Joan memukul setir mobilnya. Ia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang baru saja di dengarnya. Dari segi manapun ia mencoba memikirkan, rasanya tetap tidak mungkin gadis yang menurutnya sangat baik dan terlihat begitu tulus pada Tiara ternyata hanya memanfaatkan keadaan untuk mendekatinya saja.
Yang membuatnya lebih kesal adalah, ternyata gadis itu malah menggunakan Tiara untuk mendekatinya.
Rasanya jika bisa, ia ingin sekali melayangkan tinjunya pada gadis bernama Terre itu.
Belum lagi, kata-kata Terre yang terkesan menghina Tiara terus terngiang-ngiang di telinganya.
Namun ia sadar ia bukan laki-laki brengsek yang sampai hati memukuli wanita.
Joan kembali memarkirkan mobilnya dirumah sakit. Setelah menarik napas dan mencoba menahan emosinya. Ia turun dari mobilnya.
Kamar rawat Tiara tujuannya saat ini. Sambil berjalan ia sambil memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada Tiara.
Tidak mungkin juga ia mengatakan kebenarannya pada putri kecilnya itu.
Ia tidak sampai hati melihat Tiara harus kecewa, karena sosok yang begitu di sukainya ternyata tidak tulus.
Dengan senyum yang berusaha ia sematkan Joan menghampiri Tiara.
Gadis cilik itu terlihat sedang tertidur. Sementara Kakaknya Jivia, sedang berdiskusi dengan dokter yang menangani Tiara.
Tak ingin menggangu Tiara. Setelah membenarkan selimutnya, Joan menghampiri Jivia dan duduk disebelahnya.
"Kenapa Kak?" Tanya Joan begitu menyadari raut wajah Kakaknya terlihat gusar.
"Begini Pak, sepertinya respon tubuh Tiara terhadap obat untuk meningitisnya tidak terlalu baik." Sahut dokter yang bernama Andi itu.
"Antibiotiknya tidak memberikan efek apapun. Kami juga sudah mencoba memberikan obat anti virus, namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda penyembuhan." Lanjut Andi.
Joan termenung, jujur ia tidak terlalu mengerti dengan penjelasan Andi. Hanya saja ia bisa menyimpulkan bahwa kondisi Tiara saat ini sedang tidak baik-baik saja.
"Apa tidak ada obat atau cara lain dok?" Tanya Joan.
"Maaf Pak, karena Tiara masih anak-anak, kami tidak bisa menambah dosis obatnya, karena bisa membahayakan nyawanya."
"Dok, saya akan bayar berapapun biayanya tolong sembuhkan anak saya." Lirih Joan.
Jivia yang berada di samping Joan kini sudah berkaca-kaca, hatinya pun merasa sakit mendengar penjelasan dokter mengenai Tiara.
Yang semakin membuatnya sedih adalah, ia sendiri berprofesi sebagai dokter, tapi ia tidak bisa melakukan apapun untuk menyembuhkan Tiara.
"Kami pasti mengusahakan yang terbaik Pak. Tapi jika dalam beberapa hari kondisi pasien tidak membaik, saya berharap Bapak dan keluarga mampu menyiapkan diri untuk kondisi terburuk."
Joan melemas, ia langsung bersadar pada kepala sofa. Kepalanya ia angkat keatas sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menutupi matanya.
"Kalau begitu saya permisi dulu. Jika butuh sesuatu silahkan tekan belnya." Pamit Andi sebelum meninggalkan ruangan rawat Tiara.
***
Hingga matahari mulai terbenam, lagi-lagi Joan tidak bergerak sedikitpun dari kursi di samping ranjang Tiara.
Jivia sudah membawa kedua putranya pulang sejak sejam yang lalu.
Dan kini Netta yang menemani Joan terlihat kesal karena pria itu sejak ia datang tidak menghiraukannya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD DADDY (END)
Fiction généraleJoan Delion pria berusia 37 tahun selain jabatannya sebagai Presiden Direktur dari Delion's Group, ada status yang lebih berarti menurutnya yaitu sebagai seorang 'papa' dari putri kecilnya Tiara. Memiliki putri kecil yang sangat cantik membuat hari...