Bab 13

9.4K 469 2
                                    

                Dua cangkir teh yang masih mengepul beserta setoples keripik kentang tersaji sempurna di depan kami. Salah satu cangkir itu sudah berkurang isinya, beberapa teguk sudah kusesap untuk membantuku menghilangkan beku yang membelenggu tubuhku. Dan kini sedikit hangat, meskipun di luar hujan masih saja terus mencurahkan isinya.

Kami berdua tiduran di kursi. saling memeluk dengan rambut masih setengah basah. Alexander masih berusaha mengeringkannya dengan handuk yang sejak tadi di pegangnya. Sedangkan aku? Aku tiduran di dadanya, sambil menciumi harum hoodie yangkupakai sekarang. Hoodie miliknya yang berubah menjadi daster, namun terasa nyaman.

"Lo tahu, ini baru pertama bagi gue." Aku mendongak, menatap matanya.

Ia menghentikan pekerjaannya, lantas menatapku.

"Berpelukan seperti ini?" tanyanya.

"Ya pelukan ini, dan ciuman itu." aku memelankan suaraku. Jika dibandingkan dengannya aku jauh sekali. Dia profesional, dan aku amatir.

Aku melihatnya tertawa lantas mengulurkan tangannya meraih toples keripik di atas meja.

"Gue minta maaf...." katanya kemudian, mengambil sepotong kecil lalu memasukkannya ke dalam mulutku. "Gue enggak bermaksud mengambil ciuman pertama lo dengan cara begitu."

Aku tidak menjawab. sejujurnya selama ini tak pernah terpikirkan di benakku jika akan jatuh cinta pada Alexander, mengingat bagaimana kami berinteraksi sebelum ini. aku sangat membencinya, mungkin bahkan sampai di ubun-ubun. Namun ternyata benar kata orang, bahwa cinta dan benci bedanya tipis. Besar cintamu akan sama besarnya dengan bencimu.

"Apa lo menyesal?" tanyanya kemudian.

Aku menatap matanya. Ingin meyakinkan sesuatu, bahwa apa yangaku rasakan sekarang adalah perasaan yang tulus. Aku ingin menyakinkan juga bahwa dialah cinta pertamaku dengan banyak kejutan.

"No!" gelengku cepat. "Mungkin jika lo tidak menjelaskan semuanya malam ini, gue akan menyesal dan membenci lo seumur hidup. Tapi sepertinya sekarang gue mengerti."

Dia tersenyum, menarik tubuhku dan menjatuhkannya perlahan di lengan sofa lalu mengecup bibirku. Aku mengerang lirih saat lidah kami mulai bertemu.Untukku yang baru pertama kali, ciuman dan sentuhan ini sanggup membuat persendianku luruh dalam sekejap dan akal sehat yang sempat berada di otakku mengikis tiba-tiba dan perlahan hilang. Apalagi saat jemari kokohnya menyingkap kaosku dan menyusuri naik pahaku. Aku tak bisa menyembunyikan degupku yang semakin tak terkendali.

"Ini apa...?" Tiba-tiba saja dia menjeda ciuman kami saat tangannya menyentuh sesuatu di pahaku.

"Bekas luka." Jawabku tak antusias. aku tak suka keintiman kami diinterupsi begitu saja hanya karena bekas luka itu.

Dia menggeser tubuhnya, dan tampaknya kini lebih tertarik dengan bekas luka di paha kiriku daripada ciuman panas kami.

"Kenapa bisa ada di sini?" ia menyingkap kaosku. Dan terlihat bekas luka memanjang sekitar tiga centimeter. Sudah tidak sakit sih, hanya saja bekasnya sedikit terasa geli ketika tersentuh.

"Gue lupa dengan penyebabnya, karena waktu itu gue masih kecil. yang jelas gue mendapatkan luka ini di rumah, jatuh dari tangga." Terangku. Aku selalu berusaha mengingat-ingat penyebab luka ini, namun selalu sia-sia. Dan yang kujumpai hanya rasa sakit di kepalaku. Kata mama, selain kakiku yang terluka, kepalaku juga sedikit cedera karena benturan. Mungkin karena itu, aku jadi tak mengingat apapun sampai sekarang.

iL Legame (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang