1. Bukan Panggilan Nyasar

185 30 6
                                    

✏.............


Jumat, 3 Agustus 2018

Aku sedang susah payah membujuk mataku agar terpejam. Setelah seharian sangat lelah dengan kegiatan bersama siswa baru.

Sesuatu yang membuatku sulit memejamkan mata lalu terlelap adalah, jantungku terus berdegup kencang karna tak sabar menunggu pagi tiba. Padahal ini sudah lewat tengah malam. Aku hanya punya waktu tidur sekitar 3 jam karna sebelum subuh, masih ada kegiatan yang harus kusiapkan sebagai panitia acara.

Ini terjadi akibat bunyi dering ponselku saat upacara api unggun tadi. Ah, lebih tepatnya saat pentas seni berlangsung.
Dering ponsel itu membuatku harus minggir dari kerumunan panitia dan peserta acara yang sedang merapat ke api unggun untuk menghangatkan badan.

Nomor tidak dikenal

Rasanya malas sekali menanggapi nomor-nomor nyasar yang memanggilku. Pelakunya tak pernah salah sambung. Biasanya aku dapat panggilan seperti itu dari orang-orang iseng. Jadi reject saja, tidak akan penting..

Astaga, baru ingat sesuatu. Ada beberapa wali murid yang tadi pagi meminta nomor ponselku untuk bertanya kabar anak-anaknya. Bodoh sekali! Kenapa me-reject begitu saja panggilan itu?

Tak lama, ponsel yang hendak ku masukkan ke dalam saku almamater itu berdering lagi. Aku langsung memutuskan untuk menjawab dan akan meminta maaf, bila itu benar dari salah seorang wali murid.

"Halo!" kataku menyapa si penelpon.

"Halo, Aileen. Apa kabar?" suara seorang pria yang tidak ku kenal.

Aku mengerang pelan, hendak mematikan panggilan itu. Benar dugaan pertamaku, ini hanya orang yang berniat jail.

"Hei tunggu! Serius lo nggak ngenalin suara gue?"

"Saya lagi sibuk," jawabku agar segera menyelesaikan panggilan ini.

"Ini gue, Dave!"

Suara itu membuatku menegang. Kelopak mataku menolak berkedip selama beberapa detik.

"Dave Mahesa?" tanyaku memastikan setelah saraf-saraf di tubuhku kembali berfungsi dengan normal.

"Bravo! Astaga lo melupakan suara khas gue?" dia memulai obrolan ini dengan baik. Tapi sayangnya, aku tidak bisa terlalu lama minggir dari acara itu. Sebelum aku akan kena hukuman karna lalai dari tugas.

"Ah Dave, sorry," bingung sekali bagaimana menjelaskannya, tapi tetap ku katakan. "Gue lagi ada acara, kalau nanti gue yang telpon lo balik gimana? Setelah kegiatannya selesai."

"Save nomor gue ya, biar gak perlu lo reject lagi kalau gue duluan yang telpon."

"Iya, udah dulu ya."

Sama sekali tidak terduga. Dia, tiba-tiba menelponku, di saat seperti ini. Dave, teman yang sudah sejak lama tak ada kabar. Lalu berhasil merecoki pikiranku selama kegiatan masih berlanjut. Hingga setelah acara terakhir selesai, aku bergegas paling awal untuk kembali ke kamarku. Segera mengecek ponsel, lalu menekan call di layar.

Aku menelponnya, Dave.
Seperti obrolan awal pada umumnya, kami saling bertanya kabar, lalu membuat rencana kapan akan bertemu lagi.

Saat itu, aku dan dia seperti dua insan yang sedang saling merindu. Lalu dia bilang, akan datang ke rumahku saat lusa. Itu yang membuat tengah malam ini aku tidak bisa tidur dan berharap agar segera pagi. Aku ingin segera besok, karna besok rombongan sekolahku akan kembali ke kota asal. Malamnya aku akan beristirahat, dan esoknya, bertemu dengan dia.

Dave, kenapa rasanya tidak sabar untuk segera bertemu denganmu?

✂.............

Sad Girl [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang