7

34 5 2
                                    

Rasa-rasanya ini terlalu berbeda
Benar, tidak seperti biasa
Perlahan
Terlebih pelan
Menjelma jadi nyaman

Auris menutup note booknya. Mengalihkan pandangan, mencoba menikmati udara sejuk yang perlahan menggerakkan helai rambut gadis itu.
Sejak mengenal Mike, hidupnya perlahan berubah, entah perubahan seperti apa. Terkadang gadis itu berpikir apakah semua ini benar tentang cinta, atau sekedar nyaman semata.

Gadis itu sedang duduk di taman. Beberapa anak-anak berlarian kesana-kemari. Auris sedikit heran, jarang sekali dirinya mengunjungi taman, tidak tertarik melihat anak kecil yang memang tidak disukainya.

"Kakak lagi ngapain?." membuat Auris menoleh mencari sumber suara.

Auris menaikkan alis nya bingung, sepertinya dirinya tidak mengenal anak laki-laki yang sekarang sedang duduk di sampingnya.

Anak itu tidak menghiraukan wajah bingung Auris, sekarang malah sibuk meraih note book yang ada di pangkuan gadis 17 tahun itu. "Kakak tulisannya bagus, abangku ga pinter nulis kaya kakak." Celotehnya memuji. Auris yang jarang berinteraksi dengan anak-anak nampak tidak tau harus merespon seperti apa. Dirinya hanya tersenyum.

Anak itu merengut "kakak dari tadi cuma senyum ." Gerutunya yang nampak lucu, Membuat Auris lagi-lagi tersenyum.

"Maaf maaf." Auris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Masih kaku, percakapan macam apa ini.

Anak itu masih merengut, memaksa Auris mencari akal untuk membuatnya tersenyum.

"Kakak belikan permen kapas mau?. Tanya gadis 17 tahun itu, menunjuk penjual permen kapas yang tak jauh dari tempat dirinya duduk sekarang.

Anak itu tersenyum, menampilkan gigi kelincinya "mau." Jawabnya menganggukkan kepala senang.

"Nama kamu siapa?." Tanya Auris mulai nyaman dengan pembicaraannya, sembari menggandeng lengan kecil di sampingnya.

"Noel."

Auris hanya mengangguk sebagai jawaban, Sembari membayar Permen kapas yang dibelinya.

Anak bernama Noel itu nampak senang menerima permen yang diberikan Auris kepadanya.
"Kamu kesini sendirian?." Tanya Auris yang keduanya sudah kembali duduk di kursi taman tadi.

Noel masih sibuk dengan permennya "sama abang ."

"Abangmu dimana?."

Noel berhenti mengunyah permennya, nampak berpikir, lalu menggeleng sebagai jawaban.

Auris nampak kebingungan, ingin membantu tapi juga tidak tahu cara nya. Sepertinya anak laki-laki di hadapannya terpisah dari keluarganya, pikir Auris pendek.

"Mau kakak bantu cari abangmu?."

Noel mengangguk sebagai jawaban. Selebihnya masih terfokus dengan permen di hadapannya. Auris sampai dibuat bingung, apakah anak ini tidak sadar jika dirinya hilang sekarang ini.

Lima belas menit mereka mencari. Sampai anak itu mengarahkan telunjuknya di bawah pohon "itu abang."

Auris tidak menjawab. Ikut mengarahkan pandangannya ke bawah pohon yang ditunjuk Noel. Tatapan gadis itu jatuh kepada seorang pria yang tengah mengenakan headphone sembari menutup matanya lelap. Auris sendiri sudah di buat kesal dengan perilaku tersangka yang menelantarkan Adiknya sendiri.

"Itu abangmu?." Tanya Auris yang nampak melihat wajah si tersangka. Tidak salah lagi itu Arkan, pantas saja Auris merasa tidak asing dengan wajah noel yang tampak mirip seseorang.

Noel mengangguk, sedangkan Auris masih kesal dengan pria yang wajahnya sangat tenang seperti tidak terjadi apapun.

"Noel. Kamu mau liat badut?." Bisik Auris yang membuat anak laki-laki tersebut mengangguk.

Auris menggeledah isi tasnya, nampak mencari barang yang dibutuhkannya saat ini, lalu memberikannya kepada Noel.

Noel menaikkan satu alisnya seakan meminta penjelasan, mengapa Auris memberikannya barang itu kepadanya.

Auris tersenyum "ini namanya lipstik. Noel suka gambar?."

"Suka."

Auris semakin melebarkan senyumnya "pakai ini buat gambar di wajah abangmu." Bisik Auris yang enggan membangunkan pria di hadapannya.

Noel mulai memoleskan lipstik seperti tutorial singkat yang diberikan Auris. Nampak menghayati setiap kali menggoreskan benda itu.

Auris tersenyum bangga dengan hasil kerja anak yang sekarang menjadi rekannya itu.

Mata gadis itu tertuju pada ponsel yang tergeletak di sampinnya. Buru-buru diambilnya dan membuka aplikasi kamera.

"Noel sini!." Perintah Auris yang mencoba mendekatkan tubuh kecil noel ke arahnya, dengan Arkan yang berada di tengah-tengah mereka berdua. Yang pastinya dengan wajah yang sudah tidak dapat dikondisikan, membuat Auris sedari tadi menahan tawanya. Sedikit melupakan sifat dingin pria di hadapannya.

Auris membenarkan rambutnya yang menutupi mata "Noel nanti kamu bangunin abangmu ya. Kakak mau pergi dulu."

Noel nampak cemberut, tidak terima. "Kapan-kapan kita ketemu lagi ." Ucap Auris yang seperti mengerti maksud tatapan sedih anak itu.

"Sini kita foto dulu yang banyak biar ga sedih." Auris berucap membawa tubuh mungil itu ke pangkuannya. Mengambil banyak foto dari ponsel pria yang masih sibuk berkutat dengan alam mimpinya.

"Kakak pulang dulu ya." Auris berpamitan sembari menyerahkan ponsel Arkan kepada adiknya.

Lalu dirinya melenggang keluar taman. Sedikit melompat-lompat seperti biasa, memang rumahnya tidak terlalu jauh dari taman itu, membuat dirinya memilih berjalan kaki. Lagipula dirinya tidak terlalu pandai menggunakan sepeda motor.

Entah apa yang membuatnya berbeda hari ini. Gadis itu masih tidak percaya dirinya bisa berinteraksi seperti itu kepada Noel, yang juga seorang anak-anak, sejenak melupakan fakta bahwa dirinya benci anak kecil.

"Lo dari mana ?." Tanya Aksel yang melihat kehadiran adiknya yang cengar cengir tidak sehat.

Auris tersenyum lebar "Taman." Jawabnya merentangkan kedua tangannya. Lalu kembali melompat-lompat sampai ke kamarnya. Aksel menatap adiknya dengan tatapan heran dan ngeri, mungkin dirinya butuh orang pintar saat ini.

Disisi lain. Arkan membanting pintu rumahnya kesal, meninggalkan noel yang masih tersenyum melihat ekspresi kakaknya. Pria itu pergi ke kamarnya, membasuh wajahnya. Pantas saja dirinya sedari tadi merasakan tatapan yang berbeda dari orang-orang yang dilewatinya.
Sebelum sampai rumah tak sengaja pantulan kaca sepion motornya membuat emosi pria itu memuncak. Bagaimana tidak ternyata hal ini menjadi alasan tatapan aneh yang ditujukan kepadanya, pantas saja.

"Ck. Sial." Gerutunya melihat galeri ponselnya yang penuh dengan foto gadis dengan senyum lebar di bibirnya.

AMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang