Begitu turun dari mobil Stev, Joan segera berlari kearah UGD. Saking terburu-burunya ia beberapa kali menabrak orang yang sedang berjalan.
"Dok!! Dokter!!" Teriakan Joan membuat beberapa orang yang ada di dalam UGD menatap kearahnya.
Seorang perawat menghampiri Joan. "Sebelah sini pak." Ucapnya sambil menujuk ke salah satu tempat tidur yang kosong.
Joan segera merebahkan tubuh Tiara di tempat tidur itu. Sementara Stev yang baru saja sampai sedang mengatur napasnya karena mengejar Joan.
Joan terlihat begitu panik, ia juga merasa seperti dejavu. Mendadak ia teringat saat pertama kali bertemu Tiara, kondisi Tiara saat itu terlihat sangat memprihatinkan. Saat itu Joan sangat merasa marah pada Diska, ia tidak tahu bagaimana seorang ibu bisa menyiksa anaknya tanpa belas kasihan. Namun melihat kejadian hari ini, ia seolah tertampar, apa bedanya ia yang lalai ini dengan Diska?
Joan meringis saat melihat seorang dokter memasangkan alat bantu pernapasan pada Tiara. Tanpa sadar air matanya luruh begitu saja. Kakinya pun ikut mendadak lemas, hingga rasanya tidak mampu lagi menopang beban tubuhnya. Joan mungkin akan langsung jatuh kelantai jika Stev tidak sigap menahannya.
"Kita tunggu diluar. Tiara pasti baik-baik aja." Ucap Stev, lalu memapah Joan keluar ruang UGD.
Kini kedua pria itu sudah duduk di kursi depan ruang UGD. Joan memukuli kepalanya beberapa kali.
"Bodoh..Bodoh.." Teriaknya.
Mungkin Joan akan terus menyiksa dirinya jika, Yilia tidak segera menghentikannya. Joan mendongak saat merasakan genggaman di tangannya.
"Mama." Lirih Joan, tidak memperdulikan kondisi sekitarnya Joan menghambur kedalam pelukan Yilia, ia menangis terseguk-seguk.
Yilia sendiri bisa memahami perasaan anaknya, tanpa bicara Yilia menepuk punggung Joan untuk memberikan ketenangan.
"Mama, aku memang papa yang tidak berguna." Lirih Joan.
"Karena kecerobohan aku, aku hampir bunuh anak aku sendiri." Lanjutnya.
Mata Yilia ikut berkaca-kaca, ia dapat merasakan rasa sakit dan penyesalan yang di alami Joan.
"Ini kecelakaan. Tiara juga pasti baik-baik aja." Ucap Yilia.
Tiga puluh menit sudah berlalu, namun belum ada tanda-tanda pintu UGD akan terbuka. Mata Joan sudah sembab karena terlalu lama menangis. Ia duduk bersandar pada sandaran kursi. Sementara Yilia yang datang dengan suaminya setelah mendengar kabar dari Jivia, ia duduk bersandar pada Harvey.
Sejak tadi Stev tidak berhenti menepuk pundak Joan agar bisa tenang.
Begitu melihat seorang dokter keluar, Joan segera bangkit dari duduknya dan menghampiri dokter itu. "Bagaimana kondisi anak saya dok?"
"Bapak orang tuanya? Tanya dokter itu. Joan segera mengangguk cepat
"Bisa ikut saya sebentar." Ajak dokter itu lalu berbalik dan kembali memasuki ruang UGD, Joan segera mengikuti langkah sang dokter.
Sementara itu, ketiga orang lain yang sedang menunggu di luar UGD terlihat semakin cemas saat pintu UGD itu kembali tertutup.
"Demam pasien sudah mulai turun, hanya saja kami harus mengambil tindakan operasi." Jelas dokter itu.
"Operasi?"
Dokter itu menujuk kearah layar laptop yang ada di depan tempat tidur Tiara. "Bisa bapak lihat disini. Ada patahan, posisinya berada di tulang paha bagian atas. Dan juga posisi tulang panggulnya tidak berada pada tempat yang sehatusnya.Jika dilihat dari patahannya, kemungkinan pasien jatuh tidak dari tempat yang terlalu tinggi. Namun jika tidak segera dilakukan operasi bisa membahayakan dan mempengaruhi kemampuan berjalan pasien."
"Tapi karena pasien masih anak-anak, maka proses penyembuhannya akan lebih cepat. Jadi bapak jangan terlalu khawatir."
"Lakukan yang terbaik untuk anak saya dok." Ucap Joan mantap. Tidak setegas ucapannya, tatapan Joan kini menyendu, matanya kembali berkaca-kaca, tapi sekuat tenaga ia tahan, karena melihat Tiara mulai membuka matanya. Joan tidak ingin Tiara melihat kondisi lemahnya.
Joan menghampiri Tiara, di elusnya pelan pucuk kepala Tiara. "Maafin papa ya sayang." Ucap Joan.
Dengan mata sayunya, Tiara hanya menatap Joan. Ia meringis saat merasakan sakit ditubuhnya.
"Dimana yang sakit sayang?" Tanya Joan, begitu melihat wajah Tiara meringis menahan sakit.
Menggunakan tangan yang sudah tertancap selang infus, Tiara menunjuk kearah kaki kanannya.
"Tahan sebentar ya sayang, sebentar lagi sakitnya hilang." Ucap Joan dengan nada sedikit bergetar, menahan tangis.
Tiara hanya mengangguk pelan.
Setelah Joan menandatangani surat persetujuan operasi, Tiara segera dipindahkan ke ruang operasi. Joan keluar ruang UGD.
Yilia dan Harvey langsung menghampirinya, begitu melihat Joan keluar. Begitu juga dengan Stev.
"Gimana Tiara?" Tanya Yilia.
Joan menghela napas berat. "Dipindahkan keruang operasi." Sahutnya lesu.
"Operasi? Apa lukanya sangat parah?" Tanya Harvey.
"Patah tulang dan dislokasi pinggul." Sahut Joan.
Yilia segera menutup mulutnya dengan tangan, untuk menutupi keterkejutannya. Tanpa bicara lagi, Joan melanjutkan langkahnya. Kali ini ia akan menuju ke depan ruang operasi.
Stev mengikuti Joan, ia menepuk punggung sahabatnya itu beberapa kali. "Tiara pasti baik-baik aja."
***
Ditempat lain seorang wanita sedang tertawa puas dengan beberapa teman wanita dan prianya. Kemudian ia meneguk gelas wine di tangannya.
"Jadi gimana, rencana lo lancar?" Tanya salah satu teman prianya.
"Sejauh ini sih lancar-lancar aja. Semoga kedepannya juga lancar." Sahut si wanita.
"Tapi menurut info yang gua denger, dia udah punya anak ya? Dan cacat kan?" Tanya teman wanitanya.
"Ya begitu lah. Tapi gua gak masalah sih. Lumayan bisa manfaatin anaknya yang tuli itu buat deketin dia." Sahut si wanita acuh. Ia kembali meneguk wine nya.
"Awas malah baper lagi nanti." Celetuk si pria.
"Gak bakal. Kalau dia gak kaya juga males gua deketinnya." Balas si wanita dengan wajah kesalnya.
***
Jarum jam sudah menujukan pukul 10 malam, Joan sudah duduk di ruang rawat Tiara. Sudah sejak se jam lalu, operasi Tiara selesai. Dan Joan tidak sekalipun beranjak dari sisi Tiara, ia takut Tiara akan bangun saat ia sedang tidak ada di dekatnya.
Sementara karena hari sudah mulai malam, Joan sudah meminta kedua orang tuanya untuk pulang, begitu juga dengan Stev, meski awalnya Stev bersih keras ingin menemani namun Joan melarang. Ia tahu jika akhir-akhir ini sahabatnya itu sedang sibuk, ia tidak ingin semakin merepotkan.
Joan berkali-kali mengelus tangan Tiara yang tidak dipasang infus. Matanya pun tidak lepas dari wajah Tiara, yang terlihat begitu tenang walau sedikit pucat.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD DADDY (END)
General FictionJoan Delion pria berusia 37 tahun selain jabatannya sebagai Presiden Direktur dari Delion's Group, ada status yang lebih berarti menurutnya yaitu sebagai seorang 'papa' dari putri kecilnya Tiara. Memiliki putri kecil yang sangat cantik membuat hari...