Chapter 15

3.5K 262 7
                                    

Malam ini Joan memindahkan Tiara ke kamar rawat VVIP, dimana terdapat kamar mandi, kamar tidur, jiga ruang tamu di dalamnya. Ada single bed juga tepat di samping ranjang Tiara. Saat mendengar ada kamar kosong, Joan memang langsung meminta pemindahan, ia ingin Tiara juga keluarganya yang menjenguk bisa merasa lebih nyaman dan leluasa.

Seperti biasa, Joan akan menginap menemani Tiara. Bahkan tadi sore ia meminta kakaknya untuk membawa beberapa setel pakaian ganti untuknya. Jarum jam sudah menunjukan pukul 1 pagi, namun Joan tidak berhasil tidur, ia hanya berbaring di single bed samping tempat tidur Tiara.

Matanya terpejam, namun pikirannya mengelana kemana-mana, ia masih tidak mengerti kenapa nasib Tiara begitu buruk. Apa ini semua balasan atas kenakalannya dulu? Kalau iya, kenapa harus Tiara yang mengalami, kenapa bukan ia saja.

"Haa...Eughh..."

Joan tersentak ia langsung menoleh saat mendengar suara rintihan. Matanya membola begitu melihat Tiara merintih, dan tubuhnya bergetar hebat. Joan langsung menghampiri Tiara.

"Tiara. Tiara. Tiara bangun sayang." Joan memanggil-manggil Tiara, saat tubuh gadis cilik itu bergetar hebat. Napasnya pun terlihat tersendat-sendat.

Joan segera menekan tombol bel dokter yang ada di samping ranjang Tiara. Setelah itu Joan menahan tubuh Tiara agar tidak semakin kejang.

"Tiara astaga sayang, kamu kenapa?" Lirihnya.

Mata Leon mulai berkaca-kaca, apalagi ia bisa merasakan kalau tubuh Tiara terasa sangat panas.

"Tiara papa mohon bangun sayang."

Klek...

Pintu ruang rawat Tiara terbuka, seorang dokter dan dua perawat wanita memasuki kamar itu.

Leon menoleh begitu melihat kehadiran ketiganya. "Dok, tolong dok."

Dokter itu mendekat."Permisi sebentar pak."

Dokter itu langsung memeriksa Tiara, kedua perawat itu menahan tubuh Tiara yang terus bergetar hebat. Napasnya pun semakin tersendat-sendat.

Joan berdiri tidak jauh dari tempat tidur Tiara, wajahnya terlihat sangat panik dan ketakutan, air matanya tentu tidak terelakan. Joan terus saja bergerak gelisah, ia sangat tidak tega melihat kondisi Tiara seperti ini. Semakin lama, ia semakin merasa sangat tidak berguna sebagai seorang ayah.

Sepuluh menit berlalu, namun dokter itu tak kunjung selesai memeriksa Tiara. Entah berapa kali dokter itu menyuntikan sesuatu pada lengan juga cairan infus untuk Tiara. Namun untungnya Tiara sudah terlihat lebih tenang, napasnya pun mulai beraturan.

Dokter itu menghampiri Leon setelah selesai memeriksa Tiara.

"Bagaimana dok, kenapa tiba-tiba anak saya kejang seperti itu?"

"Begini pak, setelah saya periksa  ada infeksi pada luka jahitannya sehingga menyebabkan demam yang cukup tinggi, demam itu yang membuat pasien menjadi kejang pak. "

"Kenapa bisa sampai seperti itu?"

"Kemungkinan karena adanya kuman pada sekitaran bekas jahitan itu. Dan besok pagi saya juga akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut."

Joan mengusap kasar rambutnya.

"Kalau begitu kami permisi dulu pak, jika terjadi sesuatu bapak bisa memanggil kami lagi."

Joan hanya mengangguk, dokter dan kedua perawat itu langsung undur diri.

Hingga pagi hari Joan tidak tidur sama sekali, ia duduk di samping tempat tidur Tiara, sambil terus menatap pada putrinya. Bahkan karena kejadian semalam, kini Tiara harus dibantu dengan alat bantu pernapasan.

Sesekali Joan mengusap kening Tiara untuk memastikan suhu tubuhnya. Tubuh gadis cilik itu terlihat sangat rapuh. Bahkan orang dewasa saja mungkin tidak sanggup melaluinya, lalu bagaimana Tuhan bisa tega membuat anak sekecil ini melalui hal yang terlalu berat untuknya.

Klek..

Dua orang perawat memasuki ruang rawat Tiara.

"Permisi Pak, kami akan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan lebih lanjut." Ucap salah seorang perawat.

Joan menggeser tubuhnya, membiarkan perawat itu melakukan tugasnya. Setelah kedua perawat itu undur diri, Joan kembali duduk di tempat semula. Dirinya kini terlihat sangat memprihatinkan, tidak ada semangat hidup pada pancaran wajahnya.

Dua jam berlalu, dan Joan sama sekali tidak bergeser dari posisinya. Ia tidak memperdulikan rasa pegal di pinggangnya, bahkan lapar di perut pun tidak berhasil membuat Joan beranjak.

Ia tetap setia di samping Tiara. Ia sadar sebagai seorang ayah ia sangat jauh dari kata sempurna, namun ia berusaha untuk ada di samping putrinya, saat ia membuka matanya nanti.

Belum sehari, namun Joan sudah sangat rindu dengan keceriaan dan tawa Tiara. Senyum putrinya begitu manis, bahkan ia terlihat sangat tegar menjalani hidupnya, tapi yang lagi-lagi Joan sesalkan kenapa Tuhan tidak pernah berhenti mengujinya.

Entah sudah ke berapa kali Joan menyalahkan Tuhan. Namun Joan masih terus saja menyalahkannya, meski ia tidak pernah merasa mendapat jawaban.

Semakin ia pikirkan, semakin Joan tidak mengerti, bagaimana pun ia mencoba merubah sudut pandangnya, selalu berakhir dengan jawaban yang sama.

'Ini balasan karena kenakalannya dulu'

Masa remaja yang ia habiskan untuk mabuk-mabukan, berfoya-foya, membangkang pada orang tua, mem -bully temannya sendiri, bahkan ia pernah  memukuli temannya hingga hampir meregang nyawa.

Berkali-kali di keluarkan dari sekolah hingga ia di karantina di penjara anak pun tidak membuatnya jera.

Dulu ia merasa tidak ada masalah dengan apa yang ia lakukan, itu hidupnya, orang lain tidak berhak ikut campur, apa lagi sampai mengaturnya, bahkan jika mereka orang tuanya sekalipun.

Barulah saat 7 tahun lalu, saat papanya sudah benar-benar marah padanya, dan menyalurkan segala kemarahannya hingga mengirim dirinya keluar negeri, dengan alasan mengurus cabang perusahaan, padahal ia tahu saat itu ia dibuang. Dan saat itulah ia sadar jika hidupnya selama ini sia-sia, dan sangat merugikan orang lain.

Setelah itu Joan mulai sadar dan berubah, ia berharap bisa menjalani hidup lebih baik. Apalagi saat ia tahu ia telah menghamili karyawannya, hal itu membuatnya semakin bertekad untuk berubah, menjadi bertanggung jawab, agar tidak jatuh ke lubang yang sama.

Namun melihat kondisi Tiara sekarang, ternyata Tuhan tidak memaafkannya semudah itu, hanya dengan ia berubah bukan berarti dosa-dosa di masa lalunya hilang begitu saja.

Joan menyeka air matanya yang hampir terjatuh, ia kembali menatap Tiara, meski sudah hampir jam 9 pagi, tapi sepertinya putri kecilnya ini masih enggan bangun karena terlalu asik dengan mimpi indahnya.

Klek..

Dokter yang sebelumnya memeriksa Tiara, memasuki ruang rawat itu. Dan berjalan mendekat menghampiri Joan.

"Permisi Pak, hasil tes darahnya sudah keluar."

Joan hanya menatap dokter itu tanoa berkata apapun.

"Menurut hasil uji lab, pasien terkena meningitis atau radang selaput otak."

"APA??!!"

"Bagaimana bisa?"

"Ini biasanya terjadi karena adanya virus yang masuk dan berkembang di dalam tubuh pasien dan prioritas kami adalah mengobati meningitisnya terlebih dahulu, karena itu saya menyarankan untuk fisio terapynya di hentikan sementara." Jelas Dokter itu.

Joan menunduk, ia menumpu kepalanya pada tangannya yang sedang menggengam tangan kiri Tiara. Tangis nya pecah.

"Ya Tuhan apa lagi ini." Lirihnya.












Tbc.

GOOD DADDY (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang