Bab 26

5.2K 243 0
                                    

Mobil itu membelah jalanan tol arah Bandung dengan kecepatan tinggi. Meskipun aku tahu kita akan ke Bandung, namun aku yakin dia tak akan mengajakku untuk pulang ke rumah. mau ngapain juga pulang ke rumah, ngelamar?!

Tidak mungkin.

Sesekali kulirik Alexander yang fokus dengan kemudinya, sedangkan aku asyik dengan novel yang ku baca, terkadang mulutku menirukan nada dari penyanyi di music player mobil ini atau terkadang melempar pandangan keluar. Kearah semburat langit orange yangmulai redup, atau pada beberapa domba di padang yang dihalau petani untuk segera pulang karena senja sebentar lagi datang.

Perasaanku damai. Seakan semua hal yang membelenggu di hatiku lenyap begitu saja melihat semua pemandangan ini. padahal biasanya pulang Bandung tak akan semenyenangkan ini. apa karena sekarang aku sedangbersama dia, seseorang yang kusayangi?

*****

Kini kami berdua berada di atas bukit yang landai dengan semilir angin senja yang lembut membelai pucuk-pucuk bunga ilalang kering. Suasana di sekitar kami sepi, hanya saja beberapa meter di belakang kami berderet warung-warung pinggir jalan yang semakin ramai menginjak malam. Di dominasi anak muda yang tentu saja ingin menghabiskan malam indah mereka menatap ke kaki bukit, dimana lampu-lampu kota Bandung temaram indah dari segala penjuru.

"Tau dari mana tempat ini?" tanyaku, menoleh padanya yang duduk tenang di sampingku—di atas kap mobil.

"Dulu sering kesini kalau pikiran sedang pusing." Jawabnya tak mengalihkan pandang padaku.

"Sendirian?"

Kali ini dia menoleh.

"He'em...." Angguknya.

"Kenapa nggak ngajak aku?" Aku tersenyum kecil.

Alexander tertawa, meremas jemariku.

"Kamu masih berada di bawah sana."ia menunjuk ke bawah. Ke arah lampu-lampu berkelip indah. "Di salah satu rumah yang memiliki cahaya di bawah sana."

"Emmm....." aku berfikir sesaat, menatap lampu-lampu itu dengan seksama.

"Mungkin aku berada di sana!" kataku, menunjuk pada sinar lampu paling terang. "Mungkin itu adalah rumahku." Jawabku asal. Padahal aku tidak tahu sumber cahaya itu. aku hanya tertarik dengan kerlipnya yang berkilauan dan paling terang.

Alexander tertawa.

"Ngawur ya?"

aku ikut tertawa.

"Kok tau?"

"Hanya Tuhan yang tau cahaya itu milik siapa!"

Aku mengangguk pelan, menumpukan kedua telapak tanganku di samping belakang tubuhku. Memejamkan mata dan merasakan angin lembut yang membelai wajahku.

"Sha....." Alexander menggumam lembut menyebut namaku.

"Hmm..."jawabku tanpa membuka mata.

"Aku mencintaimu."

Deg.

Selalu saja ungkapan cinta darinya membuat jantungku mendadak berdetak cepat. padahal dia sering mengatakan bahwa dia mencintaiku. namun begitulah, ungkapan cintanya selalu membuat perasaanku padanya kian bertambah.

Tergesa aku membuka mata, dan mendapati matanya yang menatapku dengan serius.

"Ngomong apa?" aku berusaha menyembunyikan kegugupanku.

iL Legame (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang