Bab 19

6.6K 385 1
                                    

                Alexander menghentikan motornya tepat di depan sebuah rumah sakit. Masih tanpa suara, ia memarkir motornya di bawah sebuah pohon besar lalu membimbingku turun.

Aku tak berkata apa-apa, hanya saja pikiranku kian kesana-kemari, apalagi dia membawaku ke sebuah rumah sakit khusus untuk rehabilitasi mental.

"Ayo...." dia meraih tanganku, berjalan dua langkah di depanku dengan jemari kami yang salingbertautan.

Aku meliriknya diam-diam. Seperti biasa, wajahnya tampak tenang. Hal itulah yangmembuatku merasa bersalah. Apakah aku terlalu berlebihan dengan memintanya untuk menjelaskan semua tentang dirinya padaku?

Alexander masih belum bersuara, sampai kami tiba di dalam rumah sakit dan masuk salah satu bangsal. Beberapa perawat tiba-tibamenyambutnya dengan ramah, berarti mereka memang sudah dekat dan Alexander sering datang kesini.

"Mas Alex kok kesini lagi?" sapa salah seorang suster muda dengan rambut tergelung. Dia melirikku sekilas, namun kembali mengacuhkanku.

Aku lihat Alexander hanya tersenyum.

"Iya. Bisa masuk sekarang?" ia menujuk sebuah pintu kamar pasien paling ujung yang tertutup rapat.

Suster itu mengangguk.

"Silakan." Jawabnya. "Baru selesai saya mandikan tadi."

Alexander hanya mengangguk, mempercepat jalannya dan akupun mengikuti langkah besar-besarnya tersebut. Semakin mendekati kamar yang dia maksud, aku merasakan jika dia semakin kuat meremas tanganku. Mungkin dia butuh sebuah kekuatan, agar aku bisa menerimanya setelah ia memperlihatkan sebuah fakta dibalik pintu tersebut.

***

Pintu yangterbuat dari papan berwarna cokelat itu berderit pelan, bau dari pewangi loundry serta pengharum ruangan menyengat hidungku saat pertama kali aku bernafas setelah Alexander membuka pintu.

Mataku nyalang mengitari sekeliling, sebuah ruangan tak terlalu lebar namun bersih dan rapi. Di atas nakas terdapat sebuket bunga mawar merah yang kelihatan masih segar. Begitu juga di sebuah meja kaca kecil di pojok ruangan. Namun bukan mawar itu yang mengalihkan perhatianku. Melainkan pada seseorang yang duduk tenang di atas kursi roda dengan memakai baju pasien. Seseorang yangternyatawanita itu sama sekali tak terpengaruh pada derit pintu yangbaru dibuka Alexander. Dia tetap menatap kosong ke arah taman dari balik jendela kamarnya. Aku tak yakin jika ia tak mendengar suara gaduh barusan, atau ia pura-pura tak mendengar?

"Ma....Alexander datang lagi." Cowok di sampingku itu melangkah perlahan mendekati wanita yangbaru saja dipanggilnya 'ma' tersebut.

Aku membeku. berdiri kaku layaknya patung. Hanya ekor mataku saja yang terus mengikuti gerak langkah kaki pacarku itu, duduk berjongkok dengan satu kaki di depan wanita setengah baya tersebut lalu tersenyum lembut.

Aku tak yakin apa maksud dari panggilan 'ma' tersebut. Namun ada satu hal yang menggelitik pikiranku. 'ma' berarti mama. Bukankah begitu?

Mungkin karena melihatku tak bergeming, akhirnya cowok itu menoleh ke arahku.

"Sha...." panggilnya. Sorot matanya teduh memandangku. Tak ada sebentuk emosi pun dari tatapan itu. Alexander justru terlihat rapuh dan tak berdaya.

"I...iya...." jawabku gagap. Aku tak bisa menyembunyikan degup di jantungku. Pertama aku gugup karena bertemu dengan keluarga pacarku, dan yang kedua aku tidak yakin jika keadaan wanita di depan Alexander itu baik-baik saja.

iL Legame (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang