4

51 8 2
                                    

Pagi menyambut, seiring alarm Auris yang bising seperti suara ayam.
Auris meraba-raba nakasnya, mencari dimana letak sumber bunyi.

Selesai mematikan alarmnya. Auris mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Kalau saja dirinya tidak ingat dengan rencananya kemarin, lebih baik kembali lelap di hari libur seperti ini.

Auris selesai membersihkan tubuhnya. Menggunakan kaos panjang berwarna pink muda dan celana kulot hitam.

Dirinya memoleskan lipbalm ke bibirnya menyapukan bedak tipis di wajahnya, terlihat natural dan tampak segar. Rambutnya dia biarkan tergerai dengan bandana ungu yang sudah menghiasi kepalanya.

"Gue mau pergi bentar." Sahut Auris, melewati Aksel yang sedang tiduran di sofa ruang tamu.

Aksel mengubah posisinya menjadi duduk, "mau kemana lo?."

"Kepo lo." Ketus Auris masih melangkahkan kakinya keluar.

"Nggak makan?."

Auris berhenti melangkah, menatap sebal kakak sepupunya " gue diet." Auris kembali melangkahkan kakinya.

Aksel hanya menggelengkan kepala heran, padahal baginya tubuh Auris sudah ideal.

Sebenarnya bagi sebagian orang tubuh Auris terlihat ideal. tapi karena dirinya adalah dancer di sekolahnya, hal ini memaksanya untuk menjaga tubuhnya.

Auris sudah malas mendengarkan omongan orang tentang tubuhnya yang nampak lebih berisi dari pada teman satu grupnya, padahal teman-teman Aurora nya tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.

Auris berjalan di sepanjang jalan panglipuran seperti yang dikatakan Jesi. Sudah lima belas menit berputar-putar tapi dirinya belum juga menemukan rumah nomor 12. Kakinya sudah lelah berjalan. Sejak berhenti di halte Bus tadi, dirinya belum sempat istirahat.

"Mas tau alamat ini?." Tanya Auris yang melihat sekumpulan orang yang tengah duduk di sebuah kedai.

Sekumpulan Orang tadi sedang memperhatikan alamat yang tertulis di selembar kertas pemberian Auris.

"Gue tau." Jawab suara berat dibelakangnya. Auris terlonjak kaget, sibuk mengusap-usap jantungnya yang mendadak tidak sehat.

Baru saja Auris senang tidak terkira. "Gue ga mau nganter." Cetus pria tadi.

Auris menatap orang di hadapannya dengan tatapan antara marah, kesal, dan yang lainnya. Sepertinya sepantaran dengan Auris, karena memang terlihat begitu.

"Oke gue mau kalo lo bayar." Lanjut pria dihadapan Auris, enggan ditatap lama-lama oleh cewek di hadapannya. Auris baru akan menghujat sifat plin plannya tapi enggan mengingat dia sangat membutuhkan bantuan untuk saat ini.

"Setuju." Auris riang menjawab.

Motor merah yang ditumpangi Auris membelah jalanan yang masih sepi, karena memang waktu yang masih pagi.

Hening tidak ada pembicaraan antara keduanya. Diboncengan Auris tengah sibuk dengan ponselnya. Akhirnya Auris membuka percapakan antara keduanya.
"Mas biasa ngojek?." Tanya Auris polos.

"Brisik. Gue bukan tukang ojek." Jawab pria itu. Sepertinya sedang menahan hawa untuk tidak mengumpat kepada perempuan yang duduk manis di boncengannya.

Auris yang seperti mengerti keadaan memilih diam, mungkin cowok di hadapannya sedang badmood atau semacamnya. Daripada dirinya ditelantarkan dipinggir jalan nantinya, mending kembali sibuk bermain ponsel di genggamannya.

"Disini?." Tanya Auris merasakan motor yang di tumpanginya berhenti bergerak.

"Hm ."

Auris menatap pria tadi penuh selidik, sepertinya wajahnya tidak asing bagi Auris.

"Gue temennya Aksel." Jawab Arkan yang seakan  mengetahu maksud tatapan menyelidik Auris.

"Pantes ." Auris memutar bola matanya malas.

"Nih ongkosnya, makasih." Memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan.

"Gue ga minta duit lo."

Auris menatap bingung "lah trus apa ?."

"Nanti lo juga tau." Jawab Arkan. Melajukan motor merahnya. Meninggalkan Auris yang kebingungan, tapi tidak mau berpikir panjang.

Auris menatap bangunan di hadapannya, nampak tidak seperti rumah karena halamannya yang sangat luas.
"Beneran disini?." Gumam auris.

Kakinya melangkah mendekat ke arah pagar yang menjulang tinggi menutupi pemandangan di dalam
rumah itu.

"Ni rumah gede amat." Auris mengedarkan pandangannya ke sekeliling memastikan keadaaan aman. Lalu mengintip dari celah pagar yang sedikit terbuka.

Di sana terdapat ramai orang. Entah seperti tempat latihan taekwondo atau karate atau bisa jadi silat, entahlah semacam itu.

"Jadi Dia ikutan kek gini. Keren juga ." Gumam Auris. Masih menatap Mike.

Laki laki itu tengah mengenakan celana training dan kaos tanpa lengan yang membuat Auris zina mata melihat lengan kokohnya.

Auris mengalihkan pandangannya. Sekarang, mengambil ponselnya dari tas, niatnya perlu mengabadikan momen ini.
Tapi baru saja menatap arah itu lagi, Mike sudah tidak ada di tempat sebelumnya.

"Ngapain lo ?." Tanya suara berat yang dikenali Auris. Membuatnya meringis sembari menutup mata. Membayangkan selama ini kegiatan stalkernya aman-aman saja, kenapa harus gagal saat ini.

Auris menggelengkan kepalanya masih menutup mata. "Gue tanya ngapain lo?."

Auris membuka matanya, terlihat Mike dihadapannya sedang mencekal tangannya.

"Gue... gue.... ."

"Gue apaan ." Sahut Mike cepat.

Auris kebingungan sampai pandangan jatuh kepada seorang perempuan yang tengah lari pagi di sebrang jalan. "Gue lari pagi."

"Yakin lo?, trus ngapain lo ngintip-ngintip. Lo kira gue ga tau apa ." Tatapan Mike semakin tajam mengarah ke gadis di hadapannya.

Laki-laki ini membuat Auris kehilangan kata-kata. Tatapan tajam Mike membuat Auris enggan untuk mengucapkan ocehan brisik seperti biasanya.

"Eh tu pacar lo." Auris menunjuk.

Mike heran tidak percaya, tapi juga mengikuti arah jari telunjuk Auris "Siapa?, orang gue nggak punya pacar ."

Kesempatan emas itu Auris gunakan untuk kabur. Kali ini tidak percuma Auris mendapatkan mendali lari jarak pendek selama di bangku Sekolah dasar.

Auris membelokkan tubuh nya ke gang sempit, bersembunyi dari kejaran Mike.
"Gue dapet masalah baru ." Gumamnya. Entah apa yang akan terjadi padanya besok senin di sekolah.

AMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang