"Gimana keadaan bang Billy" tanya Feby, keduanya kini berada di kantin.
"Gitu gitu aja, gak ada perubahan" helaan nafas keluar dari mulut Tari.
"Gue harus cari kerja Feb" sambungnya sambil mengadung ngaduk mangkuk bakso yang ia pesan. Tari jadi tidak selera makan, satu sisi ia masi memikirkan Billy, satu sisi lagi ia memikirkan bagaimana cara hidup tanpa Billy. Itu sangat menyusahkan.
"Tabungan lo gak cukup?"
Tari menghembuskan nafas kembali, "gue gak bisa ngadelin tabungan. Gue gak berharap bang Billy lama bangun nya, tapi... gue juga harus nyari uang tambahan" ucapnya.
"..."
Feby menatap prihatin sahabatnya itu, "walupun biaya rs udah di tanggung sama si misterius, tapi gue gak tau itu sampe kapan. Gue pengen usaha sendiri" tambah Tari.
"Tar... kenpa lo gak nyari bokap lo aja? " usul Feby.
Tari yang semula menunduk seketika menatap tajam Feby, membuat yang di tatap menyengir. Feby melebarkan bibirnya dengan canggung, apalagi suasana nya jadi berubah.
"Sorry" kata Feby, melihat temanya itu tidak suka akan perkataannya barusan.
"Gue nyari tu orang? Gak bakal. Gara gara dia kami jadi terlantar" Feby berdehem canggung. Jika menyangkut tentang pria yang menyandang nama papa itu, pasti Tari akan berubah menjadi dingin.
"Ya-yaudah lupain aja, gue bantuin cari kerja deh" balas Feby gugup.
Tari menghembusakan nafas beratnya, lalu senyum di bibirnya terbit. "Gimana kalok gue gantiin bang Billy? Kerja di bengkel gitu" katanya semangat.
Feby membulatkan matanya, di susul dengan suara tawa menggelegar. "Hahahah... eh yang ada, tuh motor tambah rusak kalok lo yang benerin" ucapnya.
Tawa Feby semangkin pecah, saat membayangkan wajah Tari yang di penuhi oli. Yang benar saja, bengkel? Feby tidak pernah berpikiran jika Tari akan berkerja seperti itu.
Tari mengerucutkan bibirnya saat melihat Feby tak hentinya tertawa. Apa salahnya bekerja di bengkel, toh ia tidak akan membuat bengkel itu meledak.
Cewek berlesung pipi itu menatap kesal kearah Feby, hingga bel masuk berbunyi membuat Tari melangkah pergi meninggalkan Feby.
Feby terkekeh, "ngambek tuh anak" katanya ikut menyusul perginya Tari.
Jam berganti jam, kini bel pulang telah berbunyi membuat siswa Sanjaya berbondong bondong pulang.
Aris yang memeng jam terakhir sudah membolos, tengah menyenderkan tubuhnya di sisi gerbang. Tak lupa motor merahnya terpakir di sebelahnya. Cowok itu menatap siswa yang berlalu lalang hendak pulang, mata Aris terus mencari keberadaan orang yang di carinya.
Cowok itu menggerutuk saat tidak melihat keberadaan orang yang tengah ia cari, hingga getaran di saku celananya mengalihkan semuanya. Aris mengambilnya lalu menggeser tombol hijau, saat ada panggilan dari nomor tak di kenal.
"Siapa?" tanya nya langsung saat panggilan terhubung.
"Musuh lo" kekeh orang itu.
"Darma..." gumam Aris, cowok itu segera melangkah ketempat yang lebih sepi.
"Mau lo apa?" tanya Aris kembali saat sudah di pastikan tempat itu tidak ada siswa yang lewat.
"Giman kabar Billy? Sehat?" ucapnya di susul tawa.
Aris menggeram, tangan kiri yang tidak memegang apa pun mengepal sehubungan emosi yang mulai merayap di tubuhnya.
"Gue gak mau basa basi, mau lo apa?" bentak Aris.
"Billy masuk Rs ya? Kasian..." ujar Darma.
Aris menahan hasratnya untuk memukul orang yang menelponnya ini, andai Darma ada dihadapanya sekarang. Mungkin Aris akan langsung menojok wajah orang itu.
Cowok itu tidak menjawab ucapan Darma, Aris masih menarik turunkan nafasnya untuk merendam emosinya.
"Uuhh... fine lo emang susah di ajak bercanda. Gue nelpon lo sih, mau ngajakin ketemua. Gue lagi kepengan ngebunuh orang ni" kata Darma dengan nada serius.
Gila, itu kata yang tepat untuk seorang Darma. Aris sempat berpikir untuk membawa darma ke RSJ, mana tau itu berpengaruh baik untuk cowok itu.
Aris tetap tidak membalas ucapan Darma, cowok itu ingin tau seberapa maunya ia mengajak Aris berkelahi.
"Lo kenapa jadi bisu gini sih? Tapi ni, gue gak mau penolakan dari lo. Gue cuman kasih info aja, kalok gue tau tempat tinggal salah satu temen lo. Kalok gak salah namanya, Oji Syaputra kan Ris?"
"Dimana?" kata itu lolos di bibir Aris, sudah cukup Billy yang menjadi korban keganasan Darma. Oji, walupun dia ngeselin. Tapi Aris sudah menganggapnya sodara, tuh orang bisa bikin mood nya baik.
"Tapi one by one?" ucap Darma menatang.
"Ok" Aris mematikan telpon itu secara sepihak, berapa detik setelahnya muncul notif pesan dari nomor tadi.
Aris tidak membukanya, cowok itu langsung menyimpan ponsel ke dalam saku celananya. Aris memutar tubuhnya yang semula melihat tembok, tubuh cowok itu menengang saat melihat ada seorang yang berdiri di depanya.
"Siapa tadi?" tanya orang itu.
Aris memutar bola matanya, cowok itu tidak menangapi orang itu. Aris berniat pergi, tapi langsung di tahan oleh cowok itu.
Aris menatap tajam ke arah orang itu, "kita gak seakrab dulu, Bal" sahut Aris.
Iqbal orang yang menahanya pergi itu menghela nafas, "lo emang musuhan sama Revan. Tapi bukan berarti lo musuhin gue juga" balas nya.
Cowok berambut berantakan itu menatap jengkel kearah Iqbal. Tak sengaja matanya menangkap sosok Tari yang berjalan tak jauh dari temapatnya, Aris seketika melangkah mendekati Tari. Namun, lagi dan lagi Iqbal menahanya.
"Lo jangan gegabah" ujar Iqbal, Aris seketika menatap tajam Iqbal.
"Lo denger obrolan gue?" Iqbal menggelang membuat Aris mengehela nafas lega. "Gue cuman pengen ngungkapin itu aja" jelasnya membuat Aris bingung.
"Gue gak bisa jadi penasehat lo lagi, itu juga karna lo yang mulai menjauh. Gue cuman bilang, jangan pernah gegabah."
"Iyaa" kata Aris, cowok itu memutar bola matanya saat melihat sikap Iqbal. Kemudian berlalu mengejar Tari yang sudah duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Mentari
Fiksi Remaja(Sebelum baca, jangan lupa follow terlebih dahulu) Bagaimana perasaan mu jika mendapatkan sebuah pesan misterius, apalagi pesan itu berujung mengungkapkan perasaan. Tari, siswi SMA Sanjaya mengalami hal tersebut. Setelah mendapatkan pesan itu, berba...