"Baiklah... perkuliahan kita akhiri sampai di sini." Profesor Aggia menyudahi perkuliahan hari ini. wanita setengah baya yang mengenakan hijab itu mengambil bukunya di meja kemudian berjalan meninggalkan kelas yang mulai riuh.
Aku menarik nafas, melirik Tere yang duduk beberapa bangku di depanku. Semenjak kejadian waktu itu, ia tak pernah menghubungiku, tak pernah membalas pesanku dan bahkan dia tak ingin duduk di sebelahku, dia juga mengacuhkanku saat kami bertemu di depan loker tadi pagi. Gadis berambut sebahu itu sedang pura-pura asyik ngobrol dengan teman sekelas kami, dan tidak menyapaku.
Mungkin kalimatku tempo hari benar-benar menyisakan luka di hatinya. Maka dari itu,hari ini aku berinisiatif mengajaknya ngopi di kantin. Siapa tau dia hanya sedang menunggu itikad baikku untuk mengajaknya ngobrol duluan.
Aku berdehem, mengambil nafas panjang saat ia berjalan menuju pintu keluar yang berada tepat di belakangku. Aku sangat berharap dia menoleh padaku, namun apa yang kuperoleh? Saat mulutku baru saja hendak terbuka, ia bergegas pergi tanpa menatapku.
*****
Kopi yang kuteguk tinggal bersisa separuh saat Abian datang menemuiku.Tak ada senyum seperti biasanya atau kalimat 'hai' yang sering diucapkannya ketika menemuiku. Wajahnya terlihat masam, ditekuk-tekuk malah, dan itu membuatku penasaran.
"Ada apa dengan mood lo hari ini?" tanyaku tanpa basa-basi. Mengenalnya sejak kecil cukup untuk membuatku sadar dengan cepat akan mood-nya yang memburuk di siang yang panas ini. meskipun suhu pendingin ruangan di cafe cukup menyejukkan, namun sekiranya tak berlaku untuk dia.
"Kemarin gue ke kos lo Sha!" katanya cepat setelah dia duduk berseberangan denganku. Matanya menatapku dengan tajam, seperti seorang ibu yang hendak menginterogasi anak nakalnya. "Dan ibu kos bilang, lo sering nggak pulang. Bahkan lo pernah keluar kos saat jam malam. Juga....ada seorang cowok yang masuk ke dalam kos, padahal jelas-jelas tertulis disana kalau cowok di larang masuk!"
Aku menarik nafas pelan. Mengerti sekarang jika ibu kosku mulai mengusik privasiku. Apa urusannya jika aku tak pernah tidur di kos, dan apa alasan dia sebegitu protektifnya padaku dan melaporkan semua yang kulakukan pada Abian. Bukankah yang terpenting adalah aku tak pernah telat bayar kos? Kenapa dia begitu mengusik kehidupan pribadiku?
"Sha, jelasin sama gue. Apa yang merubah lo jadi kayak begini?" Abian kembali menatapku. Kali ini sedikit berbeda. Manik mata berwarna cokelat itu tegas menyiratkan kekecewaan yang mendalam padaku. Atas alasan apa? Apa hanya karena aku tak pernah pulang ke kos dan memilih menginap di kos Alexander menjadi penyebab utama Abian sekecewa itu?
Aku menarik nafas, melirik espresso-ku sekilas sebelum kembali menatap matanya.
"Gue punya cowok sekarang Bi." Jawabku lugas.
"jadi maksud lo?"dia mengusap wajahnya yang tampak frustasi. "Jadi maksud lo, selama ini lo tidur di kos cowok lo Sha?!" Suaranya agak meninggi, cukup membuat beberapa pasang mata menoleh pada kami, meskipun aku yakin mereka tak mengetahui kalimat yang Abian ucapkan.
Aku mengangguk pelan.
"I'm so sorry....dan gue rasa siapapun orangnya, nggak berhak mengusik gue dengan cara seperti ini. apalagi ibu kos gue. Apa hak dia mengatakan semua itu sama lo?!" Sengitku membela diri.
Abian membuang nafas, lalu menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi dengan wajah nanar menatapku.
"Sejak kapan gue jadi orang lain di mata lo Sha? Ibu kos melakukan hal itu karena niat baik. Beliau tahu bahwa lo adalah tanggung jawab gue Sha. Jadi nggak ada salahnya bukan dia melaporkan apa yang lo lakuin di luar sana sama gue?"
Aku berdecak. tak sependapat. Aku pikir Abian terlalu berlebihan dalam menerima kalimat yang dikatakan mama padanya. 'tolong jagain Alisha di sana ya Abian.' Dan mungkin bagi Abian, kalimat mama itu menyiratkan bahwa Abian harus menjadi orang tua keduaku di sini, dan bahkan berhak melarangku melakukan sesuatu yang tak disukainya.
