STT : 1. CEO

63 22 5
                                    

Seorang laki-laki berparas tampan itu sedari tadi mengetukkan jarinya di meja. Kerutan di dahinya semakin kentara. Laki-laki itu tak ingin salah mengambil keputusan.

Konsentrasinya terbuyar begitu saja ketika sekretarisnya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Parahnya, si sekertaris justru terpeleset sehingga berkas-berkas yang dibawanya jatuh berserakan.

"Aduh," ringis Raras. Gadis itu mengelus pantatnya yang terasa nyeri setelah mencium lantai. Sang CEO yang melihat adegan itu pun menggelengkan kepalanya.

Azab masuk ruangan gue gak ngetuk pintu dulu, batinnya.

Raras sudah kembali berdiri dan meletakkan berkas-berkas di meja sang CEO setelah mengucap 'maaf'.

"Jadi bagaimana, Pak? Apakah Bapak menerima tawaran tersebut?" tanya Raras.

Sang CEO memijat pelipisnya. Kepalanya terasa pening karena terlalu serius berpikir. Nasibnya menjadi sosok overthinking sangat tidak enak.

"Lebih baik kamu segera ke ruanganmu, sekarang!" ucapnya dingin. Ia tidak ingin menjawab itu sekarang. Ia masih butuh waktu untuk memikirkan jawabannya.

Mengetahui perubahan sikap atasannya Raras meneguk saliva dan tersenyum kikuk. "Ba ... baik Pak. Saya permisi," ucap Raras lalu kembali. Meski tampak pasrah, jujur saja, Raras kini tengah merutuki bosnya dalam hati.

Evan mengusap kepalanya pelan. "Argh ... kepala gue pusing banget!" Evan beranjak dari kursinya namun langkahnya terhenti ketika benda pipih di sakunya berdering.

Evan mengambil benda pipih kesayangannya itu dan melihat panggilan tertera.

Papa Gartend is calling ...

Evan mengacak rambutnya kasar, "Iya, Pa? Ada apa?"

"Evan kamu ini kenapa? Kenapa belum ada keputusan sama sekali untuk tawaran Pak Arga? ini yang buat Papa enggak bisa percaya sama kamu! Bikin keputusan aja butuh waktu lama! Ingat ya, Evan! Kalau sampai nanti siang kamu belum kasih keputusan juga, mending kamu mundur biar adik kamu yang mengantikan posisimu! Ingat itu!"

Ini yang Evan benci. Evan terdiam, tak tau harus merespon apa.

"Evan! Kamu denger Papa, kan?" Akhirnya Evan pun berdehem.

"Kamu ini di ajak ngomong sama orang tua! Ham hem ham hem aja! Mau jadi anak durhaka kamu, hah?!"

Tuhkan salah lagi. Evan menarik napasnya panjang. "Iya, Pa."

Tut ...

Evan mematikan secara sepihak. Ia lelah sangat lelah. Kepalanya terasa begitu nyeri di tambah ucapan sang Papa yang terus menggema di telinganya. Evan sangat mengerti mengapa sang Papa bersikap keras padanya dan lebih memanjakan adiknya.

Mama Evan kangen, ucapnya dalam hati.

"Stop Van stop lo kuat! Lo enggak perlu down gini cuma karena ucapan Papa," ucapnya menyemangati diri sendiri.

Evan meraih telepon kantor di mejanya dan mengetik kan beberapa nomor.

Panggilan telah terhubung.

"Nanti saya mau keluar, ada urusan. Kalau ada yang mencari saya kamu suruh pulang aja."

"Loh kenapa, Pak?" tanya seseorang di seberang sana.

"Bisa kamu enggak usah banyak tanya?"

"E ... eh maaf, Pak, saya tadi 'kan cum--"

Tut ...

Panggilan Evan matikan secara sepihak. Sepertinya sekertarisnya ini tak akan berhenti mengoceh. Evan pun berniat mendatangi Raras di ruangannya.

SEBUAH TAKDIR TUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang