5

2.3K 350 54
                                    

Reader Pov.

"Sabito." Panggilku.

"Ya, [Name] Nee-san?" Ah, bocah ini lagi-lagi memanggil namaku dengan tambahan 'Nee-san'.

"Bolehkan aku bertanya?"

"Tentu saja boleh."

Sejenak aku diam. Memandang wajah bocah kecil bernama Sabito ini. Wajah itu menunjukkan senyuman yang begitu manis. Aku sangat menyukainya. Jadi, aku pun ikut tersenyum karenanya.

"Begini, bagaimana kau bisa bertemu dengan iblis tadi?"

Seketika senyum manis di wajah Sabito langsung luntur begitu saja. Ia memberengut seperti orang yang sedang kesal. Apa dia kesal dengan pertanyaanku?

"Saat itu aku sedang mencari makanan di hutan dan tiba-tiba saja iblis tadi mengejarku. Aku yang terlalu takut akhirnya tidak berani kembali ke rumah." Jawabnya dengan bibir yang mengerucut lucu.

"Kamu sepertinya tidak suka dengan iblis itu ya." Aku terkekeh melihatnya.

"Tentu saja. Memangnya siapa sih yang suka dengan makhluk pemakan manusia?"

'Makhluk pemakan manusia, ya.' Batinku.

"Kamu membenci makhluk seperti itu?"

"Iya." Jawaban Sabito membuatku terdiam.

Entah karena apa tiba-tiba raut wajahku berubah menjadi sendu. Padahal seharusnya aku tahu, tidak akan ada manusia yang menyukai makhluk bernama iblis. Makhluk menjijikkan yang menjadikan manusia sebagai makanannya. Apalagi Sabito yang baru saja hampir mati di tangan salah satu iblis itu.

Tapi, kenapa dengan kurang ajarnya aku malah menyukai Sabito yang jelas-jelas adalah manusia. Anak manusia yang baru aku temui. Jika dipikir-pikir mana mungkin dia akan suka denganku, kan?

Aku ini adalah seorang iblis dan dia adalah seorang manusia. Aku sudah lama hidup dan dia masih anak-anak. Manusia adalah mangsa iblis dan iblis adalah predator manusia. Meskipun Sabito mengatakan kalau dia tidak membenciku. Tetap saja, dunia kami berbeda. Kami tidak akan bisa bersama.

'Bodoh. Apa yang kau harapkan? Kau baru bertemu dengannya. Jangan memikirkan hal yang tabu seperti, ingin hidup bersama dengannya. Itu tidak akan mungkin. Kau sendiri yang paling tahu itu'. Gumamku dalam hati.

'Andai aku juga seorang manusia.' Sejenak aku tercenung. 'Apa sekarang aku mulai menyesali keputusanku dulu?'

Melihat raut wajahku yang berubah, kedua tangan mungil Sabito menangkup wajahku. Ia jadi ikut memasang raut wajah yang sama denganku

"[Name] Nee-san, kenapa?" Tanyanya khawatir.

"Tidak apa-apa." Aku tersenyum kecil.

"Apa perkataanku tadi menyinggung, Nee-san? Tenang saja, walaupun [Name] Nee-san adalah seorang iblis. Tapi aku tidak membenci Nee-san kok." Sabito memelukku lagi.

"Aku sayang Nee-san."

Tiga untaian kata itu terdengar mengalun dengan lembut di telingaku. Tanpa sadar air mataku jatuh, namun dengan segera aku menghapusnya. Aku tidak mengerti mengapa anak ini malah mengatakan itu padaku. Kau seolah memberikan aku secercah cahaya, Sabito.

"Aku merasa terhormat bisa disayangi oleh manusia sepertimu, Sabito." Aku mengusap kepalanya pelan. Dan Sabito masih belum melepaskan pelukannya.

"Iya, aku sayang [Name] Nee-san." Ujarnya lagi dengan seulas senyuman.

"Sabito bisakah kau berhenti memanggilku dengan tambahan Nee-san?" Pertanyaanku itu membuat Sabito melepaskan pelukannya. Dia memiringkan kepalanya. Wajahnya menunjukkan raut kebingungan.

"Kenapa?" Tanyanya dengan tampang polos khas seorang anak kecil.

"Karena aku jadi kelihatan tua." Aku menggaruk-garuk tengkukku yang tidak gatal.

"Tapi, Nee-san memang sudah tua, kan?"

"..."

Sungguh terasa sakit hati ini mendengar pertanyaan yang sangat benar adanya itu.

"[Name] Nee-san seorang iblis bukan? Pasti sudah hidup lama. Jadinya, Nee-san memang sudah tua, dong."

'Tolong jangan lanjutkan lagi, Sabito. Perkataanmu itu sangat benar sekali. Aku jadi tidak bisa menyangkalnya.' Ringisku dalam hati.

"Iya, itu benar. Tapi, aku ingin Sabito memanggil namaku saja tanpa tambahan Nee-san."

"Aku tidak mau. Ibuku dulu pernah berkata kalau aku harus berkata sopan pada yang lebih tua dariku. Kalau aku memanggil Nee-san dengan nama saja, itu berarti aku tidak sopan." Sabito menyilangkan kedua tangannya didepan dada.

"Tidak apa. Aku memperbolehkanmu, kok."

"Tetap saja, aku tidak mau. Itu tidak sopan, [Name] Nee-san."

"Ayolah. Tidak apa, kok. Ya?"

"Tidak. Tidak. Tidak." Sabito menggeleng-gelengkan kepalanya kekanan dan kekiri.

Oi. Kenapa aku terlihat seperti membujuk Sabito?

Hei, ada apa diriku? Apa aku langsung menjadi aneh begini dalam waktu tidak sampai satu jam pertemuanku dengan Sabito? Dan memangnya juga permintaan aku itu aneh?

"Sabito."

Aku mencoba memanggil bocah bersurai peach ini. Menyentuh pundak kecilnya tetapi dia mengalihkan pandangannya. Oh, anak ini sekarang malah merajuk.

Ok.

Sepertinya permintaanku aneh sehingga Sabito tidak suka dan dia jadi merajuk. Lagian jawabannya tidak salah sih. Memang tidak sopan kalau memanggil nama orang yang lebih tua darimu. Tapi, aku kan mengizinkannya. Jadi, tidak apa-apa, bukan?

"Sabito."

Sabito masih tidak menyahut. Bahkan kini dia membalikkan badannya membelakangiku. Agaknya aku harus berbuat sesuatu yang bisa menarik perhatian Sabito dan membuatnya tidak merajuk lagi.

Dan aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku mengeluarkan tiga lembar kertas berwarna merah muda dari balik kimonoku. Lalu, meletakkan kertas tersebut di atas tanah.

"Sabito. Lihat ini. Aku ingin menunjukkan sesuatu yang hebat padamu." Sabito hanya melirik lewat ekor matanya. Tangan masih bersedekap di dada.

Aku melipat kertas tadi menjadi sebuah kupu-kupu buatan. Kemudian, yang dua lagi aku lipat menjadi sebuah kapal dan burung buatan.

Dengan manik yang berbinar, Sabito akhirnya kembali membalikkan tubuhnya kearahku.

"Sugoi."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc

Ini chapter apaan sih oey. Gak jelas beut dah. Wkwk :v

Ada kritik dan sarannya, gk? Kalo ad ku tunggu, ya.

Ok?

Untuk SaChan04 moga suka ya.

Selamat membaca Minna :)

Kindness of a Demon ; Sabito x Reader [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang