16

22 4 0
                                    

"Bentar gue ambilin bajunya Aksel ." Ucap Auris turun dari motor Arkan.

"Gue mau langsung balek ." pria itu menolak.

Auris berbalik menatapnya kesal "balek pala lo. Gue ga mau di salahin kalo lo sakit ." Arkan meratapi sifat gadis yang ucapannya terlalu sering tanpa di sensor.

"Tunggu bentar ." Perintah Auris, sebelumnya gadis itu sudah mengambil paksa kunci motor yang tadinya berada di pegangan Arkan.

"Hm ."

"Nih pake !." Perintah gadis itu lagi seraya menyerahkan kaos hitam dan celana pendek.
Laki-laki di hadapannya hanya manggut-manggut mengerti.

"Lo nggak mau nunjukin dimana kamar mandinya?." Tanya Arkan berlagak kebingungan di mana letak kamar mandi rumah Auris.

Auris menyipitkan matanya heran "bukannya lo udah tau ?."

"Emang ." Pria itu mulai melangkah meninggalkan gadis yang masih menatap punggungnya seakan ingin memakannya sesegera mungkin.

Arkan sudah duduk manis di ruang tamu, beberapa menit lalu Auris pergi ke dapur untuk membuat teh. pria 17 tahun itu dengan bosan membolak-balikkan buku paket Auris asal.

"Lo mau tau ga?." Tanya pria itu menyadari langkah kaki Auris yang mendekat ke arahnya. Dan benar Auris sudah kembali duduk, setelah meletakkan dua gelas teh dan camilan.

Auris menatapnya penuh selidik, teka-teki apa lagi yang pria itu maksud.

"Latihan soal kimia yang lo kerjain salah semua ." Cetus Arkan santai meminum tehnya, bertepatan dengan Auris yang tersedak teh buatannya.

Auris mengecek kembali pekerjaannya. Dirinya yang sama sekali tidak tau kimia memang hanya mengerjakan soal-soal itu asal tanpa tau benar atau salah.
Lebih baik ulangan biologi dengan materi semua bab di ujikan, meskipun tidak terlalu menonjol di pelajaran hitung menghitung, tapi gadis itu cukup ahli dengan hafalan, apalagi sistem kebut semalam adalah kebiasaannya.

"Dari mana lo tau ?." Tanya Auris penuh selidik. Alasannya karena pria di hadapannya sama sekali tidak ada tampang cerdas bahkan sedikit saja.

"Barusan gue baca materi di buku lo ." Terang Arkan masih sibuk dengan teh di hadapannya dan beberapa camilan kecil yang di sediakan Auris, tadinya pria itu berpikir apa yang merasuki gadis itu sehingga mau memberikan camilan dan membuatkan teh untuknya.

"Emang bisa langsung paham. Kok bisa, lo punya aji-ajian?, eh ajaran sesat ." Menyeloteh panjang, pria di hadapannya tidak peduli, malah asik memakan biskuit coklat yang nampak memanggilnya, dirinya memang sadar sejak dulu memiliki jiwa nyemil yang besar.

"Gue pernah belajar materi ini ." Singkatnya kembali meminum teh, lalu nyemil lagi, begitu terus mungkin sampai camilan di hadapannya habis tidak bersisa.

Auris menatap pria itu sedikit kagum "Bisa belajar juga lo ?."

"Lo harusnya cari mol dulu, rumusnya massa dibagi Mr. Ini materi dari kelas 10, lo keliatan banget ga pernah nyentuh paket Kimia ." Arkan tidak menggubris pertanyaan gadis itu. Dirinya malah merampas buku milik Auris lalu menerangkan letak kesalahannya, pastinya dengan kebiasaannya yang selalu menghujat gadis itu. Rasanya tidak mungkin Arkan akan berbicara lemah lembut kepada Auris yang sama nyolotnya dengannya.

Sudah lama Arkan mengajari materi dasar kimia kepada gadis itu. Sepertinya otak Auris sudah penat dengan rumus yang dipaksa masuk ke kepalanya.
Malam semakin larut sudah pukul setengah sepuluh, Aksel melangkahkan kakinya dengan cepat masuk ke kamar sedikit membanting pintu. Arkan dan Auris bertatapan heran, lagipula Auris baru sadar jika sedari tadi sejak dirinya pulang sekolah Aksel sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya.

"Kenapa dia ?." Tanya Arkan membuka percakapan baru dengan topik yang tidak lagi pelajaran kimia.

Auris menggeleng "mana gue tau, orang dari tadi di sini ."

Akan mengangguk, benar juga gadis itu dari tadi bersamanya "Pelajarin rumus yang gue kasih. Gue mau balek udah malem ." Arkan mengambil kunci motornya yang di letakkan gadis itu di atas rak sepatu.

Auris menoleh ke arah jam, memang sudah semakin malam "nih di pelajari, besok gue ke rumah lo gantian ." Ucap gadis itu, menyerahkan buku dengan judul "kunci dasar gitar", yang di selimuti cover berwarna biru laut.
Auris jadi teringat buku itu adalah pemberian dari Ayahnya kepada Auris ketika pertama kali dirinya tertarik dengan musik.

"Thank ." Ucap Arkan menerima buku itu, menarik sudutnya membentuk senyum tipis yang arang di perlihatkan pria yang genap berumur 17 tahun.

Auris membalas ucapan pria itu dengan anggukan kecil, lagipula dirinya juga terbantu dengan rumus yang sengaja di ringkaskan Arkan untuknya.
Padahal dari luarnya Arkan terlihat tidak peduli dengan sekolah, ternyata perkiraannya salah besar.
terbukti dari begitu mudahnya pria itu menyesaikan latihan soalnya, seperti menjentikkan jari.

Auris tengah tiduran di tempat tidurnya, earphone biru sudah bertengger di telinga gadis itu.
Auris membuka laman chat nya, dirinya hendak mengirim pesan ke nomor yang sudah lama ia dapatkan, hanya saja menunggu kapan waktu yang tepat untuk menghubungi nomor itu.

Disisi lain, pria yang tengah sibuk berkutat dengan buku di mejanya merasa sedikit terganggu dengan dering notifikasi benda persegi itu.

089*********: Save 😘

Mike: siapa

089*********: Auris imut😁

Mike: ga kenal

089*********: -_-

Auris menutup laman chatnya, dirinya memang baru berniat agar laki-laki itu menyimpan nomornya, sedangkan diam-diam Mike tersenyum dengan tingkah gadis yang selalu menjadi sasaran hujatan karena ber IQ rendah.
Sebetulnya pria itu juga tau bahwa gadis yang terlihat tidak peduli dengan pelajaran itu cukup cerdas dalam materi hafalan.

"Auris ." Panggil Aksel di ambang pintu kamar Auris. Suaranya terdengar melas.

Gadis itu menoleh "kenapa lo. Muka ditekuk kaya gitu?." Tanya Auris malah terdengar seperti hujatan.

"Gue putus sama kirana ." Jawab Aksel singkat, duduk di kursi belajar milik Auris. Gadis itu jadi mengerti mengapa kakaknya ini membanting pintu kamarnya tadi.

Auris terkejut untuk beberapa saat "untung deh. Gue ga suka juga sama tu cewek ." Sahutnya menjawab, malah semakin mengejek.

Aksel menatap Auris dengan tatapan ingin membunuh dan tidak bisa di definisikan, rasanya ingin menyumpal mulut gadis itu dengan bantal yang ada di tangannya.
Memang jika di biarkan mulut Adiknya tidak pernah tau diri.

Untung saudara
-Aksel Arlanando


AMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang