14. Firasat...

870 51 13
                                        

"Bunda sebenarnya mimpi buruk tentang Rara. Ada seseorang yang bakalan nyakitin Rara sama anak kalian." setelah mengucapkan itu Bunda menghela napasnya.

"Mimpi buruk? Mimpinya kayak gimana, Bun? Terus seseorangnya siapa?"

"Bunda ngeliat Rara la--"

"Bunda? Ayah?"

Ucapan Bunda terpotong karena kedatangan Rara yang terkejut melihat mertuanya ada di rumahnya ketika dirinya baru saja bangun tidur.

"Bunda sama Ayah udah lama disini?" tanya Rara yang sedang berjalan menuju ruang keluarga menghampiri suami serta Ayah dan Bunda.

Bunda yang bertemu Rara pun langsung memeluk serta mengusap-ngusap punggung Rara. Dan Rara pun membalas pelukan Bundanya meskipun sedikit terkejut. Rara pun bertanya-tanya ke suaminya lewat pandangan mata.

"Bunda kangen sama kamu." jawab Adli tanpa suara yang hanya dibalas anggukkan oleh Rara.

"Loh teh Rara udah bangun?? Ayah gak ikut pelukan juga?" suara Indri kini memecah keheningan yang ada di ruang keluarga. Ayah yang ditanya pun hanya bisa terseyum dan menerima kopi dari Andra.

"Kenapa emang? Mau ikutan pelukan sama teh Rara?" sahut Andra sambil mendudukkan dirinya ke tempat semula dan tak lupa melanjutkan bermain gamenya.

"Apaan sih gajelas banget, deh."

"Hmmmm aja."

"Dasar gak jelas."

"Biarin yang penting ganteng."

Indri hanya mendelik mendengar jawaban ke PDan dari kakak 3 menitnya itu.

"Teh Rara udah ke rumah sakit?? Gimana keadaan ponakan aku??" tanya Indri dengan semangat karena sebentar lagi ia memiliki keponakan yang pastinya lucu, dan imut. Ah, membayangkan dirinya akan melihat pipi gembul ponakannya membuat bibirnya terseyum lebar.

"Alhamdulillah udah kok, Ri. Ponakan kamu sehat kok, kan Abang yang jagain." bukan suara Rara yang menjawab melainkan suara Adli.

"Kamu udah ke rumah sakit? Gimana? Cucu Bunda baik-baik aja kan?" tanya Bunda bertubi-tubi setelah pelukan mereka terlepas. Seakan tak mendengar percakapan Adli dan Indri, Bunda tetap menanyakan pada menantunya.

"Alhamdulillah, Dedek, cehat kok. Dedek juga baik gak nakal." jawab Rara dengan suara yang dibuat seperti anak kecil sambil duduk di samping Bunda, saat melihat Bunda menepuk sisi sofa yang di sebelahnya.

"Alhamdulillah ya sayang. Adek sama Uminya harus sehat terus ya."

"Ciap nenek. Nenek gak ucah kawatir ya. Ada Abi kok, Abi pasci bica jagain Adek cama Umi."

"Iya cucunya nenek. Kalau Abi gak mau jagain menantu sama cucu Bunda. Bunda suruh Umi tinggal di rumah Bunda." Ancam Bunda sambil mengelus perut buncit Rara.

Uhuk

Adli yang sedang memperhatikan pun tiba-tiba tersedak, untung saja dirinya tidak sedang makan atau minum.

"Lah kok jadi Adli sih, Bun." ujar Adli yang sedikit tak terima dengan perkataan Bundanya. Bagaimana bisa ia berpisah rumah dengan istri juga anaknya. Jangankan berpisah rumah, pisah kamar pun Adli tak mau dan tak sanggup.

Entah kenapa setelah mereka menikah, Adli selalu jatuh cinta pada Rara setiap harinya dan itu membuat ia tak bisa jauh-jauh dari istrinya. Maklum pengantin baru.

"Pokoknya omongan Bunda itu gak main-main." peringat Bundanya. 'Ini siapa sih yang anak Bunda?' batin Adli bingung.

Ayah dan Indri pun hanya bisa terkekeh kecil melihat Adli yang sepertinya pasrah dengan omongan Bunda. Sedangkan Andra jangan ditanya lagi dia tetap fokus dengan game di ponselnya.

Jalan Takdirku [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang