bagian 2 | hadiah dari pak tua

1.7K 160 35
                                    

"Liabilitasmu itu hidup untuk aku. Jadi, jangan berpikiran untuk pergi ataupun mati"

***

"IMAH! KOK LO MASUK KAMAR PERAWAN, SIH?!" pekik Kirana begitu mendapati Keandra yang berbaring di ranjang kamar apartemennya.

Meskipun ini masih jam 07.00 pagi, tapi Keandra sudah memunculkan diri. Bahkan kini, ketika Kirana masuk dengan hentakan kaki, tak lantas membuatnya bangkit. Cowok itu masih bergelung dengan selimut Pororo milik Kirana.

"Bacot deh, Nduk. Gue cuma numpang tidur juga." Keandra acuh tak acuh dengan kelopaknya yang terpejam rapat.

Kirana melayangkan guling yang ada di tepi ranjang. Beberapa pukulan sukses untuk membuat Keandra jadi terduduk di depan meja rias, lengkap dengan wajah bantal yang mengaduh kesakitan.

"Gue tuh mau beres-beres. Lagian ini kamar udah gue rapiin, malah lo tidurin." Kirana bersungut-sungut sembari melipat selimut.

Hanya uap ngantuk yang menjadi respons Keandra. Kedatangannya kesini juga karena Bi Nanik meneleponnya di jam 05.00 pagi, mengatakan bahwa hari ini beliau dilarang datang dan bersih-bersih apartemen oleh nonanya; Kirana. Padahal gadis itu baru dua hari pulang dari rumah sakit. Sehingga mau tak mau, Keandra buru-buru mandi dan mengeluarkan motor dan sesegera mungkin mendatangi apartemen itu.

Kini tatapan Keandra beralih pada perlengkapan dandan yang ada di sana. Benda kotak di sudut meja begitu mencolok, apalagi dikemas rapi, lengkap dengan pita di atasnya. Keandra tertarik untuk mengambilnya.

"Dari cowok?" tanya Keandra sembari menarik pita tersebut hingga terlepas. "Cowok mana dah yang rela jadi secret admirer lo?"

Kirana cepat-cepat meletakkan guling di ranjang. Mendadak pompa jantungnya menjadi lebih cepat. Tanpa permisi, ia merebut kotak itu dari Keandra, kemudian menyembunyikannya di balik punggung.

"Dari si pak tua itu." Walaupun napasnya masih terengah-engah, Kirana tetap menyahutinya.

"Isinya?" lagi, bahkan Keandra berusaha merebutnya.

Kirana melengos, mencoba menjauhkan kotak itu dari jangkauan Keandra. Hingga langkah mundurnya itu menjadikannya terjengkang ke belakang, dan kotak itu terjatuh bersama isinya yang tercecer ke lantai. Untuk sesaat, Kirana lupa berdoa agar Tuhan menyelamatkannya.

Atmosfer dalam ruangan mendadak membeku. Keandra terduduk, memunguti satu per satu isi yang ada. "Cokelat? Jadi lo makan cokelat dari dia, bukan yang dikasih Naya kemaren?"

Tubuh Kirana mendadak membatu, tak berkutik sedikit pun. Hingga samar-samar ia melihat Keandra mengangguk, dan berujar datar. "Pantesan gue bingung lo makan cokelat dari mana. Kemaren kan udah gue buang, dan lo nggak mungkin beli cokelat sendiri."

Kelopak mata Kirana memejam, mencoba menetralisir gejolak emosi yang sama besarnya. Sayangnya, ia hanya bungkam dan kini ikut terduduk di lantai seperti Keandra, mengamati sisa-sisa cokelat yang tercecer.

"Gue kasih tahu cara mati paling gampang, Kirana. Lo punya apartemen dan lo bisa lompat dari sini. Lo mati, selesai. Nggak perlu makan cokelat, itu nggak mempan dan hasilnya cuma bikin repot manusia lain."

Keandra beranjak dari posisinya, lantas meletakkan beberapa cokelat yang sempat dipungutnya. "Jangan berpikir kalo masalah lo itu paling besar, Ki. Lo nggak bisa nyepelein masalah orang lain dan besar-besarin masalah sendiri. Lo nggak bisa bilang bahwa hidup lo paling menderita hanya karena nggak bisa makan coklat."

"Lo terlalu kufur untuk semua hal baik yang udah Tuhan kasih."

***

KIRANA menghentikan gerak jemarinya yang mengukir kata di papan tulis. Ia menilik jam di pergelangan tangan, karena tak sampai lima menit lagi bel istirahat akan berbunyi. Ia membalikkan badan, melempar tatapan pada seisi kelas. Manusia yang dicarinya masih belum memunculkan wujud sejak pagi tadi.

AKUNTAN(geng)SI [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang