13. Perubahan Dave

31 2 0
                                    

.................✏


“Lo datang lagi?”

“Udah satu bulan, Ai. Memangnya lo nggak kangen gue?”

Aku bergidik lalu mengalihkan pandangan, sebenarnya sedang menyembunyikan senyumku agar Dave tidak lihat. Perasaan baru satu bulan yang lalu kita bertemu, tapi dia terlihat berbeda. Entah ketauan atau tidak, sejak dia baru datang, aku menatapnya dengan pandangan yang berbeda juga.

“Liat ada yang beda sama gue nggak?”
Pertanyaan darinya membuat aku semakin yakin bahwa yang aku lihat itu benar. Tapi apa yang berbeda? Dari tadi juga aku sedang mencarinya. Tapi belum ketemu. Jadi, aku menggeleng sebagai jawaban.

“Rambut gue sekarang udah tebal loh. Nggak setipis sebelumnya, kan?”

Ah iya benar. Tidak terlalu kentara sih, tapi kalau diperhatikan dengan seksama, rambutnya memang lebih tebal dari biasanya.

“Yaampun gue kira apaan.”

“Kalau kesini lagi, pasti bakalan selalu ada yang beda. Liat aja nanti.”

“Hah? Apa lagi yang mau lo tumbuhin?”

“Gue mau gemukin badan ah.”

“Hahahaa... lo mana bisa gemuk sih? Badan lo aja persis kayak lidi berjalan gini kok.”

“Ya sabar dong, Ai. Gue kan lagi usaha biar pantas buat bersanding sama lo.”

“Kumat deh gombalnya.”

Sama seperti satu bulan yang lalu, dia datang di hari minggu. Selalu rapih dengan sepatu hitam putih conversenya. Datang tanpa bilang-bilang dulu ke aku. Masih menggunakan transportasi umum, lalu berjalan dari depan perumahan sampai rumahku. Padahal jaraknya sangat jauh. Kalau dilihat di maps, sekitar 1 km. Untuk ukuran jalan kaki, itu jarak yang lumayan jauh, kan?

Kali ini aku lebih santai saat bersama dia. Untuk pertama kalinya, aku menganggap dia teman yang... benar-benar teman.

“Mending kita main ke rumah Keela atau Awa. Gue kangen banget sama mereka. Udah lama gak ketemu,” ajakku pada Dave yang saat itu sedang menyeruput sirup cocopandan buatan ibuku.

“Ayo,” jawabnya yang seketika langsung berdiri dan bergegas memakai sepatu.

Kami menuju rumah Keela dengan menggunakan motor gigi ayahku. Seperti waktu satu bulan yang lalu. Dia belum tinggi, tapi sudah pandai mengendarai motor gigi yang lebih tinggi darinya. Maaf Dave, dari belakang aku terus menertawakanmu tanpa suara. Abis lucu... badanmu sangat kurus, kalah besar dengan motornya.

Dia menepikan motor dengan selamat hingga sampai di depan rumah Keela.

“Lo cantik, boleh nggak gue cubit hidung lo, Ai?”setelah memasang standart motor dengan benar, dia duduk miring menghadap ke arahku.

“Nggak boleh! Hidung gue itu sensitif tau.”

Dia tersenyum jahil sambil memandangiku sebentar, lalu turun dari motor dan memanggil Keela dari luar pagar.
Hei Aileen, kenapa bukan kamu duluan yang turun dari motor?

Tunggu sebentar. Jadi, sejak kapan aku menganggap kalau Dave itu... manis?

Dave sudah memanggil-manggil Keela, tapi sepertinya tidak ada orang di rumah.

“Mau pulang atau jalan-jalan?” tanya Dave.

Bukannya menunggu dulu apa jawabanku, dia malah menuntunku agar naik ke motor.

“Kita mau kemana?” tanyaku.

“Kemana aja deh. Yang penting sama lo.”

Aku nggak pernah tau kalau Dave itu menyenangkan. Mungkin lebih tepatnya, dulu aku tidak mau tau. Terlalu sombong untuk menjadi seorang Aileen. Tapi keadaanlah yang membuatku bersikap seperti itu.

Kami mengelilingi jalan-jalan yang dulu sering dilewati saat sekolah dasar. Dia banyak bercerita tentang kenangan apa saja yang pernah dia alami di tempat itu. Di belakang, aku asik mendengarkan sampai mataku mengantuk akibat ditiup angin yang lembut, ditambah ceritanya yang... menurutku tidak seru.

“Oh iya, Dave!” aku memotong ceritanya karna teringat sesuatu.

“Ya?”

“Lo datang ke sini setelah ngebatalin janji sama siapa?”

Dia tidak langsung menjawab dan malah mengurangi kecepatan motor.

“Maksudnya?”

“Satu hari setelah lo datang waktu itu, ada yang kirim pesan ke gue. Dia bilang, harusnya waktu itu lo datang ke dia, tapi malah ke gue.”

“Oh itu. Gapapa kok, abaikan aja.”

“Dia ngakunya sih, pacar lo.”

“Lo mau beli minum nggak, Ai?”

“Nggak haus,” jawabku malas. Kenapa juga dia harus mengalihkan pembicaraan. Aku hanya bertanya dan ingin tau kenapa dia membatalkan janji dengan orang lain demi bertemu aku.

“Bentar lagi ujian ya, Ai? Belajar yang bener. Gue tau kok kalo lo pintar, tapi ya tetap jangan malas, Ai.”

“Iya.”

“Gue kayaknya mau pulang deh.”

“Ha? Udah gini doang?”

“Yang kemarin gue pulangnya kesorean, jadi macet banget.”

“Kalo gitu kenapa datengnya gak lebih pagi? Lo jauh-jauh datang cuma buat kayak gini?”

“Ya gapapa. Gue sih, yang penting ketemu sama lo.”

Ah, semesta... kenapa sih dia aneh banget? Udah tau rumahnya jauh dari rumahku. Kenapa juga dia jauh-jauh datang dengan transport umum, belum lagi ditambah jalan kaki sejauh 1 km. Meski aku sudah lebih nyaman daripada sebelumnya, aku masih tidak suka dia. Dan rasanya aku jadi merasa bersalah kalau seperti ini.

“Gapapa, kan, Ai?” tanyanya mengejutkan lamunanku.

“Apanya yang gapapa?”

“Kalau gue pulang sekarang? Nanti kapan-kapan kita jalan-jalan ya.”

“Jalan-jalan kemana?”

“Mau ke kota tua?”

“Mau!” aku berseru riang. “Gue belum pernah pergi ke sana bareng temen.”

“Yaudah nanti gue ajak kesana ya.”

Aku hanya mengangguk meski Dave nggak akan liat. Yang pasti saat itu aku jadi senang lagi.

Dia menghentikan motor di depan perumahan, lalu turun. Kebetulan ada angkot nge-time, jadi dia tidak perlu menunggu lebih lama lagi.

“Makasih ya, Ai. Maaf mengganggu waktu lo.”

”Hati-hati di jalan, Dave.”

“Oke.”

Aku langsung melajukan motor saat Dave sudah melangkah menuju angkot. Dasar tukang ngerepotin, masih kecil aja udah main jauh-jauh sendirian gitu. Gak takut diculik memangnya, ya?

...................✂

Sad Girl [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang