Gadis kecil itu mengeliat dari tidurnya, matanya mengerjap beberapa kali sebelum ia bangun sepenuhnya. Gadis cilik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Tiara. Setiap bangun tidur Tiara pasti ke kamar mandi untuk mencuci mukanya agar lebih segar. Langkah kecilnya menuntun Tiara kedalam kamar mandi yang ada di dalam kamar.
Tiara menutup pintu kamar mandi lalu menyalakan keran air yang ada di wastafel. Kedua tangan kecil itu menampung air lalu mengusapkannya ke muka. Selesai cuci muka, ia akan mengelap wajahnya, jika biasanya sang ayah yang akan mengambilkan handuk, kali ini Tiara berniat mengambil handuk itu sendiri, namun sayangnya posisi rak handuk yang ada di atas wastafel sedikit menyulitkan Tiara. Badannya kurang tinggi, sehingga meski ia berjinjit Tiara masih tidak mampu meraih salah satu handuk disana.
Ia kebingungan, sambil menoleh kekanan dan kekiri, Tiara mencoba mencari cara untuk meraih handuk itu. Sebuah ide terlintas, Tiara naik ke atas closet yang ada di samping watafel. Lalu sambil berpegangan pada dinding, sebelah kaki Tiara menginjak pinggiran wastafel. Tiara tersenyum senang karena ia berhasil mengambil handuk itu sendiri.
Karena terlalu senang, Tiara sampai tidak memperhatikan pijakannya. Bekas air yang masih tersisa membuat kaki Tiara yang bertumpu pada pinggiran wastafel tergelincir.
Brukk....
Tiara meringis saat bokongnya terasa sakit, tanpa sadar air matanya keluar. Dengan sisa kekuatannya yang masih tersisa dan sambil terisak Tiara mencoba untuk berdiri. Namun baru sedetik ia berhasil berdiri, tubuhnya kembali ambruk karena rasa sakit pada pergelangan kaki kananya melebihi rasa sakit di bokongnya.
Walau tidak bersuara, tangis Tiara semakin menjadi. Air mata yang awalnya hanya menetes kini mulai mengalir dengan jelas. Tiara ingin memanggil ayahnya, ia mencoba untuk berteriak. Tapi meski mulutnya terbuka lebar, tapi hanya suara kecil yang keluar.
Sementara Tiara sendiri, karena kondisinya ia tidak tahu apakah sang ayah bisa mendengarnya atau tidak.
Tiga puluh menit sudah Tiara meringkuk di lantai kamar mandi. Isak tangisnya sudah terhenti hanya menyisakan bulir-bulir kecil dan jejak-jejak air mata. Selain rasa sakit dibagian bokong serta pergelangan kakinya, kini kepalanya juga teresa pening karena efek terlalu lama menangis. Badannya pun sudah mulai menggigil kedinginan, bibirnya mulai membiru. Lama kelamaan pandangan Tiara mulai kabur, hingga semuanya berubah menjadi gelap. Tiara pingsan.
***
Sambil menyeruput kopi dan menyemil kue yang disajikan kedua pria itu mengobrol bersama. Bukan hal penting yang mereka bicarakan, hanya pembahasan umum yang berakhir saling mengejek lalu beralih ke topik lain dan lagi-lagi berakhir saling mengejek. Jika orang yang tidak akrab mungkin akan merasa risih atau sakit hati, namun karena keduanya sudah bersahabat hampir dua puluh tahun. Hal semacam ini terasa biasa saja.
Obrolan keduanya langsung terhenti begitu mendengar sapaan dari pria yang baru saja datang.
"Robin akhirnya kamu sampai juga." Ucap Joan.
"Duduk lah." Sambungnya.
Robin mengangguk lalu duduk di bagian sofa sebrang Joan atau samping Stev. Baik Joan maupun Stev menelisik pada amplop coklat yang baru saja dikeluarkan.
"Ini berkas-berkas untuk pengalihan hak asuh. Semuanya sudah lengkap hanya saja ibu Diska tidak mau memberikan tanda tangan persetujuannya." Ucap Robin sambil mengeluarkan beberapa kertas dari dalam amplop.
"Dan dia meminta 500 juta." Tambah Joan.
"Iya, awalnya saya mencoba bernegosiasi dulu dengan dia. Karena itu saya tidak memberitahu bapak mengenai ini. Namun ternyata dia tetap teguh pada permintaanya." Balas Robin, wajahnya berubah menjadi lesu.
"Dasar wanita gila." Seru Stev.
"Kalau begitu akan kuberikan. Yang penting semua ini cepat selesai." Ucap Joan.
"Apa kamu serius? Hei. Terlalu berlebihan sebuah tanda tangan seharga 500 juta. Kamu pikir mencari 500 juta itu semudah membalikan telapak tangan." Sela Stev, ia selalu kesal dengan sikap Joan yang terlalu mudah di manfaatkan oleh ibu dari anaknya itu.
"Iya pak, saran saya juga sebaiknya jangan diserahkan dulu. Yang saya takutkan jika bapak menurutinya makan akan menjadi sebuah kebiasaan. Dilihat dari sikapnya saat ini kemungkinan dia akan menggunakan berbagai cara lain lagi untuk memeras bapak." Jelas Robin.
Dengan perdebatan sengit di antara ketiga, yang sudah pasti Joan selalu menggampangkan permintaan Diska. Akhirnya pembicaraan mereka berakhir dengan keputusan Joan akan memberikan 500 juta pada Diska setelah pengalihan hak asuh selesai.
Robin langsung pamit undur diri setelahnya, sedangkan Stev masih kesal pada Joan. Ia sampai sudah menghabiskan dua cangkir kopi.
"Ck. Kamu ini terlalu mudah di manfaatkan." Celetuk Stev.
"Lalu kamu mau aku gimana? Aku hanya ingin masalah ini cepat selesai. Melihat tadi Tiara ketakutan saja aku sudah sangat sedih." Balas Joan, ia menghempaskan tubuhnya bersandar di sandaran sofa.
"Tiaraaa....." Teriak kedua anak laki-laki yang baru saja memasuki rumah.
"Eh ada Stev." Ucap Jivia yang berjalan di belakang kedua anaknya.
"Hai kak. Tumben sudah pulang." Sahut Stev.
"Iya, shift jaga ku sudah selesai kemarin." Sahut Jivia.
"Aku ke atas dulu ya." Lanjutnya.
"Iya." Sahut Stev.
"Om Tiara nya kemana?" Tanya Volen sambil celingukan, karena biasanya ia melihat Tiara diruang Tv.
"Tiaranya lagi bobo siang." Sahut Joan.
"Volen bangunin ya." Sahut Volen sambil berlari ke lantai dua. Wegan pun mengikutinya dari belakang.
Joan juga tidak melarang keduanya. Karena Tiara sudah tidur siang cukup lama, hampir satu jam. Jadi tidak masalah kalau dibangunkan sekarang.
"MAMA!!! OM JOANNNN!!!!!"
Teriakan Wegan membuat Joan dan Stev terlonjak. Joan buru-buru berlari kearah kamarnya, Stev pun segera menyusul temannya itu.
"Ada apa?" Tanya Jivia begitu keluar dari kamarnya.
"Tidak tahu kak." Sahut Stev. Lalu masuk kedalam kamar Joan.
Dengan napas kembang kempis, Joan memasuki kamarnya.
"Om Tiara pingsan di kamar mandi." Ucap Wegan, wajahnya sudah memucat bibirnya pun terlihat gemetar. Sedangkan Volen berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menangis.
Mendengar ucapan Wegan, Joan segera berlari kearah kamar mandi. Tubuhnya tiba-tiba terasa kaku, langkahnya berhenti begitu melihat sang putri sudah tergeletak di lantai kamar mandi dengan wajah pucat dan bibir keunguan.
Joan langsung membopong tubuh Tiara dan membawanya ke atas tempat tidur.
"Tiara, bangun sayang. Tiara papa mohon bangun." Ucap Joan panik, sambil menepuk-nepuk pipi Tiara.
Namun Tiara tetap tidak merespon.
"Biar kakak periksa dulu." Ucap Jivia.
Joan menjauh dari Tiara, kedua tangannya saling meremas, rasa panik dan takut kini menghujani dirinya.
Jivia membuka tas perlengkapan darurat miliknya. Ia mengeluarkan stetoskop dan termometer. Jivia segera memeriksa keponakannya itu.
"41°C, Joan kita harus bawa kerumah sakit. Panasnya terlalu tinggi." Ucap Jivia.
Joan mengangguk ia segera menggendong Tiara lagi.
"Stev kamu bawa mobil kan." Ucap Joan.
"Iya. Ayo." Sahut Stev.
Keduanya berlari sedikit tergesa. Stev ikut memegangi punggung Tiara agar tidak terjatuh dari gendong Joan.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD DADDY (END)
Ficción GeneralJoan Delion pria berusia 37 tahun selain jabatannya sebagai Presiden Direktur dari Delion's Group, ada status yang lebih berarti menurutnya yaitu sebagai seorang 'papa' dari putri kecilnya Tiara. Memiliki putri kecil yang sangat cantik membuat hari...