End

209 48 9
                                    

- Hal yang terpenting dalam sebuah hubungan adalah komitmen-

Sava memiringkan kepalanya, tangannya sibuk menunjuk-nunjukkan bullpen ke pipi cowok di sebrangnya. Sudah 4 hari Dana belum menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Ia menghela napas, apa berbicara sendiri itu wajar? Ini hal tergila yang pernah ia lakukan.

"Dana gue mau ngomong," ujar Sava.

Cowok itu tetap bergeming, tidak ada balasan untuk merespon gadisnya. Raganya setia menunggu kelanjutan percakapan aneh ini.

Sava berdeham gugup "gue nggak mau kamu jadi lemah gini Dan gue emm ngerasa saat ini lo bukan Dana yang gue kenal, bukan Dana gue."

Sava terlonjak kaget, mesin ventilator bergerak tak karuan. Dokter dan suster kini berdatangan, bahu membahu demi menyelamatkan raga ini. Yang ia lakukan hanya bias merapalkan doa kepada sang maha kuasa, selebihnya ia serahkan kepada keajaiban.

Sava bersandar pada kursi rumah sakit, bayangan masa lalu kini mulai mendatangi. Kilas balik tentang papanya yang 'tak bias diselamatkan pun mulai menggerogoti. Air matanya terjatuh bersamaan dengan bunyi 'tiiit' di seberang sana.

Semesta memang ajaib, disaat kemarin baik - baik saja kini berubah waspada. Rasanya baru kemarin ia bercakap dengan Dana, ucapan konyol yang sering cowok itu lontarkan kini menghasilkan ruang rindu pada relung hati Sava.

Dokter keluar dari ruangan itu, wajah lesu membuat Sava khawatir. Ia 'tak yakin bila yang diterima saat ini adalah kabar yang bias mengembalikan Dananya. Riko mendekati dokter, dialah orang yang paling tenang diantara yang lain.

"Maaf dok bagaimana keadaan teman saya?"

Dokter menghela napas panjang "keadaannya belum membaik, jika hari sudah berganti dan belum ada pergerakan. Maaf nak kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Riko mengusap wajahnya kasar berterimakasih kepada dokter itu. Sava mendengar percakapan mereka, seluruh dunia nya terhenti sesaat. Siluet papanya yang pergi meninggalkan ia dan bundanya kini berdatangan.

Galang dan Chiko Nampak frustasi, dilain sisi Arya berusaha menenangkan Cinta yang sekarang menangis. Arya langsung menghubungi papa Dana, persetan dengan segala kesibukan orang itu. Jika benar ia sayang kepada putranya maka ia harus kesini.

"Riko, itu tadi salah kan?" Tanya Sava terbata.

"Sav."

"Jawab ko, dokter bohong kan?"

Riko mengusap bahu cewek itu. Sava menangis histeris 'tak peduli dengan semua orang yang kini menatapnya iba, dirinya terduduk lesu di lantai rumah sakit. Sava yang biasanya jaim sudah tiada lagi, yang biasanya berpikir seribu kali sebelum bertindak kini 'tak peduli lagi, selain memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan orang yang mulai disayanginya.

Sava takut memori lama itu terulang kembali, hari dimana kebahagiaannya direnggut. Tepat saat ia ingin meminta maaf kepada papanya. Dan sekarang saat ia mulai menyayangi Dana, apakah akan diambil pula? Hanya tuhan, dan author yang tau.

Di penghujung hari, papa Dana menggenggam erat tangan putra sulungnya. Mama tirinya dan Derren pun turut merapalkan doa. Sava tak henti-hentinya memandangi jam kurang 5 menit lagi dan belum ada pergerakan apa -apa.

Wajah dokter itu seolah menampakkan rasa kasihan, suster melayangkan tatapan iba. Teman- teman Dana yang katanya badboy membaca surat al - fatihah sebanyak 7 kali, konon katanya doa akan terkabul. Tepat sehari dan Dana belum juga bangun.

Papah Dana merangkul erat raga itu "Dana, bangun nak papa mohon papa minta maaf," wajah tua itu kini menyesal menyisakan sebuah rasa sedih yang mendalam.

"Suster, cabut semua alat medis."

"Nggak nggak boleh Dana masih hidup kalian bohong." Seruan itu datang dari sava.

"Nak, ikhlaskan dia sudah tiada."

"Saya mohon dokter beri waktu saya 1 menit lagi, saya mohon."

"Baiklah, namun setelah itu saya akan mencabut alat medis dari tubuhnya."

Disini, saat semua orang sudah putus asa Sava malah menunggu. Papanya sudah melepas rangkulan dari Dana. "Sudah nak, ikhlaskan."

Sava menangis menjadi jadi, mengapa ini harus terjadi kepadanya? Pertama abangnya kedua ayahnya dan yang ketiga adalah Dana. Semua yang ia sayangi diambil paksa dari Sava.

"Maaf nak, kami harus mengurus pemakaman ini." Ujar papa Dana.

Alat medis mulai dicabuti, papa Dana berusaha mengikhlaskan dan Sava serta teman - temannya pun sudah menerima. Tangan Dana bergerak pelan, menggumamkan nama bundanya.

Dokter memutar otak, alat medis mulai dipasang kembali. Perlahan mata Dana terbuka, bibir nya tersenyum simpul melihat papahnya menggumamkan kata maaf. Dokter pun tersenyum dan mengucapkan selamat, kemudian meninggalkan mereka.

"Dana, papa minta maaf nak," tubuh tua itu menggenggam erat tangan Dana.

"Dana juga minta maaf pa, maafkan Dana. Tante dan Derren saya minta maaf selama ini selalu bersikap buruk kepada kalian."

Mama tirinya menangis haru, Derren tersenyum sembari menyeka air matanya. Mereka berempat berpelukan singkat sungguh indahnya keluarga.

"Pah, boleh tinggalkan aku dan Sava sebentar?"

Papa Dana tertawa haru "anak papa sudah besar ternyata, yuk ma kita tinggalkan pria kecil ini."

Sava terlihat kikuk wajahnya masih memerah karena air mata, duduk di sebelah ranjang dana dan hendak membuka mulut namun urung.

Dana tersenyum tengil "Jangan nangis lo jadi kelihatan makin jelek Sav"

Sava memukul lengan Dana, air bening turun perlahan - lahan disertai isakan kecil. Ia merasa takut sekaligus lega, berani-beraninya Dana malah tertawa tengil dan menatapnya dengan kening berkerut.

"Dana lo ...." Sava tersedu - sedu.

"Sava udah jangan mewek Danamu kan sudah bangun, sini peluk abang," Dana merentangkan tangan bak gaya artis hollywod.

"Jahat lo."

"Enggak."

"Jahat."

"Yaudah gue jahat."

"Udah jangan nangis nangis nanti makin jelek lo," Tangannya terulur mengusap wajah Sava.

Dana menatap Sava teduh, Sava juga menatap Dana balik. Bibir Sava mengerucut, tak suka melihat manusia didepannya bersikap seperti tidak ada apa - apa. Huh dasar cowok gak peka

"Kenapa sih Dan, lo selalu ngebuat gue panic hmm?"

"Nggak papa seru aja," Ucapnya ringan.

Sava melotot, setelah semua kejadian tadi berani - beraninya ia berkata seperti itu.

Jantung Dana berdegup kencang, "Va, di tempat ternggak romantis ini dan disaat gue abis bikin lo nangis gue hanya ingin bilang gue sayang sama lo, tatap gue va."

Sava mendongak, jantungnya berdegup tak karuan. Kupu - kupu terbang di dalam perutnya pipi itu memerah lucu. "gue juga Dan."

Dana terlonjak kaget, tersenyum bahagia mengepalkan tinju ke udara walau patah - patah. Beginilah kisah cinta mereka cukup saling mempertemukan rasa tanpa ada hubungan khusus, karena bagi keduanya yang terpenting bukanlah status namun komitmen.

Karena buat apa memiliki raga kekasihmu sedangkan hatinya masih berada kepada masa lalu yang masih diinginkannya.

Lewat Sava dan Dana kita paham bahwa dalam menungkapkan rasa tak harus romantis, tak perlu karangan bunga dan membaca puisi. Cukup berbicara dari hati - kehati dan menjalani dengan semestinya.

TAMAT :)

#################

Hola masih hidup? Gimana endingnya? Semoga kalian puas ya. Mohon maaf bila ada kesalahan sekian dan terimakasih author pamit undur diri, jangan lupa klik bintang.Terima kasih sudah setia menunggu mereka.

Salam jari kelingking:*

Savana (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang