10

22 6 0
                                    

"Lo rese ." Ketus Auris.

"Lo psikopat." Arkan berkata singkat.

Keduanya sudah duduk di sofa rumah Auris. Kejadian tadi memaksa Auris untuk bertanggung jawab atas perbuatan bodoh yang entah sudah berapa banyak.

"Namanya juga reflek ." Sungut gadis itu.

Arkan menarik sudut bibirnya "pantes si Mike ga mau sama lo ." Ucapnya membuat Auris semakin gemas menekan hidung pria itu.

Pria itu meringis "Sakit bego ." Membuat Auris gantian menertawakannya. Sepertinya menyiksa pria ini juga sebuah hiburan tersendiri.

sekarang ini Auris sedang berpikir. Ternyata bukan hanya sisi dingin saja yang dimiliki Arkan, melainkan juga jail dan menyebalkan.
Entah hanya perasaannya saja, tetapi Auris merasa Arkan sudah tidak sedingin saat pertama kali mereka bertemu.

"Lo kesurupan?." Tanya Arkan mendekatkan wajahnya ke arah Auris. Lelaki itu tangah menatap wajah melamun gadis itu.

Auris terkejut dengan tingkah tiba-tiba pria itu. Membuat tangannya melayang mengenai kepala tersangka.

"Psikopat ." Ringis Arkan, merasakan sakit yang menjalar di kepalanya.

"Gue ga sengaja. Lo sih ngagetin ." Tangan gadis itu terangkat mengusap-usap rambut Arkan.

Pria itu mengalihkan pandangannya "gue bisa bantu lo ." Cetusnya.

Gadis di sampingnya itu menyerngit heran "bantu apa. Mending lo bantu anak-anak kurang mampu deh. Gue emang sederhana tapi masi mampu ."

Arkan menghela napasnya. Ingin sekali memberikan bogem mentah jika dirinya sudah lupa Auris adalah seorang gadis "bukan gitu bego ."sungutnya kesal.

"Perasaan gue mulu yang bego ."

Arkan menolehkan kepalanya ke arah Auris "bagus lo sadar ." Auris sudah geram dengan pria itu. Entah apapun yang terlontat dari mulutnya kalau bukan kalimat hujatan ya kalimat umpatan untuknya.

"Bantuin apa maksud lo ?." Tanya Auris, lebih memilih menyemil biskuit di mejanya. Gadis itu heran mengingat dianya tidak merasa pernah membeli biskuit coklat itu, mungkin saja Aksel yang membelinya. Lumayan untuk camilan gratis, pikirnya.

"Gue bisa bantu lo deket sama Mike. Tapi ada bayarannya ."

Gadis itu sedang berpikir. Bukan masalah bantuan dari Arkan yang entah apa, melainkan sedang memikirkan kalimat yang lebih panjang dari biasanya dapat keluar dari mulut laknat pria itu.

Auris mengehela napas "bayaran apa. Gue ga ada duit ."

Pria di hadapannya sudah geram bukan kepalang dengan tingkah polos atau bodoh gadis itu. "Bukan duit. Lo ajarin gue main gitar ." Terang Arkan, dirinya memang sudah tau kemampuan bermain gitar Auris. Sebenarnya dirinya sudah ada di sekolah Auris sejak gadis itu mengambil gitar dan memainkannya, dari sana juga pria itu mengerti bahwa Auris menyukai Mike.

Auris tampak berpikir "gue setuju ." Sahutnya.
Arkan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Tanpa mereka sadari sepasang mata menatap keduanya dari kejauhan.

Sekarang ini Arkan sedang berdiri bersandar pada tembok di belakangnya. Balkon rumahnya memang tempat yang sangat membuatnya tenang, menghilangkan jenuh yang dirasakannya.
Sepulangnya dari rumah Auris sepertinya ada tantangan baru yang akan di terimanya. Tapi pria itu masa bodoh, sifatnya terlalu acuh.

Ruangan itu bernuansa cerah. Arkan memang sengaja memilih warna cerah untuk kamarnya, dirinya sangat menyukai warna-warna cerah.
Sekarang ini dirinya sedang mendengarkan lantunan musik dengan nada yang mendayu-dayu.

"mellow banget lo ." Cetus suara membuatnya menoleh.
Di belakangnya Aksel sedang berdiri sembari menatap dirnya, menarik sudut bibirnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Ck. Apa ?." Tanya Arkan meninju pelan lengan pria itu. Biasanya kalau temannya itu datang berarti ada maksud terselubung, atau sesuatu yang ingin di bicarakan.

"Lo pengecut ."

Arkan tertawa getir "gue tau."

"Gue tau lo suka Auris ." Ucap Aksel bingung. Dirinya tak sengaja memergoki perjanjian yang dibuat Arkan dengan Auris, dari sana Aksel di buat kesal dengan pria itu. Bukanya mempertahankan cinta nya malah dengan gamblang menyerahkan kepada orang lain.

Arkan tersenyum tipis "dan lo ga tau penyebabnya ."
Aksel termanggu. Dirinya memang tau segalanya, segala rahasia yang disimpan pria itu. Tapi kenapa kali ini pria itu tak tau alasan sahabatnya ini tidak mau berusaha.

Keduanya larut dalam lamunan lagi. Suasana langit malam yang mendung menambah suasa hening yang menyelimuti mereka.
Bintang hari ini tidak menampakkan keberadaannya, awan mendung itu membuat cahaya kerlap-kerlipnya tertutup.
Suara bising jalanan tidak lagi ramai. Memang benar begitu, mengingat waktu sudah menunjukkan tengah malam.

"Emang lo yakin bisa bantuin si Auris ?." Tanya Aksel, dirinya hanya bingung saja sebenarnya apa yang di pikirkan pria yang sedang berada di sampingnya itu.

Arkan mengalihkan pandangannya, sekarang menatap langit yang mulai menggelap "gampang ." Singkatnya. Sebenarnya malas mengungkit perkara ini.

Aksel mengambil jaketnya yang tadinya ia letakkan di kursi kamar Arkan. Dirinya melangkah menjauh dari pria yang masih setia menatap langit malam "terserah lo ." Ketusnya.

"Ati ati lo !."

Aksel membalikkan badannya. "Bacot ." Ucapnya singkat yang malah membuat Arkan semakin tertawa sepertinya Arkan juga tipe setan, ketika mendengar umpatan malah tertawa kegirangan.

AMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang