11

1.9K 318 118
                                    

[Name] melihat dua buah pedang tergeletak di atas permukaan tanah. Ia mengambil pedang tersebut dan membolak-balikkan dua bagian sisinya.

"Hei. Apa ada yang meninggalkan pedangnya disini?" Teriaknya entah pada siapa.

'Siapa yang telah meninggalkan pedang ini disini?' Tanya [Name] dalam hati.

"Hei. Apa ada orang yang kehilangan pedang?" [Name] berteriak lagi.

Sepi. Tidak ada jawaban. Gadis tersebut mengeluarkan dua buah bilah pedang dari sarungnya. Ia memegangnya didepan wajah dan memperhatikan perubahan warna pada kedua pedang tersebut.

"Wah. Pedang ini berubah warna jadi setengah putih dan setengah lagi merah muda. Hebat sekali." Sorak [Name].

Si gadis iblis mengayunkan kedua pedang itu kekanan dan kekiri. Kedepan dan kebelakang. Mengayun sambil menyilangkan pedangnya. Hembusan angin keluar saat [Name] menyilangkan kedua pedang itu.

Manik mata gadis tersebut berbinar senang. "Ini hebat. Aku sudah seperti pendekar pedang. Hahahaha." Tawanya seraya kembali memasukkan bilah pedang kedalam sarungnya.

"Kalau tidak ada yang merasa kehilangan benda ini. Lebih baik aku bawa pulang saja."

[Name] membawa pulang kedua pedang yang ditemukannya. Sampai di rumah, ia mengikatkan tali pada kedua ujung dari sarung pedang tersebut. Saat selesai, disandangnya kedua pedang tersebut dengan posisi menyilang dibelakang punggung. Lalu, dikeluarkan kembali pedangnya.

"Sugoi." Puji [Name] lagi sambil melihat dua pedang di tangannya.

"Dengan ini, aku akan berlatih pedang sendiri kalau sedang tidak ada kerjaan." Senyumnya mengembang.

Mulai sejak saat itu, [Name] berlatih ilmu berpedang alanya sendiri ketika tidak diberi tugas. Selama bertahun-tahun ia melakukannya. Gerakan yang sama terus diulang sampai ia mahir dalam menggunakan kedua pedang yang ditemukannya.

"Dengan begini aku bisa menyelamatkan Sabito jika suatu hari nanti aku menemukannya diserang oleh iblis lagi."

••••••••••

Sabito kecil kini sudah beranjak menjadi remaja. Sekarang usianya menginjak angka 12 tahun. Wajahnya yang lugu kini berganti menjadi wajah yang tampan. Sangat indah bila dipandang mata.

Sabito terduduk dibatu besar yang tidak jauh dari kediaman Urokodaki. Matanya menerawang jauh menatap langit biru. Sekarang sedang musim panas dan langit diatas sana sangat cerah.

Besok malam, Sabito dan semua teman-temannya akan pergi ke Gunung Fujikasane untuk melakukan seleksi akhir sebelum menjadi seorang pemburu iblis. Ia berpikir apakah dirinya serta semua temannya dapat bertahan sampai tujuh hari mendatang.

Sabito menghela nafas kasar. Sebuah kupu-kupu lusuh dari kertas berwarna merah muda digenggamnya.

"Aku masih belum bertemu dengan [Name]." Ucapnya.

Manik ungu kelabu Sabito menatap kupu-kupu tersebut dan kemudian ia tersenyum manis. "Kira-kira apa yang sekarang [Name] lakukan, ya?"

"Apa yang kamu lakukan disini, Sabito?" Seorang remaja laki-laki menginterupsi kegiatan Sabito.

"Giyuu."

Remaja itu, Tomioka Giyuu, meloncat naik keatas batu. Ia mengambil tempat di sebelah Sabito dan duduk bersila.

"Kupu-kupu itu lagi." Giyuu menunjuk kupu-kupu yang ada digenggaman Sabito. "Sabito kayaknya suka sekali sama kupu-kupu itu."

"Iya. Karena kupu-kupu ini adalah benda berharga yang dibuatkan seseorang padaku dulu saat aku masih kecil." Sabito tersenyum.

"Apa seseorang itu juga berharga untuk Sabito?"

"Tentu saja. Kalau waktu itu dia tidak ada, mungkin aku sudah mati sekarang."

"Hm." Giyuu bergumam pelan. Kedua tangannya ia gunakan sebagai penyangga badan dan kepala menengadah kearah langit.

"Siapa orang itu? Apa dia salah satu keluarga Sabito?" Tatapan Giyuu lurus keatas.

"Tidak. Dia bukan keluargaku."

"Hm." Lagi, Giyuu bergumam pelan sebagai tanggapan. "Kalau bukan keluarga Sabito, berarti orang asing dong?" Pertanyaan Giyuu membuat Sabito terkekeh. Giyuu hanya melirik lewat sudut matanya.

"Memang benar dia hanya orang asing. Tapi, dia sangat berharga untukku." Kupu-kupu Sabito letakkan didepan dada.

"Sabito menyukainya, ya?"

Giyuu memberikan tatapan dan seringaian jenaka. Ia berniat ingin menggoda sahabat persiknya ini. Meskipun sebenarnya Giyuu tidak tahu siapa 'dia' yang dimaksud oleh Sabito. Apakah seorang laki-laki atau perempuan? Tapi, insting Giyuu mengatakan kalau orang itu adalah perempuan. Kalau tidak, mana mungkin bisa membuat wajah Sabito merona.

"Ah, i-itu. Ano." Sabito jadi gelagapan dan salah tingkah. Wajahnya merona. Melihat raut itu, Giyuu tertawa keras.

"Sabito, Giyuu. Apa yang kalian lakukan disini?"

Seorang bocah perempuan mendatangi mereka. Bocah itu berambut hitam legam dengan manik mata aquamarine.

"Makomo."

"Sabito, Urokodaki-san mencarimu. Katanya mau menyuruhmu pergi ke desa." Ucap Makomo.

"Ba-baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu. S-sampai jumpa."

Sabito turun dari atas batu besar dan beranjak pergi. Makomo memandang heran pada siluet yang semakin lama semakin hilang.

"Ada apa dengannya?" Tanya Makomo sambil menunjuk kearah perginya Sabito.

Giyuu berbisik sebagai jawaban. "Dia sedang jatuh cinta."

Mereka berdua tersenyum dan terkekeh setelahnya.

••••••••••

Sabito berjalan sambil menggendong gerabah berisi bahan makanan. Urokodaki menyuruhnya ke desa untuk mengambil bahan makanan yang telah dipesan sebelumnya. Desa itu jaraknya lumayan jauh dari kediaman Urokodaki.

Bruk.

"Aduh."

Sabito mengaduh saat merasakan kepalanya berbenturan dengan benda yang keras. Ia mengelus-elus kepalanya yang terbentur.

"Ah. Kamu tidak apa-apa?" Tanya seseorang pada Sabito.

'Kono nioi.'

"Tidak apa-apa kok." Jawabnya.

'Suara ini.'

"Maaf ya." Orang itu berkata lagi.

Sentuhan di kepala Sabito terasa. Sentuhan yang sama dengan yang dulu pernah ia rasakan. Sangat nyaman sampai membuat Sabito terbuai.

'Rambutnya seperti tidak asing?'

Sabito mendongakkan kepala dan tebak siapa yang sekarang sedang berdiri di depannya?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc

***

Hei. Aku update lagi.

Kali ini spesial hari ulang tahunku, jadi updatenya cepat.

Selamat membaca :)

Kindness of a Demon ; Sabito x Reader [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang