Bab 16

7.6K 394 10
                                    

                Pernah ada yang bilang bahwa jika kamu mendapatkan cinta dari seseorang, jangan pernah sekalipun melepaskan persahabatanmu. Karena cinta adalah semangat, sedangkan sahabat adalah penguat. Begitulah kira-kira.

Aku bukan tipe cewek yang membiarkan semua masalah berlarut-larut, dan aku juga bukan tipe cewek yang dengan mudahnya memutuskan persahabatanku dengan seseorang apalagi aku tak semudah itu bisa mebuka diri untuk orang lain. Bahkan untuk mengakui seseorang sebagai sahabat, dan merasa nyaman untuk bercerita pada orang lain, aku membutuhkan waktu yang lama. Tapi selain bersama Alexander tentunya. Baru kali ini aku merasa nyaman dengan seseorang dan pada akhirnya jatuh cinta.

Alexander menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah kos berlantai tiga berwarna dominan abu-abu. Di depannya ada tulisan 'terima kos. Hubungi. 081xxx'.

Sore ini aku bertekad ingin menemui Tere dan meminta maaf. Sudah satu minggu kami tak bertegur sapa, lebih tepatnya Tere yang tak mau menyapaku. Dan aku pikir, daripada persahabatku rusak karena kesalahpahaman dengan cowok yang aku pilih untuk jadi pacarku, lebih baik aku segera menemuinya dan mengajaknya berdamai.

"Apa aku perlu ikut masuk?" Alexander membuka suara saat aku membuka pintumobil. Dia menatapku, dengan pandangan iba sekaligus tidak tega.

Aku menggeleng. Bukankah tadi aku sudah mengatakan padanya untuk meninggalkanku?

"Tidak perlu." Tolakku. Aku ingin berbicara dengan santai dengan Tere, tanpa Alexander.

"Kamu pulang aja. Biar aku naik taxi nanti."

Dia menggeleng.

"Aku tunggu."

"Di sini?" tanyaku sanksi. "Tapi aku tidak tau seberapa lama aku akan bersama Tere. Aku takut kalau kamu bo—"

"Bosan?" potongnya cepat.

Aku mengangguk.

"Aku tunggu di cafe itu. Bagaimana?" ia menunjuk sebuah cafe kecil di samping kos Tere. Tidak bergitu ramai, namun aku lihat jika itu cukup nyaman.

Aku mengangguk.

"Baiklah." Pungkasku. "Tapi jika aku terlalu lama dan kamu bosan menungguku, kamu bisa pergi."

"Aku tidak akan pernah bosan menunggumu Alisha." Jawabnya tegas mengelus pipiku.

Aku tertawa kecil, disertai pipiku yang memerah.

"Baiklah, aku tunggu di sana. Selesaikan urusanmu dengan sehabatmu. Tenang saja, aku tidak akan pergi."

Aku mengangguk. Setelah berpelukan beberapa detik, aku akhirnya turun dari mobil Alexander.

*****

Aku bisa membaca raut wajah itu. antara terkejut, bahagia, dan kesal bercampur menjadi satu manakala ia melihatku berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Aku tahu jika dia tak akan pernah menyangka dengan kedatanganku, buktinya sejak tadi Tere tak bisa mengatupkan bibirnya karena terkejut.

"Siapa sayang...?" Glen, pacar Tere muncul dari balik pintu. cowok berkulit putih, berambut sedikit gondrong dengan beberapa tato di lengannya itu melongokkan kepala, lantas tersenyum kecil saat melihat aku yangberada di depan pintu. dia tak memakai baju, hanya mengenakan celana jeans selutut berwarna hitam.

"Hai...." sapaku.

"Hai juga...." sapanya, meraih sebuah kaos yang tersamping di kursi lantas menemuiku. "Kalau kalian pengen bicara, aku tinggal dulu." Rupanya Glen sudah tahu apa masalah kami.

iL Legame (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang