Silahkan" kata Tovan tanpa berniatan pergi.

"Bardua Tovan" geram Naura.

Tovan menatap datar Naura, "lo ada urusan apa sama Tari?"

"Lo gak boleh tau, ini urusan cewek" jawabnya. Tanpa meminta persetujuan dari Tovan, Naura menarik pergelangan tangan Tari.

Cewek itu menarik Tari ke tempat yang lebih sepi, "kakak mau bicara apa?" tanya Tari.

"Lo jadi cewek ganjen banget ya, kemaren Iqbal setelah itu Aris dan sekarang Tovan. Abis itu sapa?"

Tari tidak mengerti akan ucapan Naura, dia tidak tau arah pembicaraan ini kemana. "Maksud kakak apa ya?" Tari sedikit berani saat Naura sendirian, setidaknya ia bisa melawan.

"Maksud gue apa? Bego lu ya, jauhin Mereka." Tari semangkin tidak mengerti, mau jahuin bagaimana jika dia saja tidak akrab dengan kempat orang itu kecuali Aris.

"Kak... saya gak deketin mereka, mereka sendiri yang deketin saya" bela nya.

Naura terkekeh, "sok kecantikan banget lo. Merasa lo yang paling cantik gitu" kekehnya.

"Saya gak merasa kayak gitu, saya cuman bilang sesuai fakta" sahut Tari.

"Fakta tentang apa? Tentang elo yang ganjen, kecentilan gitu?! Lo jauhin mereka kalok mau tenang sekolah disini, dulu dulu gue diem yah. Tapi makin lama lo mangkin nempel sama mereka" jelas Naura

"Gue paling gak suka, milik gue di deketin sama orang lain" tambahnya dengan penuh tekanan.

"Awas lo, macem macem sama gue" kata Naura lalu berlalu dari sana.

Tari mengusap wajahnya dengan frustasi, "Arrrgh" teriaknya.

"Kenapa gue sih yang jadi sasaran, apa salah gue cobak buat berteman. Auto gak bisa tenang ini mah" frustasinya.

"Lo gak boleh takut tari, bang billy pasti gak suka liat adeknya lemah. Lu emang main kroyokan kak, licik juga. Tapi bukan berarti gue takut" gumamnya lalu meninggalkan tempat itu.

***
"Tar" panggil seorang dari arah belakang Tari, niat Tari yang awalnya hendak pulang terhenti seketika.

"Ada apa ya kak" tanya Tari, cowok yang tak lain Revan itu mendekati Tari.

"Gue tadi lupa bilang, kita hari ini latihan" ucapnya.

Setelah tau Revan itu baik, Tari memutuskan untuk belajar basket padanya. Walaupun sedikit berdebat dengan Aris, tapi pada akhirnya cowok itu mengalah pada Tari.

Tari ragu untuk menolak, tapi ia teringat akan kondisi abangnya. Bagaiman pun Billy tetap di nomor satukan.

"Maaf ya kak, tari gak bisa. Abang ku lagi di rumah sakit, dia gak ada yang jagain" jelas Tari.

Wajah Revan seketika suram, "turut berduka ya, tapi emang gak bisa sebentar aja. Masalahnya, klok kita nunda terus lo nya gak bakal bisa. Sebentar doang kok" bujuk Revan.

Tari tampak berpikir sebentar, cewek itu lalu menghela nafas pasra. "Baiklah" katanya.

Kurang lebih satu jam mereka bermain basket, hingga kini keduanya duduk di pinggir lapangan. Revan menyerahkan air mineral pada Tari, "makasih kak" ucap Tari.

Setelah meneguk minumannya, Revan mengusap rambutnya yang telah basah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah meneguk minumannya, Revan mengusap rambutnya yang telah basah. Kemudian ia menatap Tari yang ikut berkeringat juga, "lo tadi bagus. Gampang banget nangkep, yang gue maksud. Lo tadi diawal cuman kaku doang, tapi kayaknya lo berpengalaman deh" kata Revan.

"..."

Tari tak membalas ucapan Revan, cewek itu malah menatap lapang yang baru ia pakai beramain basket. "Dulu pas smp gue pernah main basket, tapi gak sengaja gitu kenak bolanya. Maka nya gue trauma" jelas Tari.

"Oh..."

"Gue heran deh kak, kok pak Vano kekeh banget buat gue belajar basket ya. Padahal temen gue juga ada yang gak bisa, tapi mereka gak di suruh tuh" tambah Tari yang tampak heran dengan sikap guru muda itu.

"Gue sih gak tau, sebelum nya ni. Gue gak pernah ngajarin orang Privat gini. Biasanya juga rame rame" ucapan Revan membuat Tari semangkin mengerutkan keningnya. Sebenarnya mau apa guru muda ini, selalu membuat ku susah batin Tari berbicara.

"Ah.. tadi gue sempet liat pak Vano merhatiin lo, pas istirahat kedua. Gue liat dia merhatiin lo sampe ke toilet" penjelasan itu membuat Tari merinding.

"Kak... jangan jangan pak Vano pedofil lagi" sejurus kemudian Revan memberikan jitakan pada Tari, membuat Tari mengaduh.

"Sakit tau kak" protesnya.

"Abis nya pikiran lo negatif banget" bela Revan.

Tari berdecak, "kan gue ngungkapin fakta."

Revan menggelkan kepalanya, "udah gak usah di pikirin."

"..."

"Eh tadi lo bilang abang lo masuk rs, gue boleh jenguk gak?" Tari mengangguk, "boleh boleh aja" kata cewek itu.

"Abisin minum nya, baru kita cabut" Tari menuruti ucapan Revan, tapi pikirannya masi berkelana pada sosok guru muda itu. Masa sih guru itu pedofil, iih serem batinya berkata.

Kisah MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang