bagian 36 | berhenti berotasi

543 77 17
                                    

"Aku ingin berhenti percaya, pada dunia yang hanya menjanjikan omong kosong belaka."

***

"KAMU APAKAN KEANDRA, KIRANA?!" Suara Bunda yang menarik-dorong bahu Kirana terdengar parau, lengkap dengan wajah berurai air mata.

Kirana bergeming. Tak tau harus berucap apa setelah masuknya Keandra ke IGD. Matanya tampak kosong. Ia baru bercerai, ingat?

"Bun, udah. Kirana juga masih syok!" Sang Ayah mendekat untuk memberi pelukan pada istrinya.

Kanaya mengusap bahu Kirana beberapa kali, "Kak Ki pasti capek, ya? Kita ke kantin aja dulu, yuk."

Anggukan Kirana terlihat pelan. Mulai mengikuti langkah Kanaya, Kirana tiba-tiba berhenti ketika merasakan pintu IGD terbuka. Kirana lekas membalikkan badan untuk mendengar keadaan Keandra.

"Sementara ini, kami akan memindahkan pasien ke ruang ICU. Ginjal bagian kanannya terkena peluru, oleh sebab itu, kami akan melakukan operasi secepatnya." Dokter menjelaskannya.

Bunda menutup mulutnya karena terkejut, "Apakah akan fatal jika hidup dengan satu ginjal?"

"Pasien masih tetap hidup dengan satu ginjal, tapi tidak akan berfungsi dengan sempurna. Karena setiap tubuh perlu ditopang oleh dua ginjal."

Sorot tajam Bunda berganti pada Kirana. Mencengkeram wajah gadis itu, sang Bunda berteriak histeris.

"KAMU HARUS MENGGANTI GINJAL ANAK SAYA!"

"BUNDA, UDAH!" Kanaya dan Ayahnya berusaha mencegah Bunda yang histeris.

"Malu dong dilihatin banyak orang!" Ayah ikut melerai.

Sang dokter berjalan melewati keempat orang itu, "Pasien akan segera dipindahkan ke ruang ICU."

Begitu dokter meninggalkan IGD, Keandra dikeluarkan beserta brangkarnya. Sekilas, tampak tak ada luka pada wajah cowok itu, hanya saja bibirnya begitu pucat dan mata terpejam rapat.

Kirana membuntuti Kanaya yang berdampingan dengan Bunda. Ayah berulang kali memberinya isyarat kata maaf. Kirana memaklumi, bahkan Kirana yang kelewat segan karena penyebab semua ini adalah dirinya.

Sampai di pintu ruang ICU, Bunda menghentikan langkahnya. Kanaya dan Ayah memilih menjauh. Memberi mereka ruang, mungkin adalah solusi satu-satunya.

"Kirana, saya ingin berbicara sebagai sesama wanita di sini." Bunda menarik napasnya lebih dalam, suaranya masih terdengar parau.

"Saya tau, pasti berat bagi kamu. Melihat hidup kamu yang diteror terus-terusan oleh Om kamu, saya terikut sedih. Saat Keandra meminta izin menikahi kamu, karena kamu tak lagi memiliki siapapun, serta kehidupan yang serba terancam, saya kalut sekaligus tersanjung. Ternyata putra saya bisa menjunjung tinggi derajat kaum ibunya."

Kirana mengangguk, "Itu pengorbanan yang sangat luar biasa, Bun. Terlepas dari apa yang terjadi pada kami setelah menikah."

Bunda menghapus jejak air matanya yang terus merebak. Berdehem pelan, ia melanjutkan.

"Keandra meyakinkan saya dan Ayahnya dengan begitu kuat. Ia begitu mencintai kamu. Sekalipun dirinya dipenuhi gengsi. Mengingat perjodohan kalian saat kecil, saya dan Ayahnya menyetujui untuk menikahkan kalian."

Bunda menatap netranya, "Tapi kami lupa, bahwa kalian terlampau kecil untuk menyikapi segala sesuatunya berdua. Kami lupa mendidik Keandra untuk saling terbuka, kami lupa memberitahu cara menyelesaikan permasalahan dalam keluarga tanpa membuat masalah baru."

"Maafin Kirana, Bun." Kirana menundukkan wajahnya lebih dalam.

"Saya tau, ini berat untuk kamu. Hidup berliku, dan sekarang harus menghadapi sebuah kehilangan. Tapi, kamu hebat karena bisa berdiri dengan kokoh sampai di titik ini." Bunda menjeda, tampak ragu untuk melanjutkan.

AKUNTAN(geng)SI [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang