5. Susu Coklat

118 26 5
                                    

............✏

“Selamat pagi, Aileen.” Sapa anak laki-laki berbadan gemuk yang sedang memarkirkan sepedanya di dekat pohon.

“Selamat pagi juga, Mbul.” Aku membalas sapanya dengan riang.

Sinar mentari menerobos dedaunan milik pohon-pohon yang rindang. Cahayanya masih malu-malu mengintip dari celah-celah daun. Menghangatkan kulit siswa-siswi yang sedang asik main kejar-kejaran di lapangan.

Aku melewati koridor menuju kelas. Berjalan dengan anggun dan terus tersenyum, karna sepanjang jalan, banyak teman-teman yang menyapa. Seperti yang dilakukan Mbul tadi.
Sesampainya di kelas, aku menuju meja dan seperti biasanya, mengecek laci yang setiap pagi selalu ada surat-surat. Aku mengambilnya. Hari ini, aku mendapatkan lima.

“Selamat pagi Aileen cantik."
Seseorang memelukku dari belakang. Natasya ternyata.

“Selamat pagi juga, Sya.” Aku tersenyum kepada sahabat karibku.

“Kamu baru datang, ya?” tanya Natasya.

“Iya nih, tadi ban mobil Papa bocor. Jadi mampir dulu ke tambal ban. Tapi untung nggak terlambat.”

“Aileen... yaampun kamu pagi ini cantik sekali,” Ali datang ikut nimbrung. Kalau sudah begini, sebentar lagi yang lain juga pasti akan ikutan nimbrung kesini.

“Aileen kan, memang selalu cantik setiap hari,” balas David sambil buru-buru mendekat. Di belakangnya disusul dua anak laki-laki, Oki dan Bebel.

Melihat itu, Natasya mendengus kesal. Aku tau dia ingin mengajakku bermain bersama. Tapi kalau sudah gini, dia tau pasti akan kalah merebutku dari anak laki-laki yang mendekatiku. Aku tersenyum menyesal ke Natasya.

“Leen, aku baru aja dibelikan dasi baru loh sama Bundaku.” Sambil makan ice cream coklatnya, Bebel memamerkan dasi yang tergantung di kera seragamnya.

“Yah dasi doang. Aku kemarin jalan-jalan ke mall, terus dibelikan sepatu baru sama Papa.” Oki ikutan memamerkan sepatu hitamnya dengan mengangkat-angkat kakinya, bangga.

“Kalian kerjaannya pamer mulu. Dasi baru ataupun sepatu baru kalian kan nggak membuat kalian gantengnya nambah.” Celetuk David yang membuat aku dan Natasya menyemburkan tawa. Sedang Bebel dan Oki bersungut-sungut mendengarnya. Siap membalas.

“Tapi aku kelihatan keren dengan dasi baruku.” Kata Bebel.

“Aku juga jadi lebih keren pakai sepatu baru ini.” Oki menyahut.

“Kan itu kata kalian doang. Coba tanya sama Aileen, keren nggak?” tantang David sambil menekuk kedua tangannya di pinggang.

Aku meredakan tawaku, lalu bilang, “ Nggak tuh, biasa aja.”

“Coba lihat rambut baruku dong, Leen. Keren seperti ini atau yang biasanya?” Ali malah ikut-ikutan caper menunjukkan rambutnya yang disisir klimis. Dia bertanya sambil menaik-turunkan alisnya. Membuatku agak bergidik ngeri.

“Nggak dua-duanya, Ali. Mungkin kamu harus mencoba gaya tanpa rambut deh.” Jawabku asal.

“Botak dong?” Ali melongo. Membuat semuanya jadi tertawa melihat ekspresinya.

Lucu memang ketika anak kelas 5 sekolah dasar sudah naksir seseorang. Bukannya geer, tapi aku tau kalau David, Oki, Bebel, dan Ali menyukaiku. Kalau kau tanya, aku tau dari mana? Jawabannya adalah dari surat-surat yang ada di laci mejaku setiap pagi. Bahkan Ali sudah membuat 15 surat dengan kalimat yang sama persis.

Kami keasikan ngobrol sampai tidak sadar, di depan kelas, sedang ada anak laki-laki yang sedang mengenalkan diri sebagai anak baru. Seperti aku enam bulan yang lalu. Setelah melihat sekilas, aku kembali mendengarkan ocehan-ocehan konyol teman-temanku. Anak-anak yang lain juga sudah asik sendiri. Sedang anak baru yang aku tidak mendengar siapa namanya tadi, duduk di bangku nomor dua dari depan.

“Kalian balik ke tempat masing-masing sana. Bentar lagi, guru masuk loh.” Aku mengusir mereka dengan cara halus.

Keempatnya mendengus pelan. Aku tau mereka masih ingin memamerkan banyak hal untuk mencuri perhatianku. Tapi aku sudah sangat bosan mendengarnya. Karna mereka melakukannya setiap saat.

“Oh ada anak baru ya?” Suara Ali dengan lantangnya bertanya ke seluruh isi kelas.

“Yee dari tadi kemana aja?” sahut anak yang lain ramai-ramai.

Ali hanya nyengir ketika anak baru itu menoleh ke arah kami. Yang lain juga jadi memperhatikan kami.

“Kok nggak kenalan seperti waktu Aileen jadi anak baru sih?” tanya Ali yang masih penasaran karna tidak melihat kedatangan anak baru.

“Itu karna kamu keasikan pamer rambut, Ali. Tadi dia udah kenalan kok.” Kataku menjawab kebingungan Ali.

“Oh ya, siapa namanya?” Natasya terlihat sangat excited. Lihat saja bagaimana ekspresinya ketika bertanya.

Aku hanya mengangkat bahu. Tidak tau. Lalu anak laki-laki itu menyahut, “Dave Mahesa.”

“Hahahaa, emang gak ada yang bikin heboh selain waktu Aileen yang jadi anak baru, ya?”

Pertanyaan Ali disetujui oleh seluruh anak laki-laki, sedang anak perempuan hanya menggeleng-geleng aneh melihat kelakuan teman-temannya.

Selanjutnya, setelah bebas dari ocehan keempat cowok tadi, Natasya-lah yang mengambil alih perhatianku. Dia mendefinisikan sosok Dave dengan detail. Padahal, kan, nggak perlu dia definisikan, aku sudah melihatnya sendiri. Kecuali dengan bagian-bagian yang di lebih-lebihkan sama Natasya.

“Lucu ya, Leen, wajahnya imut banget. Liat deh rambutnya, tipis gitu. Kulitnya bersih, gak seperti warna kulit David, Oki, Bebel, apalagi Ali.”

Ah ini sih sepertinya Natasya suka dengan Dave. Bagiku wajah Dave biasa saja. Tidak se-imut yang dibilang Natasya. Trus apa kerennya dengan rambut tipis? Dave malah kelihatan kurang gizi. Apalagi dengan badannya yang kurus. Tingginya malah hanya sebahuku. Hanya satu yang aku setujui dari kalimat Natasya. Kulitnya bersih, tidak seperti David, Oki, Bebel, apalagi Ali.

***

Suasana kelas masih sepi saat aku kembali. Yang lain masih asik jajan di kantin. Mumpung sedang sepi begini, aku membaca surat-surat itu. Sebenarnya aku malas membacanya. Bagaimana tidak malas? Coba saja bayangkan bagaimana tulisan ala cakar bebek anak kelas 5 SD. Tapi aku tetap harus menghargai mereka, bukan? Surat-surat itu selalu aku baca dan balas jika ada nama pengirimnya.

Baru dua surat yang selesai aku baca ketika seseorang menyodorkan satu kotak susu coklat dingin di hadapanku. Aku mendongak untuk melihat siapa orang itu.

“Nih buat kamu,” katanya.

Tapi aku menggeleng, tidak menerimanya.

“Aku ingin kenalan sama kamu,” dia menjelaskan maksudnya.

“Tanyakan saja namaku ke teman-teman yang lain.”

“Kenapa nggak ke kamu aja?”

“Nggak mau kenalan sama kamu.”

Dia menarik tangannya yang memegang susu coklat dari hadapanku. “Padahal aku ingin berteman sama kamu.”

“Berteman sama yang lain aja deh.”

"Apa karna aku nggak jadi anak baru yang bisa bikin heboh seperti waktu kamu jadi anak baru?"

Aku tidak mengerti maksudnya, tapi saat ku tanya, dia hanya menggeleng, menyerah dan berlalu dariku. Ah, rasanya tidak enak sekali. Apakah aku terlalu sombong? Sepertinya ini karna aku sudah sangat malas mengurusi anak laki-laki yang menyukaiku. Sudah bosan membaca surat-surat dan mendengarkan ocehan caper mereka padaku.

Eh tapi, memangnya Dave menyukaiku seperti yang lain? Kan belum tentu. Tadi saja dia baik sekali memberiku susu coklat. Anak-anak lain biasanya hanya memberi gombalan. Lagipula, tadi Dave hanya ingin berteman denganku. Sebenarnya apa yang salah denganku?



.....................✂

Sad Girl [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang