"Lah ini percaya aja sama Nashwa, wes wes ga usah di bahas lagi toh. Sudah hampir masuk" jawab Azza sembari berjalan menuju kelas.
Semua siswa melaksanakan pelajarannya masing masing. Menuntut ilmu demi masa depan.
Nuansa sekolahan yang indah, di temani oleh sorot mentari pagi. Seolah membawa semangat untuk para siswa belajar. Burung berkicau menanbah suasana asri di Kota Semarang itu.
Kali ini terpampang dengan jelas di mading sekolah bahwasanya akan di adakan lomba sastra tingkat nasional. Lomba tersebut terdiri atas membuat puisi, pantun nasihat, cerpen pendidikan, syair, dan novel perjalanan hidup.
Waktu terus berjalan hingga waktu istirahat pun tiba. Tiba tiba Azza tertarik dengan poster baru yang terpampang lebar di mading sekolah. Ya itu lah perlombaan sastra di adakan kembali.Azza sudah sangat mahir dalam hal membuat puisi, pantun, syair, dan cerpen. Azza sangat suka tentang sesuatu yang menarik dan menantang. Dia ingin mencoba meraih cita citanya dengan menjadi novelis.
"Wuooohhh ini loh maksud saya pertandingan sastra tahap 3 za, saya harap kamu bisa gabung lagi" tawar Ahmad.
"Insya allah tapi saya tidak tau harus masuk kategori yang mana" jawab Azza bingung.
"Ini aja toh Za, kamu belum pernah bikin novel kisah hidup, ya kali aja kamu mau nulis kisah hidupku yang malang ini" ledek Nashwa sambil memanyunkan bibirnya
"Apaan si iki toh rame rame" sambar pak Ruhin, beliau merupakan guru yang di takutkan oleh para siswa, beliau mengajar pada bidang bahasa Jawa.
"Ngapunten pak, mangke niki kula, Azza, lan Nashwa saweg diskusi lomba sastra" Jawab Ahmad dengan sopan.
"Oh" sambil membeo guru itu meninggalkan muridnya itu
"Hiiiii kalau aja itu bukan guru, wesh tak plintirrrrr ginjale" gerutu Nashwa.
"Eshhh jangan begitu Pak Ruhin juga orang tua kita di sekolah, sebaiknya kita hormati saja. Tak apa jika memang beliau memang ketus dan tegas karena demi kebaikan masa depan kita"
"Enggih,,, ustadzah Azza" jawab Nashwa agak kesal.
Bel sekolah berbunyi kembali yang menandakan sudah saatnya belajar kembali. Mentari kini sudah menggeser ke arah barat, namun sayangnya mentari tidak begitu terang. Memang cuaca tidak bisa di tebak. Beberapa jam kemudian langit mendung. Dan langit kembali menangis. Menurunkan tetes demi tetes air yang menyejukan.
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
“Allahumma shayyiban nafi’an. (Ya Allah, curahkanlah air hujan yang bermanfaat)." (HR Bukhari dari Aisyah RA).
Azza membaca lafal doa tersebut dalam hati.
Syukron :)
Jangan lupa votenya :)
Bulan ramdhan harus berbuat kebaikan, nah jangan lupa pencet bintangnya terus:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Relung Azza🍁(END)
Novela JuvenilDi usianya yang kini menginjak 17 tahun Azza harus merasakan menjadi ibu rumah tangga. Dimana dia harus membagi waktu sebagai mana seorang istri dan seorang siswi sekolah yang harus mewujudkan cita-citanya menjadi penulis. Karena Azza telah di jodo...