"Abian......" Suaraku melunak. Akau tak mau bertengkar lagi dengan sahabatku. Cukup dengan Tere, tapi tidak dengan Abian.
"Sha.....gue cuma takut kalau dia bakalan nyakitin lo."
"Alexander maksud lo?"
Dia mengangguk.
"Tidak akan. Tenang saja." Aku mencoba menghiburnya. Seulas senyum mengiasi bibirku. "Dia cowok baik. Nggak seperti yang lo atau Tere pikir." Namun aku yakin jika Abian tak akan percaya dengan apa yang kukatakan.
"Tapi Sha..."
"Bi!" kataku tegas. "Please, lo boleh jagain gue. Tapi gue mohon, ini hidup gue dan lo jangan pernah sekalipun mencampuri urusan pribadi gue. Karena gue nggak nyaman." Aku menatapnya penuh harap. Berharap dia mengerti dengan keputusanku.
"Gue bisa jaga diri Bi, dan tenang dia nggak akan macem-macem sama gue." Jelasku sekali lagi. "Jadi tolong hilangkan pikiran negatif itu."
Abian tak menjawab, dia hanya mengangguk kecil. meskipun aku tahu jika tak ada sedikitpun ketulusan dalam anggukan itu.
"Alisha!" Sebuah suara bariton membuatku dan Abian menoleh bersamaan.
Umur panjang! Cowok itu datang saat kami berdua tengah membicarakannya.
Aku berdiri, menyambutnya dengan pelukan kecil. kulirik Abian yang tak bergerak dari posisinya dan membuang pandang dari kami dengan tatapan datar.
"Kenalin, sahabat aku. Namanya Abian." Aku menoleh pada Alexander dan Abian bersamaan. Kulihat Abian berdiri dan menatap Alexander dengan tajam. Sedangkan Alexander tampak lebih santai, ia menyunggingkan senyumnya sambil mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman.
"Bisa bicara sebentar." Alih-alih menerima uluran tangan itu, Abian justru mengatakan hal lain. Dengan tegas tentunya, dan cukup membuatku menelan saliva dengan susah payah. Ini bukan Abian, tak biasanya cowok itu berlaku seimpulsif itu di depan orang lain.
"Course!" Alexander menurunkan tangannya yang tak mendapat sambutan.
"Ikut gue." Abian melirikku, lantas menjauhiku, diikuti Alexander yang berjalan dengan santai di belakangnya.
Sedangkan aku hanya bisa menunggu di mejaku, dengan mata yang sama sekali tak bisa lepas dari kedua cowok itu. Mereka berdiri di sudut ruangan, saling melempar percakapan dengan wajah yang sama sekali tidak terlihat santai. Sesekali Abian menatap Alexander dengan tegas namun sesekali dia juga membuang muka dengan kesal.
Setelah berbicara sekitar lima menit, Abian mendekatiku lantas mengambil tasnya.
"Hati-hati ya. gue kuliah dulu. Kalau ada apa-apa jangan lupa telepon." Katanya dan langsung meninggalkanku, sama sekali tak peduli saat ku panggil namanya beberapa kali.
"Oke. Kemana kita hari ini?" Alexander yang datang lebih lambat menyadarkan lamunanku.
"Eh...em...." aku menggaruk tengukukku, belum seratus persen mengalihkan fokusku pada Abian yang semakin menjauh.
"Abian ngomong apa?" tanyaku kemudian.
Alexander hanya mengangkat bahu.
"Mungkin dia cemburu." Jawabnya asal, meraih tasku sambil lalu.
Aku mengerang sebal, mengikutinya di belakang dengan penasaran.
"Please tell me!" Aku menggoyang-goyangkan hoodie hitamnya. "Apa yang dia katakan padamu!"
Alexander menghentikan langkahnya tepat di depan pintu cafe, kemudian menatapku dengan intens.
"Nothing!" katanya. "Hanya pembicaraan antar lelaki." Jawabnya, dan lagi-lagi penuh ambigu.
Aku menghela nafas pasrah. Sekiranya meskipun aku memaksa, Alexander tak akan semudah itu memberitahuku apa yang dia dan Abian perbincangkan tadi.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
iL Legame (tamat)
RomancePintu di depanku berderit perlahan, bersamaan dengan daun pintunya yang membuka sedikit demi sedikit. Menyembulkan sosok cowok bertubuh tinggi berkulit kuning langsat, berhidung mancung, bermata tajam serta beralis lebat. Sebelah kiri telinga cowok...